Allah

Ini Alasan Mengapa Shalat Sangat Penting?

Dalam banyak penjelasan, shalat merupakan bentuk komunikasi efektif seorang hamba kepada Allah sebagai Rabbnya. Karena itu, shalat mempunyai kedudukan yang teramat penting dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan, jika seorang muslim menghadapi berbagai macam masalah dalam hidupnya, Allah Ta’ala memintanya untuk menegakkan shalat.

Shalat juga menjadi pertanda yang membedakan antara orang kafir dan orang beriman. Sebab orang yang mendirikan shalat, berarti dia meyakini satu-satunya Tuhan yang wajib dan berhak disembah di jagat raya ini hanyalah Allah Ta’ala.  Tidak ada shalat, dan bukan shalat namanya jika ada penyembahan lain selain kepada Allah. Tak hanya itu, shalat pulalah yang menjadi penentu selamat tidaknya seorang hamba di akhirat kelak. Jika Shalatnya baik, maka bisa dipastikan semua amalnya akan baik. Namun sebaliknya jika shalatnya sudah buruk, maka semua amalnya pun menjadi buruk (tertolak).

Tulisan singkat ini, mencoba untuk mengetengahkan bahasan tentang pentingnya kedudukan shalat dalam Islam. Berikut kupasannya.

Pertama, shalat adalah tiang agama. Dalam Islam, shalat merupakan tiang agama seseorang. Jika orang tersebut mendirikan shalatnya, bisa dipastikan ia telah menegakkan tiang agama ini (Islam). Sebaliknya, jika shalat tidak dijalankan, sama artinya ia telah merobohkan tiang agamanya sendiri.

Dalam hadits Mu’adz disebutkan,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak perkaranya adalah jihad” (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits inihasan). Tentu saja, jika tiang suatu bangunan roboh, akan roboh pula bangunan sekuat apapun ia dibangun.

Kedua, shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab. Jika saja banyak orang tahu bahwa amalan pertama kali yang akan dihisab adalah shalatnya, maka sudah tentu banyak orang yang berlomba-lomba mengerjakan shalat. Namun, sebaliknya malah banyak orang yang meninggalkan shalat, sebab mengira shalat hanyalah amalan biasa dan sama dengan amalan lainnya, astaghfirullah.

Padahal sebenarnya, amalan seseorang bisa dinilai baik buruknya dari shalatnya. Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ ” .

Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Bila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Bila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” (HR. Abu Daud no. 864, Ahmad 2: 425, Hakim 1: 262, Baihaqi, 2: 386).

Ketiga, perkara terakhir yang hilang dari manusia adalah shalat. Seperti kata Imam Al Ghazali, hal yang paling ringan di akhir zaman ini adalah meninggalkan shalat. Lihatlah fakta seharian dalam hidup kita, betapa masih banyak orang yang lebih memilih melanjutkan pekerjaannya, meski azan pertanda waktu shalat sudah tiba.

Dari Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad 5: 251. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Hadits ini jelas menyatakan bahwa ketika tali Islam yang pertama sudah putus dalam diri seseorang, yaitu ia tidak berhukum pada hukum Islam, ia masih bisa disebut Islam. Di sini Nabi tidak mengatakan bahwa ketika tali pertama putus, maka kafirlah ia. Bahkan masih ada tali-tali yang lain hingga yang terakhir adalah shalatnya.

Dalam riwayat lain, dari Zaid bin Tsabit, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يَرْفَعُ مِنَ النَّاسِ الأَمَانَةُ وَ آخِرُ مَا يَبْقَى مِنْ دِيْنِهِمْ الصَّلاَةُ

Yang pertama kali diangkat dari diri seseorang adalah amanat dan yang terakhir tersisa adalah shalat.” (HR. Al Hakim At Tirmidzi dan disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 2: 353).

Keempat, shalat adalah akhir wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa di antara wasiat terakhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak kalian.” (HR. Ahmad 6: 290. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).

Kelima, Allah memuji orang yang mengerjakan shalat. Jangankan dipuji oleh Allah, dipuji presiden saja membuat seseorang merasa bangga. Lalu bagaimana jika Allah, pencipta manusia dan alam semesta yang memujinya? Adakah pujian terbaik dan indah yang diterima manusia selain pujian dari Allah Ta’ala? Pujian itu hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang mengerjakan shalat, bukan kepada yang selainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (55)

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. ” (QS. Maryam: 54-55).

Keenam, shalat adalah penghubung yang paling kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Taka da ikatan yang kuat bagi seorang hamba kepada Tuhannya selain dari shalat. Itulah mengapa shalat menjadi wasilah penting dalam menuntaskan semua masalah. Adakah hubungan yang lebih mulia selain hubungan yang dibangun seorang hamba kepada Rabbnya melalui shalat?

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (yaitu surat Al-Fatihah, red.) untuk-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memujiku.”

 وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku menyanjungku.” (sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, red.)

وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang menguasai hari pembalasan”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.” Dan terkadang Allah berfirman, “Hamba-Ku memasrahkankan urusannya kepada-Ku.”

 فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.”

 فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Dan ketika hamba berkata (yang artinya), “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” (HR. Muslim no. 395).

Sudah tentu masih sangat banyak kedudukan shalat dalam kehidupan seorang muslim. Di atas hanyalah beberapa saja yang bisa diangkat. Semoga Allah menanamkan keteguhan di hati kita untuk senantiasa menegakkan shalat lima waktu semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah, wallahua’lam.[]

Mereka yang Diperbudak Harta

Bagaimana mungkin orang bisa dikatakan menyembah harta? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ . (رواه الترمذي وأحمد وابن الحبان)

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Celakalah hamba (orang yang diperbudak) dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha, jika tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Tirmidzi, no. 2336; Ahmad 4/160; Ibnu Hibbân no. 3223)

Dalam hadits di atas, setidaknya bisa memberikan beberapa pelajaran berharga bagi kita, antara lain sebagai berikut.

Pertama, seharusnya seorang hamba tidak membiarkan dirinya diperbudak harta dalam kehidupannya. Tidak pula ia selalu berangan-angan bahkan bermimpi untuk mendapatkannya, mencintai dan membenci karenanya, membela dan memusuhi hanya demi harta. Karena hal itu hanya akan membawa kepada kehancurannya.

Tidak ada kehancuran yang buruk bagi seorang manusia kecuali ia hancur karena membawa nafsu serakah, menghalalkan segala cara untuk bisa mendapat dan mengumpulkan harta dunia. Memang dunia ini begitu menyilaukan. Namun, jika pandangan mata sudah terus melekat ke hati tentang harta dunia, maka sulit rasanya ia akan lepas dari harta dunia itu.

Kedua, harta itu adalah ujian, padahal manusia sangat menyukainya. Oleh karena itu, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian besar ini. Sedikit sekali orang yang bisa bersyukur kepada Allah SWT. Atas limpahan nikmat-Nya yang tidak terhitung banyak dan nilainya.

Begitulah dunia, ia hanya tempat tinggal dan mati sementara sebelum sampai ke alam akhirat. Semua laku yang pernah terukir di lembaran sejarah dunia, kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebagi bukti keadilan Sang Maha Pencipta, Allah Ta’ala.

Ketiga, banyak orang yang keliru. Di matanya, jika Allah memberikan harta yang banyak kepadanya, itu bertanda Allah mencintainya. Sebaliknya, jika Allah mengurangi rizkinya, itu pertanda Allah menghinakannya. Dua hal yang saling bertengan inilah yang sering jadi kekeliuran dalam memandang. Karena semua itu merupakan ujian dari Allah Azza wa Jalla.

Jadi, jangan menduga bentuk sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya itu selalu diukur dari melimpahnya harta dan banyaknya kekayaan yang dititipkan kepadanya.

Keempat, Allah memberikan harta kepada siapa yang disukai atau yang dibenci. Itulah bentuk keadilan Allah kepada setiap hamba-Nya. Tiada seorangpun yang bisa menghalangi rezeki orang lain, jika Allah menghendakinya. Begitu juga Allah Ta’ala bisa menarik lagi setiap rezeki yang sudah diberikan kepada hamba-Nya kapanpun Dia mau.

Kelima, setiap hamba harus menyadari bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah ujian. Karena itu akan terlihat nanti siapa hamba-Nya yang taat dan yang ingkar saat ujian itu datang menghampirinya.

Di mata Allah Ta’ala, kemuliaan dan kehinaan seseorang tidak bisa diukur dari banyak sedikitnya harta yang dimiliki seseorang. Hal itu seperti difirmankan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ۞ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَن ۞

“Adapun manusia, jika dia diuji oleh Rabbnya, dimuliakan dan diberi kesenangan, maka dia akan berkata, “Rabbku telah memuliakanku”. Sedangkan bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” (Qs. Al-Fajar: 15-16)

Jangan merasa bangga dengan banyaknya harta yang Allah titipkan. Namun juga jangan terlampau sedih karena sedikitnya harta yang Allah Ta’ala berikan. Hal itu seperti dalam firman Allah Ta’ala,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ ۞ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ ۞

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka ? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Mukminun: 55-56)

Karena harta itu merupakan ujian, tak sedikit orang yang gagal ketika dia diuji dengan harta itu. Kegagalan manusia saat di uji Allah dengan harta sudah disampaikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ … ۞

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi.” (Qs. Asy-Syura: 27)

Begitulah harta yang akan Allah berikan kepada Bani Adam. Terkadang, dengan harta yang dititipkan Allah itu seorang insan menjadi lupa daratan, sehingga harta itu kelak di akhirat akan menjadi beban berat baginya. Di sisi lain, tak sedikit orang yang dititipi harta oleh Allah, tapi ia tetap sadar bahwa semua itu adalah milik Allah, sehingga ia bisa menggunakan harta itu sesuai aturan Allah dan Rasulnya, wallahua’lam.[]

Bekal Muslim Menghadap Allah

Dalam hidup ini setiap manusia harus memiliki bekal. Bekal untuk kehidupan selanjutnya; akhirat. Tanpa bekal yang cukup, perjalanan menuju akhirat akan sangat melelahkan. Berikut ini adalah beberapa bekal seorang mukmin dalam menghadap Allah Ta’ala kelak. Antara lain sebagai berikut.

Pertama, bekal utama kita untuk menghadap Allah adalah takwa. Takwa adalah sebaik-baik bekal. Tak ada satupun bekal yang bisa mengalahkan bekal takwa. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan siapkanlah bekal karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197). Takwa merupakan bekal yang sangat diperlukan manusia. Tanpa takwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.

Tanpa takwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya. Takwa juga merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat kelak.

Kedua, bekal ilmu. Ilmu adalah cahaya kehidupan, cahaya agama. Orang yang menjalani kehidupan ini tanpa ilmu, sama seperti orang buta yang tak mengetahui kemana arah tujuannya melangkah. Ilmu sangat diperlukan bagi seorang muslim untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat.

Hanya orang-orang yang berilmulah yang merasa takut kepada Allah Ta’ala. Ia takut jika sampai memaksiati-Nya. Ia takut jika sampai tidak menjalankan perintah-Nya. Ia takut  bila melanggar apa-apa yang dilarang-Nya. Begitulah orang-orang yang memiliki ilmu tentang syariat Islam ini.

Allah Ta’ala berfirman yang aratinya, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (Qs. Fathir: 28). Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Kalau seseorang enggan belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat. Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang berjalan bukan pada jalannya. Jangan sampai, amalan yang dilakukan berbuah sia-sia tanpa dasar ilmu.

Ketiga, bekal seorang muslim adalah tawakal. Tawakal adalah upaya maksimal seorang hamba dalam meraih sesuatu. Artinya, tawakal itu bukan diam. Tawakal itu usaha maksimal dengan mengerahkan segala kemampuan yang telah Allah ilhamkan. Lalu setelah ikhtiar maksimal itu, maka serahkan semuanya kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya dia akan mencukupinya.” (Qs. ath-Thalaq: 3).

Tawakal akan menanamkan kepada hati kesungguhan dalam menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi kita selama hidup di dunia.

Keempat, bekal selanjutnya adalah syukur. Hidup akan indah, jika setiap muslim mampu menyukuri setiap pemberian Allah, tanpa terkecuali. Syukur adalah bukti iman seorang hamba. Syukur juga merupakan tanda terima kasih seorang hamba atas segala limpahan nikmat dari Allah Ta’ala.

Tentang rasa syukur ini, Allah tidak akan pernah menyiksa orang-orang yang banyak bersyukur kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Mengapa Allah akan menyiksa kalian kalau kalian bersyukur dan beriman?” (Qs. an-Nisa: 147).

Bentuk rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita. Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan hilang dengan kufur.

Kelima, bekal seorang muslim adalah sabar. Sabar dan syukur setali tiga uang. Sabar merupakan kunci untuk meraih surga dan ridha Allah Ta’ala. Hebatnya, Allah Ta’ala itu menyertai orang-orang yang bersabar. Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya, Allah itu menyertai orang-orang yang sabar.” (Qs. al-Baqarah: 153). Apa pun profesinya, manusia sangat memerlukan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan kesabaran dalam mengajar anak didiknya.

Begitu juga dengan profesi yang lain. Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang yang sabar terhadap ujian hidup di dunia.

Keenam, bekal yang lain adalah zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR. Ibnu Majah).

Ketujuh, bekal seorang muslim adalah itsarul akhirah (mengutamakan akhirat). Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Barangsiapa menghendaki akhirat dan mengusahakan bekal untuknya sedangkan dia beriman maka mereka itulah yang dibalas usaha mereka.” (Qs. al-Isra’: 19).

Inilah bekal yang harus kita persiapkan sebelum nantinya Allah memanggil kita untuk menghadap-Nya. Yakinlah, inilah bekal yang menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat dalam kehidupan dunia ini.[]

 

Al-Qur`an Obat Hati Sakit

Dalam menjalani kehidupan ini, tak jarang hati menjadi tersakiti. Sebabnya, bisa saja karena faktor eksternal juga internal. Yang jadi masalah, jika rasa sakit hati itu sampai membawa siempunya tidak ingin melakukan amal ibadah lainnya. Semua rasanya hampa. Hidupnya seolah sudah finish. Seperti sudah tak ada cahaya harapan diseberang sana.

Berikut ini adalah tips bagaimana Islam mengajarkan agar umatnya tetap memiliki hati yang sehat dan bahagia sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit hati. Yuk disimak.

Untuk menjaga hati kita agar tetap sehat, dan terhindar dari beragam penyakit syubhat dan syahwat, maka lakukanlah terapi Al-Qur`an dengan cara sebagai berikut.

Pertama, membaca Al-Qur’an. Sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita wajib membaca Al-Qur’an setiap waktu. Bagaimana mungkin kita bisa memahami ayat-ayat Allah jika kita tidak membacanya?

Banyak keutamaan dari membaca dan memahami Al-Qur’an. Syekhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam kitabnya, Riyaadhus-Shaalihiin, membuat bab khusus tentang Keutamaan Membaca Al-Qur’an, di antaranya.

1). Al-Qur’an akan menjadi syafaat atau penolong di hari kiamat untuk para pembacanya. Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim);

2). orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an merupakan sebaik-baik manusia. Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi);

3). Untuk orang-orang yang mahir membaca Al-Qur’an, maka kelak ia akan bersama para malaikat-Nya. Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim);

4). Untuk mereka yang belum lancar dalam membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an, tidak boleh bersedih, sebab Allah tetap berikan dua pahala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim);

5). Al-Qur’an dapat meningkatkan derajat kita di mata Allah. Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim);

Kedua, menghafalkannya. Akal merupakan anugerah yang sangat agung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak diragukan lagi, bahwa hal paling mulia yang terekam dalam memori manusia adalah Al-Qur`an. Semakin banyak muatan Ayat-ayat Al-Qur`an dalam memori seseorang, menjadikan hamba tersebut semakin mulia di sisi-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menjadikan Al-Qur`an mudah untuk difahami dan dihafal oleh manusia, dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

 “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur`an untuk peringatan, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17).

Sungguh beruntung seorang muslim yang menyibukkan dirinya dengan menghafal Al-Qur`an, baik di Pesantren Tahfizh Al-Qur`an, Madrasah Diniyah, Sekolah, maupun beragam lembaga lainnya. Manakala kita tidak bisa menjadi bagian dari mereka, maka marilah kita menjadi pribadi yang mendukung kegiatan mereka dengan segala potensi yang kita miliki, baik dengan harta, pikiran, tenaga ataupun potensi lainnya, sehingga kita bisa berperan serta dalam menghidupkan dan membumikan Al-Qur`an, akhirnya kita menjadi insan yang beruntung dunia dan akhirat.

Ketiga, mempelajari dan mentadabburinya. Selain menghafalkan, kita juga diwajibkan untuk mempelajari, merenungi, dan mentadabburi makna dan kandungan Al-Qur`an. Berupa kandungan akidah, hukum-hukum, maupun kisah-kisah di dalamnya, agar hati menjadi tunduk, lembut, bersih nan jernih dengan kejernihan Al-Qur`an. Maka, tidaklah mengherankan jika muslim terbaik adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an, selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَه

“Manusia terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an.” (HR. Bukhari no. 5027, dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu).

Keempat, mengamalkannya. Setelah mempelajari Al-Qur`an, kewajiban berikutnya adalah mengamalkan kandungannya dalam kehidupan kita, baik berupa akidah ataupun hukum-hukumnya. Kita terapkan Al-Qur`an dalam kehidupan kita sehari-hari, di rumah, di masjid, di tempat kerja, dan di mana pun kita berada, sehingga Al-Qur`an menjadi pedoman dan tuntunan hidup kita dalam beribadah, berakhlak, dan bermuamalah dengan sesama manusia.

Sungguh, akhlak manusia terbaik sepanjang sejarah, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah Al-Qur`an, tatkala ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak beliau, maka ia menjawab:

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ

 “Sungguh, akhlak Nabi Allah a adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim no. 746).

Kelima, mengajarkannya. Setelah mengamalkan Al-Qur`an, kewajiban berikutnya adalah mengajarkannya kepada orang lain, agar muslim yang lain bisa mendapatkan kebaikan dan keberkahan Al-Qur`an. Selain menjadi muslim yang terbaik, orang yang mengajarkan Al-Qur`an akan mendapatkan pahala orang yang diajarinya, tanpa mengurangi pahala orang yang diajari sedikit pun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa memberi petunjuk kepada hidayah (kebenaran), maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang diajarinya, tanpa mengurangi pahala orang yang diajari sedikit pun…” (HR. Muslim 2674 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Sungguh bahagia manakala seorang hamba menghiasi hidupnya dengan mengajarkan Al-Qur`an dan segala disiplin ilmu agama yang berkaitan dengannya, seperti Tajwid, Tafsir, Fikih, Hadits, dan lain sebagainya. Jika kita tidak bisa terjun langsung sebagai pribadi yang mengajarkan Al-Qur`an dengan beragam ilmu pendukungnya di pesantren atau semisalnya, maka mari kita menjadi penyokong dakwah Islam dalam penyebaran ilmu Al-Qur`an, dengan harta, pikiran, energi, tenaga, dan segala hal yang kita miliki, agar kita pun bisa meraih pahala yang melimpah seperti mereka.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kaum muslimin termasuk para hamba yang senantiasa membaca, menghafal, mempelajari, mengamalkan dan mengajarkan Al-Qur`an, serta menjadi penyokong dakwah Islam dalam menyebarkan Al-Qur`an dan beragam ilmu pendukungnya, wallahua’lam.[]