batu

Dua Pemukim Israel Terluka dalam Serangan Batu di Silwan

GAZA MEDIA, AL-QUDS – Sedikitnya dua pemukim pendatang Israel terluka pada hari Senin (27/12/2021), dalam serangan batu yang dilemparkan ke kendaraan mereka di kampung Silwan di al-Quds.

Menurut sumber Israel, kendaraan pemukim pendatang Israel tersebut memasuki kota Silwan dan penduduk Silwan menyerangnya dengan lemparan batu ke arahnya. Kemudian dilaporkan bahwa dua di antara pemukim pendatang Israel dinyatakan terluka, seperti dikutip dari Palinfo.

Belakangan ini laju penyerbuan yang dilakukan oleh pendudukan Israel dan para pemukim pendatang Yahudi ke kampung Silwan meningkat. Setelah itu meletus konfrontasi secara sporadis, yang mengakibatkan perusakan dan penangkapan yang meluas di kampung dan kota.

Enam perkampungan di Silwan terancam mengalami penghancuran semua rumahnya, dengan dalih bahwa bangunan tersebut dibangun tanpa mendapatkan izin dari penjajah Israel, atau terancam pengosongkan dan pengusiran penghuninya untuk kepentingan asosiasi permukiman Israel.

Selama beberapa tahun terakhir, tim kotamadya pendudukan Israel di al-Quds telah mengirimkan 6.817 perintah pembongkaran secara yudisial dan administratif ke rumah-rumah di perkampungan kota tersebut, di samping perintah pengosongan 53 bangunan tempat tinggal di kampung Batn al-Hawa untuk kepentingan pemukim pendatang Israel.

Untuk diketahui bahwa luas tanah kota Silwan adalah 5.640.000 meter persegi, yang terdiri dari 12 kampung, dihuni oleh sekitar 58.500 warga al-Quds. Sementara di kota tersebut ada 78 koloni permukiman Israel yang dihuni 2.800 pemukim pendatang Yahudi.

Untuk menekan warga Palestina dan mencegah bangunan tidak berizin, pada tanggal 25 Oktober 2017, pendudukan Israel mengamandemen 116 Undang-undang Perencanaan dan Bangunan, yang dikenal sebagai Hukum Kaminets, salah satu dari banyak undang-undang rasis terhadap orang Palestina.

Kota Silwan merupakan daerah pelindung selatan bagi Masjid al-Aqsha dan mihrabnya. Pendudukan Israel berusaha mengusir penduduknya dengan menjarah atau menghancurkan rumah-rumah mereka, serta merebut tanah dan menarget pemakamannya.[]

Intifadhah Batu dan Pergeseran Strategis dalam Perlawanan Rakyat

GAZA MEDIA, GAZA – Di antara peristiwa di bulan Desember yang paling menonjol untuk mengenang perjuangan Palestina adalah pecahnya Intifadhah Batu. Sebuah tonggak sejarah dalam sejarah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan penjajah Zionis.

Semuanya tampak baik-baik saja pada tanggal 8 Desember 1987, sampai seorang pemukim pendatang Israel yang mengendarai truk berat dengan sengaja menabrak 4 pekerja Palestina dari kamp pengungsi Jabalia, dan mereka terbunuh seketika.

Sehari setelah insiden tersebut, demonstrasi rakyat meletus di seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat. Semua aksi demo dihadapi penjajah Israel dengan tindakan represif, yang menyebabkan kematian seorang mahasiswa Palestina dan melukai puluhan lainnya.

Perlawanan rakyat dimulai dengan penggunaan batu terhadap patroli pendudukan Israel. Kemudian bom molotov dan pisau, dan berakhir dengan aksi-aksi berani mati bersenjata yang membingungkan perhitungan keamanan entitas pendudukan Israel.

Ciri terpenting dari Intifadhah Batu, atau Intifadhah Pertama, sebagaimana beberapa orang menyebutnya, adalah bahwa intifadhah ini menyusup ke dalam pikiran orang-orang di dunia sebagai tindakan rakyat dan revolusioner yang menjadi model kemarahan pada pendudukan dan penjajahan kolonialisme terakhir.

Selama tujuh tahun intifadhah, tentara pendudukan Israel dan para pemukim pendatang Yahudi telah membunuh lebih dari 1.500 warga Palestina dan menangkap lebih dari 100.000 lainnya.

Pergeseran dan perubahan strategis

Puluhan ribu orang Palestina pada tahun 1970-an dan 1980-an bekerja di berbagai bidang lapangan kerja di kota-kota besar dan kecil di entitas pendudukan Israel, yang hampir merupakan satu-satunya peluang mata pencaharian bagi mereka.

Keadaan tenang sementara dalam masyarakat Palestina sebelum pecahnya Intifadhah pada tahun 1987, disertai dengan peningkatan koloni permukiman dan pengejaran semua orang yang berpartisipasi dalam setiap aksi nasional, sampai petir Intifadhah meledak.

Taysir Muhaisen, seorang analis politik, menegaskan bahwa intifadhah batu merupakan tahap penting dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina setelah periode ketenangan yang dialami oleh pendudukan Israel karena tidak adanya bintang aksi revolusioner.

Dia menambahkan, “Israel sudah tenang dengan hal-hal di dalam wilayah pendudukan. Akan tetapi pecahnya intifadhah adalah perubahan dan pergeseran strategis dalam hubungan antara rakyat Palestina dan penjajahnya di Gaza, Tepi Barat, dan wilayah Palestina 48.”

Para pemuda yang marah sejak hari pertama intifadhah mengumpulkan stok kemarahan dari Nakbah tahun 1948 sampai 1987. Jalan-jalan berubah menjadi arena konfrontasi antara mereka dan pasukan patroli pendudukan Israel.

Beberapa bulan setelah pecahnya Intifadhah Batu, sebuah kepemimpinan terpadu dibentuk dari para pemimpin aksi nasional dan rakyat di dalam dan luar negeri, dan lahirlah salah satu gerakan Palestina yang paling penting yaitu gerakan Hamas, pada 14 Desember 1987.

Ibrahim Habib, seorang analis politik, berpendapat bahwa intifadhah merupakan kondisi inspirasi revolusioner bagi rakyat Palestina setelah istirahat sejenak bagi pendudukan Israel di saat revolusi Palestina melemah.

Kondisi sosial dan ekonomi penduduk Gaza dan Tepi Barat baik-baik saja, dengan penolakan mereka secara intelektual dan politik terhadap realitas pendudukan. Oleh karena itu, orang-orang Palestina segera bergegas dengan momentum besar ini untuk berpartisipasi dalam intifadhah sejak hari pertama aksi perlawanan rakyat ini diluncurkan.

Habib melanjutkan, “Partisipasi komprehensif di seluruh tanah Palestina menegaskan bahwa orang-orang bersatu dalam menentukan nasib yang tidak mungkin dikotak-kotak. Kemudian terjadi pengorganisasian aksi dari faksi-faksi nasional, maka Hamas muncul sebagai inti dari aksi militer yang kemudian terus berkembang.”

Menggagalkan intifadhah

Israel menanggapi dengan sepenuh kekuatan terhadap intifadhah batu dari hari-hari awal.Yitzhak Rabin, mantan menteri pertahanan Israel, mengumumkan kebijakan ‘mematahkan tulang’ untuk mengintimidasi orang-orang Palestina.

Kemarahan rakyat di kota-kota dan kamp-kamp pengungsi Palestina menyusup ke media-media yang melaporkan peristiwa tersebut ke negara-negara di dunia. Rakyat Palestina mendapatkan simpati luar biasa dengan masuknya kata “intifadhah” ke dalam kamus mereka yang menolak penindasan kolonialisme dan pendudukan.

Analis Muhaisen menyatakan bahwa pecahnya Intifadah Batu berdampak pada orientasi kebijakan Israel dalam menangani masalah Palestina, dan berdampak tren internasional karena terjadinya pergeseran dan perubahan yang mendadak.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berusaha menggunakan apa yang terjadi di dalam wilayah pendudukan untuk menghasilkan kerja perjuangan, pada saat pendudukan Israel fokus menggambarkan apa yang terjadi sebagai kondisi kekerasan dan terorisme untuk mendukung visi keamanannya.

Analis Muhaisen mengatakan bahwa intifadhah belum menghasilkan capaian strategis yang besar. Akan tetapi telah membangun inti yang kuat dan solid bagi aksi perlawanan di Gaza, yang saat ini merupakan bagian penting dalam perimbangan konflik.

Kurang dari tujuh tahun kemudian, lahirlah perjanjian “Oslo” sebagai upaya untuk menggugurkan bayi revolusi rakyat, di mana pendudukan tidak menemukan solusi bagi revolusi tersebut kecuali melarikan diri ke depan dari pintu gerbang kompromi, yang terbukti mengalami kegagalan dari tahap pertama. .

Analis Habib menjelaskan bahwa pendudukan Israel berkepentingan untuk menghindari intifadhah, sehingga datang dengan kesepakatan “Oslo” setelah ketidakmampuannya menghadapi anak-anak dan pemuda Palestina yang marah menggunakan sarana primitif.

Dia melanjutkan, “Jika orang-orang Palestina dibiarkan dalam intifadhah, dan Kesepakatan Oslo tidak ditandatangani, hasilnya akan lebih baik bagi perlawanan, karena waktu berlalu dan krisis entitas meningkat akibat kondisi kemarahan rakyat.”

Intifadhah Batu tahun 1987 bukanlah peristiwa biasa dalam sejarah konflik Palestina-Israel. Peristiwa ini telah menghidupkan kembali aksi nasional dan mendorong ribuan rakyat Palestina untuk berpartisipasi secara nasional dalam mendukung sebuah isu yang dibawa oleh para kakek-nenek kepada cucu-cucu mereka.[]