jangan

Jangan Merasa Lebih Mulia

Bisa jadi karena berbagai faktor, manusia yang satu merasa lebih mulia dari manusia yang lain. Tak jarang, dalam kehidupan sehari-hari saja, terkadang terbetik di hati saat melihat pengemis lewat di jalan, kita sudah merasa lebih baik dan mulia darinya. Tapi, tahukah kita, bisa jadi pengemis yang baru saja kita lihat itu jauh lebih mulia di mata Allah dibanding kita yang selalu duduk di kursi empuk dan mobil mewah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki  seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49:13).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengatakan tidak ada satu manusia pun yang lebih mulia di atas manusia yang lain kecuali atas dasar ketakwaan. Di dalam kata “Takwa” itulah sejatinya letak kemuliaan manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataannya, pandangan tentang kemuliaan seseorang itu kini sudah bergeser jauh. Takwa bukan lagi sebagai standar kemuliaan seseorang baik dihadapan manusia bahkan dihadapan Allah Ta’ala.

Standar mulia di mata manusia hari ini hanya terfokus kepada tiga “TA” antara lain; Harta (kekayaan materi), Takhta (kekuasaan dan pengaruh), dan Wanita. Ketiga hal itu yang kini justeru menjadi penilaian mulia tidaknya seseorang. Seolah-olah dengan harta kekayaan semua bisa dibeli dan dimiliki. Dengan kekuasaan semua bisa dikendalikan dan dengan mempunyai istri-istri cantik semua bisa terpuaskan.

Belajar dari Zahid

Bukalah sirah kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama para sahabatnya. Dari sekian banyak kisah, pilihlah kisah Zahid, seorang shahabat yang tidak seterkenal Abu Bakar As Shiddiq, miskin dan berparas tidak rupawan. Ia melamar seorang muslimah yang cantik dan anak seorang yang kaya raya di masa itu. Berikut kisahnya.

Di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada seorang pemuda bernama Zahid. Usianya sudah 35 tahun tapi belum juga berumah tangga. Ia termasuk ahlus shuffah di masjid Madinah. Suatu hari ketika Zahid sedang duduk-duduk, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghampirinya dan mengucapkan salam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Wahai Zahid sahabatku, selama ini engkau sendiri saja.”

“Allah bersamaku ya Rasulullah,” jawab Zahid.

“Maksudku mengapa kamu selama ini membujang saja. Apakah kau tidak mau menikah?” tanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

“Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, wajahku jelek, siapa
yang mau denganku ya Rasulullah?” ucap Zahid sedih.

“Asal engkau mau, Allah akan memudahkanmu,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar seorang wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik.

Akhirnya, surat itu dibawah Zahid ke rumah Said. Lalu Zaid memberikan surat tersebut dan diterima oleh Said. “Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku.”

Said menjawab, “Adalah suatu kehormatan buatku.” Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab pernikahan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus menikah dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus menikah dengan orang kaya, itulah yang dinamakan sekufu.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?” Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong?”

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini? Bukankah lebih baik jika diajak masuk?”

“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tidak mau ayah!” Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau, bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama Rasul?”

Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.”

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah tidak mengatakan bahwa yang melamar ini atas perintah Rasulullah, kalau begitu segera nikahkan aku dengan pemuda ini.”

Begitulah jawaban orang beriman ketika Allah dan Rasul-Nya memanggil. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 24: 51)

Maka pada hari itu Zahid merasa senang sekali karena akan segera menikah. Ia pun segera pamit, pulang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasul yang bahagia melihat Zahid diterima lamarannya pun bertanya, “Sudah ada persiapan?”

Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.” Akhirnya Rasulullah memintanya pergi menemui Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan pernikahan.

Di hari yang sama, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap-siap menghadapi kaum kafir yang akan meruntuhkan Islam. Sesaat setelah Zahid sampai di masjid, para sahabat dan kaum muslimin sedang bersiap-siap dengan perlengkapan perang.

Zahid bertanya, “Ada apa ini?” Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Kalau begitu perlengkapan nikah ini
akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”

Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”

Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!” Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan- Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9: 24).”

Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah. Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”

Lalu Rasulullah membacakan Al Quran surat 3 : 169-170 dan 2: 154). “Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS 3: 169-170).

Begitulah kehidupan, jangan pernah merasa diri lebih dan mulia dibanding orang lain. Bia jadi kita punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, tapi sebaliknya orang lain juga bisa jadi punya kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kelemahan kita. Karena itu, jangan pernah merasa lebih mulia dihadapan siapa pun termasuk orang yang  berkulit hitam dan berwajah tidak tampan.

Perlu diingat, kemuliaan hanya milik Allah dan Rasul-Nya, dan orang yang paling mulia di bumi dan di langit, adalah orang yang paling takwa di antara manusia, wallahua’lam.[]

 

Akibat Merasa Bisa

Sebagian kita masih terpeleset dalam sifat Merasa Bisa, disadari atau tidak. Padahal, salah menafsirkan kata dan kalimat bisa berakibat fatal. Merasa bisa, bisa jadi kalimat sederhana yang mungkin sedikit mau memaknainya. Namun, tak sedikit orang yang justeru menjadi hina di mata manusia juga Sang Pencipta karena sifat merasa bisa itu.

Dalam kehidupan ini, bisa jadi banyak manusia yang merasa bisa dalam segala hal. Ingat ya, merasa bisa bukan bisa merasa. Akibatnya, sekedar untuk menjaga eksistensi siapa dirinya, maka ia memaksakan kehendak untuk menjadi orang yang merasa bisa.

Merasa bisa ini sejatinya adalah wujud dari sebuah kepercayaan diri terhadap suatu hal.  Namun sayang, kepercayaan diri itu muncul tidak berdasarkan ilmu tapi sekedar luapan ego untuk mempertahankan esksistensi tadi. Singkatnya, merasa bisa adalah sebuah kefatalan dalam hidup karena di sana ada seonggok kesombongan yang tak bisa ditundukkan oleh kebenaran.

Fir’aun dan Qarun pun merasa bisa

Untuk orang-orang yang merasa bisa, ketahuilah Fir’aun tenggelam di Laut Merah akibat dia merasa bisa. Bisa melawan menyamai Allah. Bahkan dia sesumbar ‘Ana Rabbukumul A’la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)’ [lihat, QS. An-Nazi’at Ayat 24]. Perhatikan, ini adalah ungkapan yang terlahir dari kalimat merasa bisa. Sederhana, tapi sukses mengantarkan Bapak Angkat Nabi Musa AS itu berjalan menuju kediaman terakhirnya; tenggelam di Laut Merah. Itu Fir’aun yang merasa bisa karena seolah memiliki segalanya.

Lalu lihat bagaimana Allah punya cara menenggelamkan Qorun yang juga punya sifat merasa bisa. Mulanya Qarun adalah orang miskin. Tak betah dalam kemiskinannya, ia minta tolong pada Nabi Musa AS yang sepupunya untuk berdoa agar Allah mengganti segala kepahitan hidup Qarun. Karena iba pada Qarun, Nabi Musa AS pun menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa agar Allah mengganti kesulitan hidupnya dengan kemudahan.

Allah mengabulkan dosa Musa AS. Qarun pun perlahan tapi pasti sukses menjadi pedagang emas. Berbilang tahun, ia pun sukses menjadi orang terkaya di masanya. Tibalah suatu hari utusan Nabi Musa AS untuk meminta infaq dan zakat dari Qarun atas semua harta kekayaannya. Qorun menolak membayarkan zakat kepada utusan Nabi Musa AS itu. Lagi-lagi dia merasa bisa.

Qarun merasa bisa. Dia pikir karena ilmunya harta sebanyak yang dimilikinya saat ini bisa terkumpul. Ini katanya, ”Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” [Qs. Al-Qashash: 78]. Sifat merasa bisa membuatnya menjadi angkuh. Lalu Allah menenggelamkan Qarun bersama seluruh harta kekayaannya ke dalam bumi [Qs. Al-Qashash: 81].

Jadi, kita jangan pernah merasa bisa dalam menapaki pergaulan hidup ini, walaupun Anda sebenarnya bisa. Ingat, sifat merasa bisa itu lahir dari percikan api kesombongan dan egosentris. Coba perhatikan disekeliling Anda, orang-orang yang merasa bisa pasti egonya tinggi, keinginannya harus selalu diikuti, terkesan memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting.

Sekali lagi jangan pernah merasa bisa, sebab Allah, dan semua makhluk bernama manusia tidak pernah senang dengan orang yang merasa bisa. Hati-hati, jika Anda terus memelihara sifat merasa bisa itu, bisa jadi Anda sebentar lagi akan tenggelam dalam peradaban manusia. Anda tidak akan pernah dikenal sebagai pahlawan tapi sebaliknya orang akan mengenal Anda sebagai pecundang []