kafir

Ini Ciri Orang Kafir

Allah Ta’ala menciptakan manusia di muka bumi ini hanya terbaik dalam dua hal; muslim atau kafir. Dalam artikel singkat ini, akan dipaparkan beberapa sifat orang-orang kafir dengan tujuan agar seorang muslim tidak terjerumus dalam bujuk rayu musuh-musuh Allah tersebut.

Allah adalah Tuhan pencipta semua makhluk hidup termasuk di dalamnya adalah orang-orang kafir. Jika diterjemahkan secara bebas, maka yang dimaksud dengan orang kafir adalah suatu kaum yang mereka tidak menjadikan Allah sebagai Tuhannya, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai Nabinya.

Allah pencipta segala yang ada di jagat raya ini, dan semua sudah lama tertulis dalam Lauhul mahfudz. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taghabun: 2).

Di dalam kitab-Nya, Allah Ta’ala sudah menjelaskan mana-mana saja jalan orang-orang yang rugi dan beruntung, orang yang bahagia dan sengsara. Allah Ta’ala juga di dalam banyak ayat-Nya mengingatkan manusia beriman agar jangan sampai mengikuti langkah orang-orang kafir.

Di antara beberapa sifat orang kafir yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah sebagai berikut.

Pertama, selalu membuat makar. Inilah di antaranya sikap orang kafir yang pasti melekat dalam pikiran dan hatinya. Mereka selalu berusaha menipu, merusak, dan mencelakakan kaum muslimin. Kalaupun mereka tampil seperti orang-orang yang ramah dan amanah, terpuji juga berakhlak mulia, maka ketahuilah sesungguhnya itu adalah tipu muslihat belaka.

Tentang keburukan sifat itu, Allah Ta’ala sudah menjelaskan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang yang di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran:118).

Kedua, munafik. Orang kafir sudah pasti munafik. Dengan sifat munafiknya itulah kaum beriman tak sedikit yang tertipu. Orang-orang kafir itu biasa membungkus kesesatan dengan petunjuk, kebenaran dengan keburukan. Sehingga kaum muslimin mudah sekali terjebak dengan tipu dayanya.

Tapi Allah, pasti akan membinasakan orang kafir, sebab Allah tidak akan pernah ridha melihat hamba-hamba-Nya ditipu dan disakiti oleh kaum kafir itu. Allah tidak akan pernah tinggal diam atas semua tampilan munafik kaum kafir itu. Karena itu, jangan sampai orang beriman menaati orang-orang kafir.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik.” (QS. Al-Ahzab: 1).

Ketiga, ilmu hanya sebatas dunia. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah mengatakan, “Seluruh amalan dan urusan orang kafir pasti ada cacatnya sehingga manfaatnya tidak pernah maksimal.” Orang-orang kafir sama sekali tidak tahu sedikitpun dengan ilmu akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Rum: 7).

Sungguh, miris sekali nasib orang kafir. Boleh saja mereka terlihat berharta, berpangkat, dan berpengaruh. Tapi sejatinya mereka hidup dalam kebingungan dan kebimbangan tak terperikan. Tujuan utama hidupnya hanya untuk urusan perut, senda gurau dan apa pun usahanya mau halal, haram semuanya hantam saja.

Keempat, selalu menjadi penghalang perbuatan baik. Orang-orang kafir itu selalu menghalangi perbuatan baik, tidak bisa berterima kasih dan mengonsumsi makanan yang  haram. Allah berfirman:

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83).

Orang kafir  hidup hanya dalam fatamorganan dunia. Mereka tidak pernah bisa mengenal  bahwa dunia ini hanyalah tempat yang sementara. Selain itu, mereka menjadikan hawa nafsunya sebagai tuntunan. Sehingga seluruh anggota tubuhnya digunakan hanya untuk memuaskan nafsu belaka.

Kelima, jiwa orang kafir selalu menjerit pedih akibat dosa-dosanya. Orang kafir selalu berbuat dosa, karena ia jauh dari Allah Ta’ala. Dia tidak akan pernah bisa merasakan nikmat dan manisnya iman. Laknat dan murka Allah selalu menyertai orang kafir, dan mereka adalah makhluk Allah yang paling buruk.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6).

Keenam, kematian seorang kafir akan menimbulkan ketenangan dan ketentraman bagi penduduk dunia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ketika melihat rombongan membawa jenazah,

الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

“Hamba yang beriman akan istirahat dari keletihan dan derita dunia menuju rahmat Allah sementara hamba yang fajir (bergelimang maksiat, jika dia mati) maka manusia, negeri, pepohonan dan binatang melata akan terbebas dari keburukannya.” (HR. Bukhari).

Itulah di antara sebagian kecil ciri-ciri orang kafir. Semoga  kita selalu bisa menjaga diri dari jebakan orang-orang kafir dan bisa terhindar dari fitnah besar akhir zaman yang bisa jadi akan segera datang.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

بَادِرُوْا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ, يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا, وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا, يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا قَلِيْل

“Bersegeralah melakukan amal shaleh sebelum datangnya fitnah seperti malam gelap gulita; pada pagi hari seseorang beriman dan sore harinya menjadi kafir, atau sore hari dia mu’min kemudian pada pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan sedikit dari dunia.” (HR. Ahmad).[BA]

Meragukan al Qur’an Berarti Kafir

Setiap Muslim harus meyakini dengan keimanan yang benar apa pun yang disampaikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al Qur’an. Sebab jika tidak meyakini sedikit saja isi dari al Qur’an, maka hukumnya ia telah menjadi kafir. Inilah dalil bagi orang yang mengingkari, ragu-ragu, tidak percaya atas setiap pesan kebaikan yang ada di dalam al Qur’an.

Menurut Syeikh Muhammad Khudari Beik dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islam menyatakan bahwa, “al Qur’an adalah lafadz (firman) Allah yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk dipahami isinya dan selalu diingat, diamalkan, yang disampaikan dengan cara mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.”

Sebagai salah satu dasar hukum Islam dan sebagai kalamullah, al Qur’an terjaga kemurniannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Hijr ayat 9,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al Hijr : 9)

Menurut ayat di atas, sejak al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhir zaman nanti kemurniannya akan tetap terjaga. Artinya, tidak akan pernah ada perubahan sekecil apapun pada al Qur’an karena baik manusia maupun jin tidak dapat melakukannya meskipun mereka bersekutu untuk merubah Al Qur’an.

Tidak sedikit jumlah ayat dalam al Qur’an yang menggambarkan ketidakmampuan manusia (dan jin) untuk membuat kitab yang serupa dengan Al Qur’an, di antaranya adalah  surat At-Tur ayat 33-34 dan surat Al isra’ ayat 88. Dalam surat At-Tur ayat 33-34 Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,

فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ. أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Ataukah mereka berkata, “Dia (Muhammad) mereka-rekanya.” Tidak! Merekalah yang tidak beriman. Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.” (Qs. At-Tur : 33-34).

Kemudian, dalam surat Al isra’ ayat 88 Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Qs. Al Isra’: 88).

Mengapa al Qur’an tidak dapat dipalsukan atau dirubah oleh manusia atau jin? Karena banyak umat Islam yang menjaga al Qur’an dengan cara menghafal. Manfaat menghafal al Qur’aninilah yang menjadi jaminan tetap murni dan aslinya Al Qur’an hingga akhir zaman nanti.

Karena itulah, bagi umat Islam, meyakini kemurnian dan keaslian Al Qur’an merupakan bagian dari rukun iman. Sebaliknya, ragu terhadap isi al Qur’an, walau hanya satu atau setengah ayat, maka hukumnya KAFIR.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2017 tentang Hukum Meragukan Kesempurnaan al Qur’an yang menyatakan bahwa meragukan kesempurnaan al Qur’an hukumnya adalah KAFIR.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keraguan terhadap al Qur’an adalah kekufuran.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, dan al-Thabrani).

Semoga siapa pun dari umat Islam ini yang membaca tulisan ini dan akhirnya memahami bahwa kehidupan ber-Jama’ah itu adalah suatu kewajiban yang sumbernya jelas dari al Qur’an dan as Sunnah tidak meragukannya dan berusaha untuk bersama-sama mengamalkannya atas dasar keyakinan akan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Ini Alasan Mengapa Shalat Sangat Penting?

Dalam banyak penjelasan, shalat merupakan bentuk komunikasi efektif seorang hamba kepada Allah sebagai Rabbnya. Karena itu, shalat mempunyai kedudukan yang teramat penting dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan, jika seorang muslim menghadapi berbagai macam masalah dalam hidupnya, Allah Ta’ala memintanya untuk menegakkan shalat.

Shalat juga menjadi pertanda yang membedakan antara orang kafir dan orang beriman. Sebab orang yang mendirikan shalat, berarti dia meyakini satu-satunya Tuhan yang wajib dan berhak disembah di jagat raya ini hanyalah Allah Ta’ala.  Tidak ada shalat, dan bukan shalat namanya jika ada penyembahan lain selain kepada Allah. Tak hanya itu, shalat pulalah yang menjadi penentu selamat tidaknya seorang hamba di akhirat kelak. Jika Shalatnya baik, maka bisa dipastikan semua amalnya akan baik. Namun sebaliknya jika shalatnya sudah buruk, maka semua amalnya pun menjadi buruk (tertolak).

Tulisan singkat ini, mencoba untuk mengetengahkan bahasan tentang pentingnya kedudukan shalat dalam Islam. Berikut kupasannya.

Pertama, shalat adalah tiang agama. Dalam Islam, shalat merupakan tiang agama seseorang. Jika orang tersebut mendirikan shalatnya, bisa dipastikan ia telah menegakkan tiang agama ini (Islam). Sebaliknya, jika shalat tidak dijalankan, sama artinya ia telah merobohkan tiang agamanya sendiri.

Dalam hadits Mu’adz disebutkan,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak perkaranya adalah jihad” (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits inihasan). Tentu saja, jika tiang suatu bangunan roboh, akan roboh pula bangunan sekuat apapun ia dibangun.

Kedua, shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab. Jika saja banyak orang tahu bahwa amalan pertama kali yang akan dihisab adalah shalatnya, maka sudah tentu banyak orang yang berlomba-lomba mengerjakan shalat. Namun, sebaliknya malah banyak orang yang meninggalkan shalat, sebab mengira shalat hanyalah amalan biasa dan sama dengan amalan lainnya, astaghfirullah.

Padahal sebenarnya, amalan seseorang bisa dinilai baik buruknya dari shalatnya. Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ ” .

Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Bila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Bila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” (HR. Abu Daud no. 864, Ahmad 2: 425, Hakim 1: 262, Baihaqi, 2: 386).

Ketiga, perkara terakhir yang hilang dari manusia adalah shalat. Seperti kata Imam Al Ghazali, hal yang paling ringan di akhir zaman ini adalah meninggalkan shalat. Lihatlah fakta seharian dalam hidup kita, betapa masih banyak orang yang lebih memilih melanjutkan pekerjaannya, meski azan pertanda waktu shalat sudah tiba.

Dari Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad 5: 251. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Hadits ini jelas menyatakan bahwa ketika tali Islam yang pertama sudah putus dalam diri seseorang, yaitu ia tidak berhukum pada hukum Islam, ia masih bisa disebut Islam. Di sini Nabi tidak mengatakan bahwa ketika tali pertama putus, maka kafirlah ia. Bahkan masih ada tali-tali yang lain hingga yang terakhir adalah shalatnya.

Dalam riwayat lain, dari Zaid bin Tsabit, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يَرْفَعُ مِنَ النَّاسِ الأَمَانَةُ وَ آخِرُ مَا يَبْقَى مِنْ دِيْنِهِمْ الصَّلاَةُ

Yang pertama kali diangkat dari diri seseorang adalah amanat dan yang terakhir tersisa adalah shalat.” (HR. Al Hakim At Tirmidzi dan disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 2: 353).

Keempat, shalat adalah akhir wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa di antara wasiat terakhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak kalian.” (HR. Ahmad 6: 290. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).

Kelima, Allah memuji orang yang mengerjakan shalat. Jangankan dipuji oleh Allah, dipuji presiden saja membuat seseorang merasa bangga. Lalu bagaimana jika Allah, pencipta manusia dan alam semesta yang memujinya? Adakah pujian terbaik dan indah yang diterima manusia selain pujian dari Allah Ta’ala? Pujian itu hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang mengerjakan shalat, bukan kepada yang selainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (55)

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. ” (QS. Maryam: 54-55).

Keenam, shalat adalah penghubung yang paling kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Taka da ikatan yang kuat bagi seorang hamba kepada Tuhannya selain dari shalat. Itulah mengapa shalat menjadi wasilah penting dalam menuntaskan semua masalah. Adakah hubungan yang lebih mulia selain hubungan yang dibangun seorang hamba kepada Rabbnya melalui shalat?

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (yaitu surat Al-Fatihah, red.) untuk-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memujiku.”

 وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku menyanjungku.” (sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, red.)

وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang menguasai hari pembalasan”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.” Dan terkadang Allah berfirman, “Hamba-Ku memasrahkankan urusannya kepada-Ku.”

 فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.”

 فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Dan ketika hamba berkata (yang artinya), “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” (HR. Muslim no. 395).

Sudah tentu masih sangat banyak kedudukan shalat dalam kehidupan seorang muslim. Di atas hanyalah beberapa saja yang bisa diangkat. Semoga Allah menanamkan keteguhan di hati kita untuk senantiasa menegakkan shalat lima waktu semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah, wallahua’lam.[]