Ingin Murah Rezeki, Amalkan Di Antara Kuncinya

Di antara yang menyibukkan umat Islam adalah mencari rizki. Dengan kesibukannya itu tak jarang ada yang lupa dan lalai dalam menjalankan ibadahnya. Rizki memang diperlukan dalam menjalani kehidupan ini. Namun, jangan sampai melupakan Sang Pemberi rizki terutama dalam menjalankan ketaatan-ketaatan kepadaNya. Untuk menjemput rizki, setidaknya ada beberapa kunci yang bisa diamalkan oleh seorang muslim, antara lain sebagai berikut.

Pertama, istighfar dan taubat. Allah Subhanahu wa Ta’laa berfirman yang artinya, “Maka aku katakan kepada mereka, ”Mohonlah ampun kepada Robb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan me-ngadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 10-12).

Ibnu Katsir berkata, ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa menta’ati-Nya, niscaya Dia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan untuk kalian, membanyakkan anak dan melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di da-lamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta menga-lirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4 / 449)

Sebagian umat Islam menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata, dengan hanya memperbanyak kalimat, “Astaghfirullohal ‘adzim”. Tetapi kalimat itu tidak membe-kas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat ini adalah taubatnya orang yang dusta.

Imam An Nawawi menjelaskan,”Para ulama berkata, “Bertaubat dari segala dosa adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga, -pertama, hendaknya ia menjauhi dosa (maksiat) itu, -dua, ia harus menyesali perbuatan dosa itu, -tiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah. Jika taubat itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan -ke empat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa (had) hukuman tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalas-nya atau meminta maaf padanya. Jika berupa ghibah (menggunjing) maka ia harus meminta maaf.” (Riyadush Sholihin).

Kedua, taqwa. Allah Subhanahu wa Ta’laa berfirman yang artinya, “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengada-kan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Tholaq : 2-3 )

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata, ”Maknanya, barangsiapa bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperinyahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberi-nya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ath Tholaq : 2-3).

Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata,”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.” (Al Mufrodat fie Ghoribil Qur’an)

Orang yang melihat dengan kedua bola matanya apa yang diharam-kan Allah, atau mendengarnya dengan kedua telinganya apa yang di-murkai Allah Subhanahu wa Ta’laa, atau mengambilnya dengan kedua tangannya apa yang tidak diridloi Allah Subhanahu wa Ta’laa, atau berjalan ke tempat yang di kutuk Allah Subhanahu wa Ta’laa, berarti ia tidak menjaga dirinya dari dosa.

Jadi, orang yang membangkang perintah Allah Subhanahu wa Ta’laa serta melakukan apa yang dilarang-Nya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat, sehingga ia pantas mendapat murka Allah Subhanahu wa Ta’laa, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

Ketiga, tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’laa. Allah Subhanahu wa Ta’laa berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah menga-dakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Tholaq : 3).

Menafsirkan ayat tersebut, Ar Robi’ bin Khutsaim berkata, ”(mencukupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia.” (Syarhus Sunnah, 14 / 298). Menjelaskan makna tawakkal para ulama berkata, di antaranya Imam Ghozali, berkata, ”Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada “WAKIIL” (yang ditawakkali) semata.” (Ihya’ Ulumuddin, 4 / 259).

Al Allamah Al Manawi berkata, ”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.” (Faidhul Qodir, 5 / 311).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

(( لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكَّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا )) [رواه الترمذي وابن حبان]

“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

Sebagian manusia ada yang berkata, ”Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit.”

Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang hakekat tawakkal. Imam Ahmad berkata, ”Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal pada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”(Tuhfatul Ahwadzi, 7 / 8).

Imam ahmad menambahkan, ”Para shahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan merekalah teladan kita.” (Fathul Bari, 11 / 305-306), wallahua’lam.[]