myanmar

‘Pemerintah Bayangan’ Myanmar Minta Pengakuan dari Jepang

GAZA MEDIA, ISTANBUL – Pemerintah bayangan yang dibentuk oleh mantan anggota parlemen dan anggota gerakan supremasi sipil di Myanmar meminta pengakuan dari Jepang sebagai pemerintah resmi, kata media Jepang pada Selasa, seperti dikutip dari AA.

Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar, dalam surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Fumio Kishida, juga mengungkapkan rencana untuk mendirikan kantor di Tokyo, lapor Kyodo News.

Surat itu sudah dikirim bulan lalu. NUG telah membuka kantor operasi di AS, Inggris dan Korea Selatan.

Aliansi kelompok pro-demokrasi ini telah meluncurkan perjuangan di seluruh dunia untuk membela supremasi sipil di negara Asia Tenggara yang mayoritas beragama Buddha itu.

Jepang belum mengakui junta militer tetapi telah menjauhkan diri dari sanksi yang dikenakan pada militer oleh beberapa negara barat.

NUG juga tidak diharapkan untuk diakui sebagai pemerintah yang sah, menurut seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya dari Kementerian Luar Negeri Jepang.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen akan mengunjungi Myanmar 7-8 Januari, menurut pernyataan dari kantornya pada Selasa.

Undangan itu disampaikan oleh penguasa militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Ini akan menjadi kunjungan tingkat tinggi pertama dari pejabat asing sejak kudeta.

Pengumuman itu muncul saat Sen bertemu dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin yang sedang berkunjung.

Militer Burma, yang dikenal secara lokal sebagai Tatmadaw, melancarkan kudeta militer pada Februari dan memenjarakan pemerintahan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi yang pada Senin divonis empat tahun penjara.

Lebih dari 1.000 orang tewas sementara lebih dari 5.400 lainnya ditangkap oleh pasukan junta, banyak dari mereka telah dibebaskan.[]

Lebih 3 Juta Orang Butuh Bantuan Darurat di Myanmar

GAZA MEDIA, WASHINGTON – Lebih dari 3 juta orang membutuhkan bantuan untuk “menyelamatkan jiwa” di Myanmar setelah militer di sana merebut kekuasaan dan menggulingkan pemerintah sipil, kata kepala kemanusiaan PBB pada Senin.

Martin Griffiths, koordinator bantuan darurat PBB, mengatakan bahwa setelah kudeta militer 1 Februari lalu, Myanmar telah dicengkeram oleh “konflik dan ketidakamanan yang meningkat, masalah pandemi Covid-19 dan ekonomi yang gagal”.

Dia memperingatkan bahwa tanpa solusi politik untuk krisis, maka jumlah orang yang membutuhkan bantuan “hanya akan terus meningkat.”

Lembaga kemanusiaan telah menyediakan bantuan makanan, uang tunai dan nutrisi kepada 1,67 juta orang tahun ini, menurut angka PBB, tetapi rakyat Myanmar menghadapi kendala yang ditimbulkan oleh “kurangnya akses dan dana kemanusiaan.”

“Akses ke banyak orang yang sangat membutuhkan di seluruh negeri tetap sangat terbatas karena hambatan birokrasi yang diberlakukan oleh militer,” kata Griffiths dalam sebuah pernyataan saat Dewan Keamanan rapat secara tertutup mengenai krisis di Myanmar.

“Saya mendesak militer Myanmar – dan semua pihak – untuk memfasilitasi akses kemanusiaan yang aman, cepat dan tanpa hambatan,” lanjut dia.

Griffiths lebih lanjut meminta masyarakat internasional untuk mendanai kegiatan bantuan, dan mengatakan pihaknya telah menerima kurang dari setengah rencana pendanaan USD385 juta bantuan yang ditetapkan setelah kudeta militer.

“Rakyat Myanmar membutuhkan bantuan kami untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka ditegakkan dan mereka dapat hidup dengan bermartabat,” tutur dia, seraya mengeluhkan bahwa “dunia sekarang sedang menonton.”

Militer Myanmar menangkap para pemimpin dan pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari, dan menyatakan keadaan darurat satu tahun.

Awal bulan ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan sedikitnya 37.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, telah mengungsi karena eskalasi konflik baru-baru ini di barat laut negara itu. []