Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Umur umatku antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, sedikit sekali orang yang melampauinya.” (HR. Ibnu Majah, no. 4236, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah).
Bila dicermati, umur dari 60 hingga 70 tahun tentu tidak semua digunakan untuk ketaatan dan ibadah. Bisa jadi sekitar sepertiganya saja yang mampu digunakan untuk membanyakkan ketaatan. Renungkan, jika seseorang tidur dalam satu hari satu malam sekitar 8 jam maka jika dikalkulasikan secara keseluruhan, dia telah menghabiskan 1/3 dari umurnya.
Jika dalam satu hari satu malam dia mengalokasikan waktu untuk makan, minum, buang hajat sekitar 1 jam, itu artinya ia telah menyita 2,5 tahun dari umurnya dan sekitar 15 tahun dia habiskan untuk masa kanak-kanak, lalu berapa umur produktifnya? Jika dia ditakdirkan berumur 60 tahun maka umur produktifnya sekitar 22,5 tahun saja.
Terbatasnya umur mengharuskan seorang muslim untuk memiliki skala prioritas dalam beribadah dan beramal karena ia tidak akan sanggup menjalankan seluruh syariat dan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara prioritas dalam beramal itu adalah sebagai berikut.
Pertama, kerjakan amal yang wajib terlebih dahulu. Seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji yang wajib dan kewajiban-kewajiban yang lain. Kedua, kerjakan amalan sunnah yang mengiringi kewajiban sebagai amal tambahan. Seperti halnya shalat sunnah rawatib, puasa sunnah, sedekah, dll.
Landasan masalah ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah berfirman, ‘Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai melebihi amal yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku akan mencintainya.” (HR. Bukhari, no. 6502).
Ketiga, kerjakan amalan yang berpahala besar atau berlipat ganda. 1. Shalat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat di masjid-ku (Nabawi) lebih utama dari 1000 shalat di masjid selainnya kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram lebih utama dari 100 ribu shalat di masjid selainnya.” (HR. Ibnu Majah, no. 1406, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah).
2. Shalat berjama’ah dan shalat dhuha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa berjalan menuju shalat wajib sedangkan ia dalam kondisi bersuci maka baginya pahala orang berhaji yang lagi berihram, dan barang siapa berjalan menuju shalat dhuha maka baginya pahala orang umroh.”(HR. Ahmad, no. 22304, dishahihkan Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad).
3. Menghidupkan malam lailatul qadar dengan amal ketaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan.” (Qs. Al-Qadr: 3).
4. Shalat syuruq (shalat dua rakaat setelah terbitnya matahari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa shalat subuh secara berjama’ah kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit lalu ia shalat dua rakaat maka baginya pahala haji dan umroh.”(HR. at-Tirmidzi, no. 586, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam shahih at-Tirmidzi).
5. Menuntut ilmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa berangkat menuju masjid dengan niat belajar akan suatu kebaikan atau ingin mengetahui kebaikan maka baginya pahala orang haji secara sempurna.”(HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 7473, Imam ad-Dzahabi berkata, ‘Perawinya tsiqat dan sesuai dengan syarat Bukhari’).
Keempat, kerjakan ibadah yang pahalanya selalu mengalir walaupun pelakunya sudah meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal dan kebaikan seorang mukmin yang selalu mengalir kepadanya setelah kematiannya adalah: ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak sholeh yang ia tinggalkan, sebuah mushaf yang ia wariskan, sebuah masjid yang ia bangun, rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, sungai yang ia alirkan, sedekah yang ia keluarkan dari hartanya di waktu sehatnya, akan mengalir kepadanya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 242, dihasankan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah).
Kelima, memanfaatkan waktu dengan baik untuk ketaatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis lalu mereka tidak berdzikir kepada Allah kecuali baginya kerugian, tidaklah seseorang menelusuri suatu jalan lalu ia tidak berdzikir kepada Allah kecuali baginya kerugian, dan tidaklah seseorang berbaring di atas ranjangnya lalu ia tidak berdzikir kepada Allah kecuali baginya kerugian.” (HR. Ahmad 9583, dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq musnad Ahmad).
Keenam, jauhkan diri dari amalan yang menghapuskan amal kebaikan seperti. a]. Kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku kabarkan kepada kalian suatu kaum dari umatku yang mana mereka datang pada hari kiamat dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan amalnya bagai debu yang berhamburkan.”
Lalu Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah jelaskan kepada kami ciri-ciri mereka, agar kami tidak terjerumus seperti mereka sedangkan kami tidak menyadarinya?” Beliau bersabda, “Mereka itu adalah saudara kalian, kulit mereka seperti kulit kalian, mereka shalat malam seperti kalian shalat malam, akan tetapi setiap mereka dalam kesendiriannya mereka terjerumus dalam larangan-larangan Allah (bermaksiat).” (HR. Ibnu Majah, no. 2423, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah).
b]. Melanggar hak-hak orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang angkrut itu? Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut dari kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham dan harta”. Beliau bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku pada hari kiamat adalah orang yang datang dengan membawa pahala shalat, puasa, zakat, namun ia datang pula dengan membawa dosa mencela orang ini, menuduh orang ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, memukul orang ini, maka kebaikannya diberikan kepada orang ini dan orang itu, hingga jika amal kebaikannya habis sedangkan tanggungannya belum terlunasi, maka dosa-dosa orang yang ia zholimi dibebankan kepadanya hingga akhirnya ia dibenamkan ke dalam neraka.”(HR. Muslim, no. 2581).
c]. Ujub(Terpesona dan terlena dengan banyaknya amal dan menganggap sedikit amal orang lain). Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Keselamatan itu ada pada dua perkara, yaitu takwa dan niat (yang baik), dan kehancuran itupun ada pada dua perkara, yaitu berputus asa dari rahmat Allah dan ujub.” (Tanbihul Gafiliin lil Samarkhandi, 1/485, az-Zuhdu lil-Waqi’, no. 352, 1/631).
d]. Dosa yang terus mengalir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan siapa yang memulai perbuatan yang tercela dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya dengan tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka.”(HR. Muslim, no. 1017).
Mari gunakan sisa umur ini untuk ketaatan karena itu adalah modal utama, wallahua’lam.[]