Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada 18 Juni lalu mengambil langkah mengejutkan dengan mendelegasikan kewenangan yang sangat luas kepada Dewan Tertinggi Garda Revolusi Islam (IRGC).
Keputusan ini memungkinkan kekuatan militer paling berpengaruh di Iran itu untuk mengambil keputusan penting terkait keamanan nasional tanpa memerlukan persetujuan pemimpin tertinggi atau restu ulama.
Dengan kewenangan baru ini, IRGC dapat mengambil langkah besar—termasuk keputusan soal program nuklir maupun operasi militer berskala besar—secara mandiri, tanpa harus tunduk pada pengawasan religius.
Langkah ini melampaui sekadar perombakan birokrasi. Ini merupakan pergeseran struktural yang berimplikasi luas: IRGC kini bukan sekadar kekuatan keamanan dominan, tetapi juga menjadi pusat kekuasaan politik de facto di Iran.
Jaga kelangsungan revolusi, antisipasi Iran pasca-Khamenei
Keputusan ini dinilai sebagai bagian dari strategi matang untuk menghadapi masa transisi setelah Khamenei. Entah karena adanya ancaman terhadap keselamatan Khamenei atau ekspektasi internal bahwa era kepemimpinannya mendekati akhir, rezim tampaknya tengah bersiap agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan.
Dengan kewenangan yang telah dialihkan, IRGC akan berperan sebagai kekuatan stabilisasi, memastikan kelangsungan kendali negara selama masa transisi hingga pemimpin tertinggi baru ditunjuk.
Langkah ini juga dipandang sebagai upaya mempertahankan keberlangsungan sistem pemerintahan dan mencegah keruntuhan arsitektur pengambilan keputusan negara jika terjadi kematian mendadak atau pembunuhan terhadap Khamenei.
Dari teokrasi menuju rezim militer
Dengan perubahan ini, Iran kini memasuki fase baru yang dapat disebut sebagai “teokrasi termiliterisasi”. Legitimasi religius masih dipertahankan secara simbolik, namun kekuasaan nyata kini berada di tangan militer.
IRGC yang selama ini telah menguasai bidang keamanan dan ekonomi, kini secara resmi memegang kendali atas urusan kenegaraan. Ini menandai pergeseran mendasar dari sistem teokrasi religius ke sistem yang lebih militeristik.
Namun, konsolidasi kekuasaan ini juga meningkatkan risiko keputusan yang impulsif atau eskalatif—terutama terkait isu sensitif seperti Israel, jaringan proksi Iran, dan program nuklir. Logika militer dalam pengambilan keputusan sering kali berbeda dengan pendekatan ulama.
Langkah antisipatif di tengah tekanan
Waktu pengambilan keputusan ini menunjukkan bahwa langkah tersebut diambil di tengah tekanan internal dan eksternal yang meningkat. Di kalangan elite Iran, mulai muncul kesadaran bahwa fase kepemimpinan saat ini mendekati akhirnya. Di sisi lain, lawan-lawan Iran seperti Israel terus mendukung figur alternatif, termasuk Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Iran.
Dengan mengalihkan kekuasaan sejak dini, rezim mengantisipasi potensi manuver dari faksi reformis atau moderat yang mungkin ingin memanfaatkan masa transisi untuk menggeser keseimbangan kekuasaan.
Langkah ini juga menyatukan barisan militer sebagai wajah baru pemerintahan, bahkan sebelum perebutan kekuasaan dimulai.
Langkah ini juga menjadi pesan tegas bagi negara-negara Barat dan Israel: segala upaya menggulingkan rezim dengan menargetkan pemimpin tertinggi tidak akan menghasilkan kekosongan kekuasaan. Justru sebaliknya, kekuasaan akan segera beralih ke faksi paling keras dalam struktur negara. IRGC siap dan mampu mengambil kendali kapan saja.
Pesan ini dimaksudkan untuk mencegah skenario pergantian rezim lewat serangan pemenggalan kepemimpinan atau operasi rahasia, dengan memperingatkan bahwa hasilnya justru bisa jauh lebih radikal.
Sebagai catatan, IRGC sudah lama dicap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat. Di sisi lain, Mojtaba Khamenei—putra Ayatollah Khamenei yang juga seorang ulama menengah—telah lama menjalin hubungan erat dengan IRGC, sebagaimana dilaporkan Reuters. Hubungan ini memperkuat posisinya dalam bursa suksesi karena ia punya dukungan dari kalangan politik sekaligus militer.
Iran tak lagi reaktif, tapi proaktif
Ke depan, setiap eskalasi militer dari Iran tak bisa lagi dilihat hanya sebagai reaksi terhadap serangan. Dengan IRGC sebagai pengambil keputusan utama, berbagai langkah militer kemungkinan besar merupakan bagian dari strategi terencana yang bersifat ofensif.
Konsekuensinya, dinamika konflik di kawasan seperti Irak, Lebanon, dan Selat Hormuz akan menjadi semakin sulit diprediksi.
Perencana militer di negara-negara Barat maupun regional perlu mengevaluasi ulang struktur komando di Teheran, serta memahami logika institusional IRGC dalam membaca dan merespons berbagai situasi.
Dengan konsentrasi kekuasaan di tangan militer, Iran kian menyerupai negara militer yang dibungkus dengan simbol-simbol religius. Garda Revolusi kini berada di garis depan dalam bidang pertahanan, intelijen, bahkan pemerintahan.
Perkembangan ini menandai transisi besar dalam sistem politik Iran dan mengubah cara Iran beroperasi—baik di dalam negeri maupun dalam hubungan internasional.
Babak baru geopolitik Timur Tengah
Restrukturisasi internal ini bukan semata urusan domestik. Ini merupakan sinyal dari babak baru dalam persaingan geopolitik kawasan Timur Tengah. Teheran tengah bersiap menghadapi gejolak—baik akibat suksesi, konflik, atau keduanya—dan mengkonsolidasikan kekuasaan untuk memastikan kelangsungan rezim.
Pemerintah negara-negara kawasan dan kekuatan global perlu membaca sinyal ini dengan seksama. Iran tidak sedang menunggu badai, melainkan tengah mempersiapkan diri untuk mengendalikannya.