Setelah serangan udara Amerika Serikat (AS) yang menghantam 3 fasilitas nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—suasana penuh euforia sempat menyelimuti Israel.
Para pemimpin militer dan politik, serta sejumlah analis, menyambut gempuran itu dengan harapan besar. Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama.
Serangan balasan Iran datang lebih cepat dari yang diduga, mengubah euforia menjadi kecemasan.
Dalam kolomnya di Haaretz, analis politik senior Gideon Levy menulis tajam.
“Orang Israel mencintai perang, terutama pada permulaannya. Tak ada satu pun perang yang tak disambut dengan sorak-sorai. Tapi tak satu pun pula yang berakhir tanpa tangisan,” tulisnya.
Ia mengingatkan, Menachem Begin pernah memasuki Perang Lebanon dengan semangat tinggi, tapi keluar dalam kondisi depresi berat.
“Skenario serupa bisa saja terulang dalam perang melawan Iran. Kita sudah menyaksikan awal yang menggembirakan, tapi bisa berubah menjadi kemuraman ketika sirene peringatan berbunyi, jutaan orang masuk ke tempat perlindungan, dan kehancuran serta kematian mulai berdatangan,” tulis Levy.
Sejumlah pengamat pun melontarkan pertanyaan: apakah serangan ke Iran, sekalipun dengan dukungan penuh AS, benar-benar langkah yang menguntungkan?
Nafas panjang Iran dan tanda tanya strategi Israel
Mantan Perdana Menteri Ehud Barak, dalam tulisannya di Haaretz, mengakui euforia yang merebak pasca-serangan, namun menyebutnya sebagai ilusi dini.
Ia menilai, serangan balasan Iran justru memperlihatkan betapa cepatnya antusiasme berubah menjadi kebingungan.
“Euforia di jalanan itu terlalu cepat, terlalu jauh dari realitas. Seperti dikatakan Kepala Staf Eyal Zamir, kita mesti tetap rendah hati dan membaca kenyataan dengan cermat. Kita sedang menghadapi ujian panjang, sulit, dan menyakitkan,” tulisnya.
Di Yedioth Ahronoth, analis politik Nadav Eyal menegaskan bahwa perang tak diukur dari permulaannya, melainkan dari bagaimana ia berakhir.
Ia mendesak kabinet untuk mulai memikirkan strategi keluar. Ari Shavit, analis lain, mempertanyakan risiko yang dihadapi jika Iran melakukan aksi balasan besar.
“Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi. Ini adalah wilayah tak bertanda di peta sejarah,” katanya.
Analis militer Ron Ben-Yishai menyoroti pentingnya memahami bentuk balasan Iran. Apakah Iran akan menepati ancaman terhadap Selat Hormuz dan pangkalan-pangkalan minyak milik AS? Apakah mereka akan menyerang langsung Israel, atau memilih duduk di meja perundingan?
“Semua ini akan menentukan apakah perang akan berlangsung lama atau cepat berakhir,” tulisnya.
Sementara itu, jurnalis politik Anna Barsky dari Maariv menegaskan bahwa setelah serangan AS, justru pertanyaan-pertanyaan strategis mulai bermunculan: Apakah fasilitas nuklir Iran benar-benar lumpuh? Dan yang lebih penting, apakah kita sedang menuju perang panjang yang bisa lepas kendali?
Sejumlah analis militer juga mempertanyakan efektivitas serangan AS dalam mencapai tujuan utamanya: menghambat pengembangan program nuklir Iran.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, menurut mereka, akan menjadi ukuran sejauh mana serangan tersebut mendekatkan pada “kemenangan”.
Di mana strategi keluar Israel?
Pertanyaan paling krusial—dan paling sering diulang oleh para pengamat—adalah: adakah strategi keluar Israel dalam perang ini?
Menurut Nahum Barnea, kolumnis senior Yedioth Ahronoth, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak pernah memiliki rencana keluar dalam berbagai konflik yang ia hadapi.
“Baik di Gaza, dalam isu wajib militer bagi kaum ultra-Ortodoks, maupun kini terhadap Iran, Netanyahu selalu memesan hidangan paling mahal di meja, dengan asumsi bahwa orang lain yang akan membayar,” sindirnya.
Kegelisahan serupa disampaikan Prof. Assaf Medani dari Universitas Oxford. Ia mencatat bahwa meski di permukaan terlihat tenang, kekhawatiran mulai menguat di masyarakat Israel.
“Semakin banyak yang bertanya: apa sebenarnya tujuan perang ini? Apa yang akan terjadi setelahnya?” katanya.
Bahkan, keraguan itu merambah ke arah yang lebih politis. Danyella London Dekel menulis dengan nada tajam di Yedioth Ahronoth.
“Bagaimana kita bisa mempercayai sebuah kabinet yang terdiri dari koruptor, penjahat, dan manajer yang telah terbukti gagal dalam tugas-tugas sebelumnya?” tanyanya.
Udi Segal, analis lainnya, menilai bahwa perang terhadap Iran tak bisa dilepaskan dari kepentingan Netanyahu dan aliansi politik sayap kanannya.
Ia menyebut perang ini sebagai hasil dari gabungan yang tak biasa antara semangat pengorbanan, mistisisme, delusi kebesaran, dan kegilaan.
Menurutnya, rakyat Israel bersorak seperti banyak bangsa lain di awal perang, tapi yang membedakan hanyalah kepercayaan bahwa perang ini adalah bagian dari misi suci.
Perang yang menggerus kekuatan
Serangan militer Amerika Serikat ke Iran terjadi di tengah kondisi internal Israel yang kian tergerus.
Washington, dalam peringatan terbarunya awal pekan ini, menyatakan bahwa cadangan rudal pencegat “Hetz” (Arrow) milik Israel nyaris habis.
Kekhawatiran itu ditegaskan kembali oleh seorang pejabat AS yang dikutip The Wall Street Journal, menyebut bahwa rudal “Hetz-3” diperkirakan akan habis dalam hitungan minggu apabila perang tidak segera dihentikan.
Tak hanya Israel, Amerika Serikat pun mulai cemas terhadap stok rudal mereka sendiri.
Laporan dari Yoav Zitun, koresponden militer Yedioth Ahronoth, menyebut bahwa alokasi besar-besaran rudal ke kawasan Timur Tengah untuk mendukung perang justru mengurangi kesiapan AS jika terjadi konflik lain, semisal melawan Tiongkok.
“Kami mulai khawatir soal jumlah rudal yang tersisa untuk pertempuran besar ke depan. Jika ini terus berlangsung, rudal SM-3 akan menipis dan mengurangi cadangan kami untuk konfrontasi kinetik berikutnya,” kata seorang perwira Amerika yang pernah bertugas di kawasan Timur Tengah.
Antara dukungan dan keraguan
Sebuah jajak pendapat yang dirilis Institut Studi Keamanan Nasional (INSS) pada 17 Juni lalu menunjukkan bahwa sekitar 73 persen responden mendukung serangan Israel terhadap Iran.
Namun, hampir setengah dari mereka—sekitar 47 persen—meragukan bahwa pemerintah Israel memiliki strategi jelas untuk mengakhiri operasi militer tersebut.
Keraguan itu menguat di tengah pernyataan-pernyataan resmi Israel yang sebelumnya menyatakan operasi ini hanya akan berlangsung beberapa hari, namun kini telah berlarut dan justru diperkirakan akan memakan waktu panjang.
Panglima militer Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, bahkan secara terbuka meminta masyarakat Israel bersiap menghadapi kampanye militer yang “berkepanjangan”.
Sementara itu, pemandangan kehancuran akibat serangan balasan Iran menjadi penegas bahwa target-target utama Israel, termasuk penggulingan rezim Iran dan penghentian program nuklirnya, masih jauh dari kata tercapai.
Iran sendiri mengklaim telah berhasil menyerang sejumlah titik vital Israel. Dalam pernyataan resminya, disebutkan bahwa serangan rudal telah mencapai Bandara Ben Gurion, pusat riset biologi, serta sejumlah pos komando dan pusat kendali militer Israel.
Hal ini memperlihatkan bahwa sistem pertahanan udara Israel tidak sepenuhnya mampu membendung gelombang serangan, dan ini menciptakan kekhawatiran tersendiri di kalangan publik Israel.
Dalam kolom opini yang ditulis Dr. Michael Milshtein, Ketua Forum Kajian Palestina di Universitas Tel Aviv, ia memperingatkan agar Israel tidak larut dalam ambisi berlebihan seperti penggulingan rezim Iran. Menurutnya, fokus utama seharusnya tetap tertuju pada isu nuklir.
Ketahanan rezim dan kesatuan nasional Iran
Sebuah analisis dari Dr. Raz Zimmt, pakar urusan Iran di INSS, menyimpulkan bahwa Iran sejauh ini mampu mempertahankan stabilitas internalnya.
Menurutnya, meski program nuklir mengalami kerusakan, kerusakan itu belum menyentuh level kritis, karena fasilitas utama seperti pengayaan uranium di Fordow tidak terkena serangan.
Tak ada tanda-tanda bahwa rezim Iran mengalami krisis legitimasi internal. Sebaliknya, serangan Israel justru memperkuat dukungan publik dan mempertebal rasa solidaritas nasional.
Gambar-gambar kehancuran di kawasan permukiman sipil, seperti di Isfahan dan Teheran, justru memperkuat simpati rakyat terhadap pemerintah mereka.
Pemerintah Iran pun memanfaatkan narasi ini untuk membangun citra sebagai kekuatan yang mampu melawan Israel dan menimbulkan kerusakan nyata di wilayah lawan.
Mantan jurnalis dan pakar Israel, Mamoun Abu Amer, meragukan kemampuan Israel maupun Amerika untuk menggulingkan rezim Iran tanpa kehadiran pasukan darat di wilayah tersebut.
Ia membandingkan situasi ini dengan invasi AS ke Irak pada 2003 yang baru berhasil menggulingkan Saddam Hussein setelah intervensi darat skala besar.
“Upaya-upaya untuk mengeksploitasi perpecahan etnik atau sektarian di Iran juga tidak berhasil,” kata Abu Amer.
Ia menambahkan bahwa justru agresi Israel memperkuat kohesi nasional Iran.
Senada dengannya, Mokhtar Haddad, Pemimpin Redaksi Al-Wefaq—media pro-pemerintah Iran—menilai bahwa serangan Israel telah menyatukan semua elemen politik di dalam negeri Iran.
Rencana untuk mengguncang stabilitas internal gagal, dan justru menciptakan gelombang besar persatuan nasional.
Bayang-bayang bom nuklir
Konflik yang terus bergulir antara Israel dan Iran, dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS), justru memunculkan kekhawatiran baru yang lebih besar: apakah perang ini justru mendorong Iran untuk secara terbuka menyatakan diri sebagai negara pemilik bom nuklir?
Para analis Israel memperingatkan bahwa alih-alih menghentikan program nuklir Iran, perang ini mungkin memicu langkah strategis Teheran untuk membangun kekuatan penangkal melalui pengumuman kepemilikan senjata nuklir.
Dalam kolomnya di harian Haaretz, mantan Perdana Menteri Ehud Barak menyatakan bahwa keputusan Presiden Trump menarik diri dari perjanjian nuklir tahun 2018—atas desakan Israel—telah mempercepat langkah Iran.
“Pada 2018, Iran masih berjarak 18 bulan dari bom nuklir. Hari ini, mereka dalam kondisi genting. Kami memang menyerang fasilitas fisik mereka, tapi itu hanya menunda kemampuan mereka beberapa minggu. Mereka punya cukup bahan fisil untuk sekitar 10 bom, punya pengetahuan teknis, dan bahkan telah membangun fasilitas generasi berikutnya di kedalaman 800 meter. Faktanya, bahkan Amerika tidak bisa menghentikan mereka lebih dari beberapa bulan,” tegas Barak.
Profesor Asaf Medani mengajukan pertanyaan yang mengguncang kesadaran para pembuat kebijakan.
“Bagaimana jika kita gagal menghancurkan program nuklir Iran? Bagaimana jika mereka telah melampaui ambang batas dan memiliki senjata nuklir yang siap diluncurkan? Jika itu realita yang tengah terjadi, seberapa besar kemungkinan mereka akan menggunakannya?” katanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar spekulasi. Mereka mencerminkan kecemasan mendalam di kalangan elite politik dan militer Israel bahwa skenario terburuk bisa menjadi kenyataan jika pendekatan militer terus mendominasi tanpa hasil strategis yang jelas.
Dr. Raz Zimmt dari INSS menjelaskan bahwa bagi Teheran, keberlangsungan rezim adalah prioritas utama.
Dalam kerangka itu, program nuklir Iran dipandang sebagai “polis asuransi” yang melindungi sistem pemerintahan mereka dari tekanan eksternal maupun ancaman internal.
Zimmt menekankan bahwa pasca-perang, Iran tidak hanya ingin mempertahankan program nuklirnya, tetapi juga memastikan bahwa aset strategis seperti rudal, sistem komando, dan jaringan intelijen tetap utuh dan dapat digunakan untuk menghadapi krisis di masa depan.
Sementara itu, pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyatakan bahwa ancaman nuklir Iran “telah dihapus”, dianggap tak berdasar oleh banyak kalangan, termasuk jurnalis senior Nahum Barnea.
Bahkan, beberapa analis menilai bahwa agresi Israel bisa saja mendorong Teheran untuk secara resmi mengakhiri strategi ambiguitas dan menyatakan kepemilikan bom nuklir.
Mokhtar Haddad, Pemimpin Redaksi Al-Wefaq, menepis klaim bahwa serangan Israel-Amerika berhasil merusak fondasi program nuklir Iran.
Menurutnya, kekuatan utama program itu terletak pada sumber daya manusia—para ilmuwan muda Iran—yang sejak sebelum perang telah mempersiapkan berbagai skenario darurat.
Ia menambahkan bahwa perang hanya menguatkan tekad nasional Iran dan memperkuat keyakinan bahwa proyek nuklir mereka harus dilindungi dengan segala cara.
Mamoun Abu Amer, pengamat senior urusan Israel, mengangkat kemungkinan bahwa Iran dapat menempuh “Opsi Samson”—istilah yang merujuk pada sikap “bersamaku atau kita semua hancur”—jika mereka meyakini bahwa eksistensi negara dan keselamatan rakyat tak lagi dapat dijamin.
Dalam skenario itu, Iran diyakini akan membuka semua front, tidak hanya melawan Israel, tetapi juga menyerang kepentingan dan pangkalan militer AS di kawasan.