Gaza kembali berkabung. Dua jenazah mungil digendong dengan hati remuk oleh keluarga masing-masing, menyatu dalam satu iringan duka yang mengiris nurani.
Mereka adalah Nidal dan Kinda, dua bayi tak berdosa yang menjadi korban terbaru dari blokade Israel yang terus mencekik kehidupan di Jalur Gaza.
Nidal baru berusia lima bulan saat ia menghembuskan napas terakhir. Kinda bahkan belum genap 10 hari ketika hidupnya terenggut.
Keduanya meninggal dunia dalam kondisi kelaparan, tubuh kecil mereka kekurangan gizi dan tak mendapatkan hak paling dasar: susu.
Pada Kamis (26/6), keluarga mereka mengantar jasad Nidal dan Kinda dari Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza selatan, dalam suasana haru dan pilu yang menggambarkan nestapa panjang warga Gaza selama lebih dari delapan bulan terakhir.
Peringatan tentang krisis ini sebenarnya sudah disampaikan jauh hari. Pada 19 Juni lalu, 2 rumah sakit di Gaza mengeluarkan peringatan akan datangnya “bencana kesehatan”.
Hal itu disebabkan habisnya pasokan susu bayi dan pangan khusus anak-anak, di tengah terus berlanjutnya blokade dan agresi militer Israel.
Meninggalnya Nidal dan Kinda, menurut keluarga, bukan karena sakit biasa.
“Keponakan saya meninggal karena kekurangan gizi dan tidak tersedianya susu,” ujar Mahmoud Sharab, paman Nidal.
Ia menambahkan bahwa masih ada banyak kasus serupa di rumah sakit yang memerlukan bantuan segera berupa susu medis dan makanan bayi.
Sementara itu, ayah Kinda, Mohammad al-Hams, mengungkapkan bahwa putrinya wafat karena kombinasi antara malnutrisi dan kekurangan obat-obatan.
Ia menuding langsung Pemerintah Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini.
“Mereka adalah korban perang. Inilah prestasi yang dibanggakan Benjamin Netanyahu kepada rakyatnya,” katanya getir.
Ia juga menyesalkan sikap diam masyarakat internasional terhadap penderitaan anak-anak Gaza yang, menurutnya, “dibiarkan mati kelaparan.”
Ia menggambarkan situasi Gaza sebagai pemakaman terbuka, di mana setiap hari selalu ada jenazah yang dishalatkan, akibat serangan dan blokade yang tiada henti.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, situasi kemanusiaan di wilayah itu telah mencapai “titik bencana”.
Anak-anak, khususnya bayi, menjadi kelompok paling rentan di tengah melonjaknya angka kekurangan gizi akut, dengan tidak tersedianya susu khusus dan bahan makanan pokok.
Data terakhir dari Kantor Media Pemerintah Gaza menyebutkan bahwa hingga 25 Mei lalu, setidaknya 242 warga – sebagian besar anak-anak dan lansia – meninggal akibat kelaparan dan ketiadaan obat-obatan.
Sistem kesehatan Gaza juga berada di ambang kehancuran total. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang tersisa menjadi target serangan, sementara akses bantuan medis terhalang ketat.
Obat, alat kesehatan, bahkan pasokan listrik untuk ruang perawatan intensif pun sulit didapat.
Krisis ini diperparah oleh kebijakan Israel sejak 2 Maret lalu yang menutup rapat-rapat pintu perbatasan bagi masuknya bantuan kemanusiaan, meski truk-truk bantuan sudah mengantre di luar Gaza. Hal ini membuat 2,2 juta warga Gaza hidup dalam kondisi kelaparan akut.
Sejak serangan besar-besaran yang dimulai pada 7 Oktober 2023, Israel – dengan dukungan militer dan politik dari Amerika Serikat (AS) – dituding melakukan genosida terhadap penduduk Gaza.
Tak hanya melalui serangan udara dan darat, tetapi juga lewat kebijakan penghancuran infrastruktur, pengusiran paksa, dan kini, kelaparan massal.
Data terakhir menunjukkan lebih dari 188 ribu warga Palestina menjadi korban, baik meninggal maupun terluka – sebagian besar di antaranya anak-anak dan perempuan.
Sebanyak 11 ribu lainnya masih hilang, sementara ratusan ribu warga terusir dari rumah mereka dan kini hidup dalam pengungsian tanpa akses pangan yang layak.