Pengadilan Tinggi Inggris menolak permohonan hukum dari organisasi HAM Palestina, Al-Haq, yang meminta penghentian ekspor komponen militer Inggris ke Israel.
Permohonan itu berkaitan dengan penggunaan komponen pesawat tempur F-35 oleh militer Israel dalam serangan udara di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.
Putusan yang dibacakan dua hakim, Stephen Mills dan Karen Steyn, pada Senin (1/7/2025) menyatakan bahwa perkara ini bukan wewenang lembaga peradilan, melainkan termasuk dalam ranah kebijakan eksekutif yang bertanggung jawab secara demokratis kepada parlemen dan publik.
“Ini adalah isu yang sangat sensitif dan politis, dan oleh karena itu merupakan bagian dari kewenangan pemerintah,” ujar kedua hakim dalam pertimbangannya.
Meskipun pengadilan menolak permohonan Al-Haq, Direktur Eksekutif organisasi tersebut, Shawan Jabarin, menegaskan pihaknya akan terus memperjuangkan akuntabilitas pemerintah, baik di Inggris maupun di panggung internasional.
Kebijakan ekspor dipertahankan
Seorang juru bicara pemerintah Inggris menyatakan bahwa putusan tersebut mencerminkan ketatnya sistem pengawasan ekspor senjata yang diterapkan Inggris.
Ia menyebut sistem tersebut sebagai “salah satu yang paling ketat di dunia”.
Sejak partai Buruh membentuk pemerintahan baru pada September 2024, pemerintah telah menangguhkan sekitar 30 dari total 350 lisensi ekspor senjata ke Israel setelah melakukan evaluasi kepatuhan Israel terhadap hukum humaniter internasional.
Namun, penangguhan itu tidak mencakup komponen pesawat tempur siluman F-35 buatan perusahaan AS, Lockheed Martin, yang turut diproduksi oleh Inggris dalam program pertahanan multinasional.
Menteri Pertahanan Inggris, John Healey, memperingatkan bahwa penghentian penuh partisipasi Inggris dalam program F-35 akan mengganggu seluruh rantai pasokan global pesawat tersebut dan membawa dampak signifikan terhadap keamanan dan stabilitas
Permohonan Al-Haq mendapat dukungan luas dari berbagai organisasi internasional, termasuk Amnesty International, Human Rights Watch, dan Oxfam.
Mereka menilai pengecualian terhadap komponen F-35 sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, terlebih dalam konteks dugaan pelanggaran berat yang dilakukan Israel di wilayah pendudukan Palestina.
Sementara itu, organisasi Campaign Against Arms Trade (CAAT) yang berbasis di Inggris mengungkapkan bahwa data ekspor pemerintah justru menunjukkan lonjakan signifikan dalam penjualan senjata ke Israel setelah pengumuman pembatasan parsial pada September tahun lalu.
Israel diketahui menggunakan pesawat tempur F-35 dalam sejumlah serangan udara di Gaza sejak Oktober 2023.
Serangan yang dikategorikan oleh berbagai pihak sebagai genosida itu telah menewaskan lebih dari 56.000 warga Palestina, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.