Asosiasi Sosiologi Internasional (ISA) resmi menangguhkan keanggotaan Asosiasi Sosiologi Israel pada Senin (1/7/2025), menyusul kegagalan lembaga itu untuk mengambil sikap atas situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza akibat agresi Israel yang berlangsung sejak Oktober 2023.
Dalam pernyataan resminya, ISA menyatakan penyesalan karena asosiasi mitranya di Israel tidak menunjukkan penolakan atau kecaman terhadap “situasi tragis” di Gaza.
Keputusan ini juga diambil di tengah gelombang penolakan luas dari kalangan akademisi dan aktivis HAM atas partisipasi Israel dalam Forum Sosiologi Dunia kelima yang akan digelar bulan depan di Rabat, Maroko.
ISA menegaskan bahwa pihaknya “tidak memiliki hubungan kelembagaan dengan institusi publik Israel,” namun tidak menjelaskan apakah para akademisi Israel tetap diizinkan hadir secara individu dalam forum tersebut.
Forum sosiologi global itu dijadwalkan berlangsung pada 6–11 Juli 2025 di Universitas Mohammed V, Maroko.
Lebih dari 4.500 peneliti dari sekitar 100 negara dijadwalkan hadir. Namun dalam beberapa hari terakhir, sejumlah akademisi dari Maroko dan berbagai negara lain mengumumkan pengunduran diri mereka dari forum sebagai bentuk protes terhadap kemungkinan keikutsertaan akademisi Israel.
Gelombang boikot ini diperkuat oleh seruan dari Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI), yang mendorong akademisi dunia untuk menekan ISA agar membatalkan partisipasi akademisi Israel.
Dalam pernyataannya, PACBI mendesak komunitas ilmiah internasional untuk menghentikan semua bentuk kerja sama ekonomi, perdagangan, dan akademik dengan Israel, yang dinilai memperkuat pendudukan ilegal dan sistem apartheid terhadap rakyat Palestina.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan operasi militer brutal di Jalur Gaza yang secara luas dikutuk sebagai bentuk genosida.
Serangan itu melibatkan pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur sipil, kelaparan sistematis, dan pengusiran paksa penduduk.
Hingga kini, tercatat sekitar 190.000 warga Palestina menjadi korban tewas atau luka-luka, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara ratusan ribu lainnya terusir dari tempat tinggal mereka. Kondisi kelaparan juga telah menelan nyawa, termasuk puluhan anak-anak.
Agresi ini tetap berlangsung meski Mahkamah Internasional telah memerintahkan Israel untuk menghentikannya, dan meskipun muncul kecaman global yang meluas.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) disebut sebagai pendukung utama serangan ini, baik secara militer maupun politik.