Di tengah runtuhnya sistem kesehatan di Jalur Gaza dan terus berlanjutnya blokade ketat Israel, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina, Dr. Munir Al-Barsh, melontarkan seruan penuh keputusasaan.
Ia menggambarkan situasi kesehatan di wilayah itu sebagai “panggung terbuka bagi kematian”.
Ia juga menuding lembaga-lembaga internasional sebagai mitra kejahatan dan saksi palsu atas pembantaian yang terus berlangsung.
Berbicara kepada Al Jazeera, Al-Barsh menegaskan bahwa penderitaan yang dialami warga Gaza telah melampaui batas kemanusiaan.
Ia menyebut, penduduk sipil di wilayah terkepung itu kini menghadapi semua bentuk kematian yang mungkin terjadi.
Mulai dari pembantaian harian oleh militer Israel hingga merebaknya penyakit mematikan akibat hilangnya layanan kesehatan dasar.
Salah satu tragedi terbaru terjadi pada Senin (1/7), ketika serangan Israel di kawasan Pelabuhan Gaza merenggut nyawa puluhan warga sipil.
“Pemandangannya sungguh mengguncang. Tubuh para korban berserakan di air, akibat serangan langsung,” ujar Al-Barsh.
Ia menyebut jumlah korban tewas dalam insiden tersebut mencapai 44 orang, dengan puluhan lainnya luka-luka atau masih hilang.
Situasi ini semakin diperparah oleh tindakan Israel yang semakin membatasi pasokan bahan bakar bagi fasilitas medis.
Jika sebelumnya bahan bakar disuplai setiap minggu, kini pengiriman hanya dilakukan harian—hal yang dinilai Al-Barsh sebagai “upaya sistematis untuk melumpuhkan layanan kesehatan.” Akibatnya, layanan vital seperti cuci darah pun terpaksa dihentikan.
“Kami dipaksa memilih siapa yang harus meninggal lebih dulu,” katanya getir.
Sebelumnya, Direktur Kompleks Medis Al-Shifa telah mengumumkan penghentian total layanan cuci darah, yang membahayakan nyawa sekitar 350 pasien.
Ketiadaan listrik juga berdampak besar pada ruang perawatan intensif, alat bantu pernapasan, serta inkubator bagi bayi prematur.
“Ketika bahan bakar habis, ruang operasi harus ditutup. Mesin ICU tidak bisa berfungsi. Vaksin rusak. Bahkan satu menit keterlambatan bisa berarti hilangnya satu nyawa,” tutur Al-Barsh.
Wabah meningitis
Tak hanya kekerasan bersenjata, sektor kesehatan Gaza kini juga bergulat dengan wabah. Al-Barsh menyebut, kasus meningitis di kalangan anak-anak meningkat secara drastis.
“Hingga kini, Rumah Sakit Al-Nasr telah mencatat lebih dari 300 kasus,” ujarnya.
Ia juga memperingatkan potensi lonjakan infeksi di tengah kondisi lingkungan yang kian memburuk.
Kelaparan, kekurangan gizi, minimnya air bersih, sanitasi buruk, dan tempat penampungan yang sesak menjadi faktor utama penyebaran penyakit.
“Bayangkan, lebih dari dua juta orang hidup berdesakan di hanya 12 persen dari total wilayah Gaza. Ini adalah resep bencana,” kata Al-Barsh.
Peringatan serupa juga dilontarkan oleh Dr. Ragheb Agha, Kepala Departemen Anak di Rumah Sakit Al-Nasr, yang mencatat ratusan kasus meningitis baru setiap bulan.
Ia menegaskan bahwa sistem kesehatan yang ambruk tak mampu lagi mengimbangi kebutuhan dasar perawatan.
Kapasitas rumah sakit kini jauh dari cukup untuk menangani jumlah korban luka yang terus bertambah.
“Setiap hari jumlah pasien melebihi kemampuan fasilitas medis yang tersedia,” jelas Al-Barsh.
Banyak pasien tidak mendapat pengobatan karena ketiadaan obat dan alat medis.
Laporan medis terakhir menunjukkan, sedikitnya 31 orang tewas sejak pagi hari ini, termasuk 13 warga Palestina yang terbunuh saat menunggu bantuan pangan.
Angka ini kembali menegaskan betapa gentingnya situasi kemanusiaan di Gaza.
Lembaga internasional dikritik
Kemarahan Al-Barsh juga tertuju pada lembaga-lembaga internasional yang dinilainya gagal menjalankan mandat kemanusiaan.
Ia menyebut organisasi-organisasi tersebut “tidak hanya bungkam, tetapi turut bertanggung jawab atas kejahatan yang berlangsung.”
“Kami terus memohon bantuan kepada mereka, namun mereka hanya berdiri sebagai saksi tanpa berbuat apa-apa,” kata Al-Barsh.
Ia mempertanyakan keberadaan badan-badan seperti UNICEF yang, menurutnya, tidak berbuat cukup untuk menyelamatkan anak-anak Gaza.
“Di mana organisasi yang katanya dibentuk untuk melindungi anak dan perempuan? Lebih dari 17 ribu anak telah gugur sejak awal perang,” ujarnya.
Menurut Al-Barsh, Israel dengan sengaja memperpanjang penderitaan dengan menghalangi masuknya bahan bakar, memastikan mereka yang selamat dari bom akan mati karena kelumpuhan layanan medis.
Ia juga mengecam sikap lembaga-lembaga internasional yang “sekadar menonton” meski tahu bahwa setiap keterlambatan berarti semakin banyak nyawa melayang.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sebelumnya menggambarkan sistem distribusi bantuan terbaru yang dikendalikan Israel dan Amerika Serikat (AS) sebagai “ladang maut”, setelah sejumlah warga sipil ditembak mati saat mencoba mendapatkan makanan.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pun sempat menyampaikan keprihatinan mendalam.
Ia menyebut rencana bantuan yang digagas AS dan Israel sebagai “secara inheren tidak aman”, serta mengkritik upaya keduanya yang disebut ingin “memiliterisasi bantuan kemanusiaan” dan menggantikan peran lembaga-lembaga PBB.