Dalam upaya terbaru untuk menembus blokade yang telah mencekik Jalur Gaza selama hampir 2 dekade, Koalisi Armada Kebebasan (Freedom Flotilla Coalition) bersiap meluncurkan kapal baru bernama Hanzala dari pelabuhan Sirakusa, Italia, pada 13 Juli mendatang.
Peluncuran ini berlangsung di tengah agresi militer Israel yang masih berlangsung dan telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina sejak Oktober 2023.
Kapal Hanzala mengikuti jejak kapal Madeleine—juga milik koalisi—yang disita oleh pasukan Israel di laut lepas beberapa pekan lalu.
Penahanan kapal tersebut dianggap sebagai eskalasi baru terhadap inisiatif warga sipil internasional yang berupaya mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Demi anak-anak Gaza
Menurut keterangan penyelenggara, misi Hanzala bukan sekadar membawa muatan bantuan kemanusiaan simbolik. Tetapi juga menyuarakan solidaritas global terhadap rakyat Palestina, terutama anak-anak Gaza yang kini menjadi kelompok paling rentan.
Lebih dari separuh penduduk Gaza adalah anak-anak, dan sejak serangan besar-besaran Israel pada Oktober 2023, lebih dari 50.000 anak tewas atau terluka, sementara hampir satu juta lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.
“Hanzala bukan sekadar kapal. Ia adalah jeritan hati nurani dunia yang diam membisu. Kami berlayar demi anak-anak Gaza, demi keadilan, demi hak setiap warga Palestina untuk hidup bebas dan aman,” kata Huwaida Arraf, salah satu pendiri Koalisi Armada Kebebasan, kepada Al Jazeera Net.
Ia menambahkan bahwa pihaknya menolak menjadi penonton ketika Gaza dikubur hidup-hidup di bawah reruntuhan.
“Anak-anaknya tak bisa terus dibiarkan menghadapi kelaparan, penyakit, dan trauma sendirian,” imbuhnya.
Mengapa “hanzala”?
Nama kapal ini diambil dari tokoh kartun ikonik ciptaan seniman Palestina almarhum Naji al-Ali.
Hanzala digambarkan sebagai anak pengungsi Palestina yang selalu membelakangi dunia—simbol penolakan terhadap ketidakadilan dan keacuhan global.
“Roh Hanzala menyertai kapal ini,” jelas Arraf.
Ia membawa semangat anak-anak Gaza yang telah dirampas haknya atas keamanan, martabat, dan kebahagiaan.
“Dan yang kini ditinggalkan tanpa perlindungan di tengah pembantaian yang terus berlangsung,” lanjutnya.
Dalam pernyataannya, koalisi menyebut situasi kemanusiaan di Gaza memburuk drastis sejak Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata pada 18 Maret 2025. Sejak saat itu, lebih dari 6.500 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 23.000 terluka.
Bahkan lebih dari 700 orang tewas saat berusaha mendapatkan bantuan pangan di titik distribusi milik Gaza Humanitarian Foundation, lembaga yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Koalisi menyebut model bantuan seperti itu sebagai “tipu daya kemanusiaan” karena lokasi distribusi justru menjadi “perangkap maut”.
“Yang terjadi di Gaza bukan sekadar pengepungan. Ini adalah sistematisasi kejahatan kolektif, dan diam terhadapnya berarti terlibat,” tegas Arraf.
Perlawanan sipil yang berkelanjutan
Pada Juni lalu, kapal Madeleine diserang di perairan internasional dan 12 aktivis di dalamnya—termasuk anggota Parlemen Eropa, dokter, jurnalis, dan aktivis HAM—ditangkap dan kemudian dideportasi setelah mengalami interogasi dan perlakuan buruk.
Namun tindakan represif itu tidak menyurutkan langkah para aktivis.
Ketua Komite Internasional untuk Pembebasan Gaza, Zaher Birawi, menegaskan bahwa peluncuran Hanzala merupakan “jawaban langsung atas aksi perompakan terhadap Madeleine”.
“Ini pesan bahwa kami tidak akan mundur. Tekad warga sipil lebih kuat daripada senjata pendudukan,” katanya kepada Al Jazeera Net.
Ia menambahkan bahwa aksi-aksi ini bukan semata demi jalur kemanusiaan, tapi untuk menegaskan hak rakyat Palestina atas kebebasan akses laut sebagai bagian dari kedaulatan mereka.
“Kami sadar Hanzala bisa saja diserang seperti kapal sebelumnya. Tapi kami harus terus menggedor tembok pengepungan dan membongkar keheningan dunia. Ini bukan pilihan, tapi kewajiban moral,” ujarnya.
Membuka blokade informasi
Sebelum menuju Gaza, kapal Hanzala telah berlayar di sejumlah pelabuhan Eropa sepanjang 2023 dan 2024.
Dalam pelayaran itu, koalisi menyelenggarakan acara publik dan kampanye kesadaran yang menyoroti penderitaan rakyat Palestina di bawah blokade.
“Hanzala tidak hanya memecahkan blokade laut, tapi juga blokade media dan politik atas Gaza. Setiap pelabuhan menjadi panggung solidaritas, dari pertunjukan seni hingga diskusi politik. Kami melihat kembali Palestina hadir dalam diskursus publik Eropa,” ujar aktivis media dalam koalisi, Hai Sha Weya.
Kini, Hanzala siap mengarungi Laut Mediterania menuju tujuannya yang paling alami: Gaza.
Bersama itu, Hanzala membawa harapan, keberanian, dan tantangan terhadap kebungkaman dunia.