Saturday, July 12, 2025
HomeBeritaPengakuan tentara Israel: Perang Gaza lampaui batas etika

Pengakuan tentara Israel: Perang Gaza lampaui batas etika

Lima personel militer cadangan Israel melancarkan kritik tajam terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mereka tuding sengaja memperpanjang perang di Jalur Gaza demi kelangsungan kekuasaan politik.

Mereka menegaskan, perang yang telah berlangsung sejak Oktober tahun lalu ini telah melampaui seluruh batas etika, moral, dan bahkan kepentingan keamanan nasional.

Dalam kesaksian yang dipublikasikan harian Haaretz, kelima prajurit tersebut menyatakan menolak kembali bertugas dalam militer.

Hal itu disebabkan karena menilai bahwa operasi militer Israel kini tidak lagi memiliki tujuan yang benar.

Pemerintah, menurut mereka, rela mengorbankan nyawa sandera Israel, tentara, dan warga sipil Palestina demi mengejar apa yang mereka sebut sebagai “tujuan politik yang tercela”.

Tujuan tercela

Salah satu dari kelima prajurit itu, Ron Feiner (26), mahasiswa jurusan filsafat, politik, dan ekonomi di Universitas Haifa, mengungkapkan bahwa ia pernah bertugas sebagai komandan unit infanteri selama 270 hari, dalam tiga penugasan terpisah.

Dua di antaranya berlangsung di perbatasan Lebanon, dan satu lainnya di dalam wilayah Lebanon.

Feiner menyebut dirinya menolak panggilan dinas keempatnya setelah mempertimbangkan secara mendalam dan panjang.

“Saya memilih untuk tidak kembali berdinas ketika menyadari bahwa pemerintah hanya memperpanjang perang demi bertahan di kekuasaan dan melancarkan invasi ke Gaza,” katanya.

Israel memulai agresinya ke Lebanon pada 8 Oktober 2023, yang kemudian berkembang menjadi perang besar dan baru berakhir pada 27 November 2024.

Konflik tersebut menewaskan lebih dari 4.000 orang dan melukai sekitar 17.000 lainnya.

Adapun di Gaza, sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan yang banyak dikategorikan sebagai genosida.

Serangan ini mencakup pembunuhan massal, penghancuran sistematis infrastruktur sipil, blokade makanan dan bantuan, serta pengusiran paksa.

Serangan tersebut terus berlangsung di tengah seruan global untuk gencatan senjata dan meski Mahkamah Internasional telah memerintahkan penghentian agresi.

Hingga kini, serangan tersebut—yang mendapat dukungan kuat dari Amerika Serikat (AS)—telah menewaskan dan melukai lebih dari 195.000 warga Palestina, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.

Selain itu, lebih dari 10.000 orang dinyatakan hilang, dan ratusan ribu lainnya mengungsi, dengan kelaparan merenggut nyawa banyak warga, termasuk puluhan anak-anak.

Menurut Feiner, pemerintah Israel tampak tidak peduli terhadap keselamatan sandera, warga sipil Gaza, maupun prajurit mereka sendiri.

Ia menambahkan bahwa setiap harapan akan masa depan yang aman dan damai telah dikorbankan demi ambisi politik.

Laporan pemerintah Israel menyebutkan bahwa terdapat sekitar 50 sandera Israel yang masih berada di Gaza, 20 di antaranya diperkirakan masih hidup.

Di sisi lain, lebih dari 10.800 warga Palestina kini mendekam di penjara-penjara Israel, dalam kondisi yang oleh organisasi hak asasi manusia digambarkan sebagai sangat buruk.

Yaitu, penuh penyiksaan, kekurangan pangan, dan kelalaian medis yang menyebabkan banyak kematian.

Feiner juga mengungkapkan bahwa runtuhnya kesepakatan gencatan senjata pada Maret lalu menjadi titik balik dalam penilaiannya terhadap kepemimpinan Netanyahu.

“Setelah gencatan senjata bubar Maret lalu, menjadi jelas bahwa para pemimpin negara ini tidak lagi memprioritaskan upaya penyelamatan sandera,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, gencatan senjata sementara yang dimediasi Mesir, Qatar, dan didukung oleh AS sempat berlaku sejak 19 Januari 2025, dalam kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

Namun, pada awal Maret, Israel di bawah Netanyahu enggan memulai tahap kedua kesepakatan tersebut dan kembali melanjutkan serangan besar-besaran sejak 18 Maret, mengikuti tekanan dari kubu sayap kanan dalam pemerintahannya.

Feiner menilai, sikap pemerintah menunjukkan bahwa nyawa manusia tidak lagi berarti bagi mereka.

“Mereka bersedia melanjutkan perang yang setiap harinya menewaskan puluhan hingga ratusan warga Palestina, dan juga menelan nyawa tentara mereka sendiri. Hanya dalam sebulan terakhir, 20 tentara Israel telah gugur,” tambahnya.

Ideologi yang menghancurkan

Mikhal Deutsch (30), seorang warga Israel yang juga pernah bertugas di militer, mengungkapkan bahwa satu-satunya tujuan dari perang ini adalah mempertahankan kekuasaan pemerintah, dengan mengorbankan ribuan anak-anak Gaza di bawah usia 6 tahun yang telah terbunuh—dan jumlah itu terus bertambah setiap hari.

“Pemerintah mengorbankan sandera, tentara, dan keselamatan kita semua demi bertahan di tampuk kekuasaan,” kata Deutsch.

Ia menegaskan bahwa prajurit yang profesional dan cerdas adalah mereka yang menunjukkan belas kasih dan taat pada aturan dalam menjalankan tugasnya, bukan yang digerakkan oleh dendam dan kebencian.

“Karena itu saya terus melawan, meski dari luar militer,” tambahnya.

Sikap senada disampaikan Yotam Felk (30), seorang perwira pasukan lapis baja dari Tel Aviv. Ia menyebut dirinya telah bertugas selama sekitar 270 hari di Gaza sejak awal perang.

Felk mengakui bahwa meskipun sejak awal ia sangat kritis terhadap pemerintah dan kepemimpinannya, ia tetap merasa memiliki tanggung jawab untuk berjuang demi keamanan rakyat Israel, membebaskan sandera, dan menindak Hamas secara tegas.

Namun seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa perang ini telah melampaui semua batas—baik secara etis, keamanan, maupun moral.

Ia mengaku tak bisa lagi berdiam diri melihat pengabaian terhadap sandera, kehancuran yang tak berkesudahan, dan bagaimana para tentara serta warga sipil dijadikan pion politik oleh pemerintah.

“Pada akhirnya, saya mengambil keputusan berat untuk secara terbuka menolak perang ini, yang telah disandera oleh ideologi destruktif dan sedang menyeret kita semua ke jurang bencana,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa keputusannya bukan bentuk pelarian, melainkan lahir dari rasa tanggung jawab.

Hari-hari Israel terbatas

Sementara itu, Itamar Schwartz (22), mantan komandan tank yang kini telah dibebastugaskan, menyampaikan penilaiannya secara gamblang.

Menurutnya, perang ini seharusnya sudah berakhir, pembantaian di Gaza bisa dihentikan, dan para sandera seharusnya telah kembali ke rumah masing-masing.

Pada 21 November 2024 lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Gaza.

“Jika kita tidak berhenti sekarang, tidak meminta maaf kepada rakyat Palestina, dan tidak membantu mereka membangun kembali kehidupan mereka, maka hari-hari Israel sebagai negara merdeka tinggal menghitung waktu,” kata Schwartz.

Menurutnya, perang ini harus segera dihentikan. Para tahanan, baik warga Israel yang disandera di Gaza maupun warga Palestina di penjara-penjara Israel, harus dikembalikan ke keluarga masing-masing. Ia menyerukan visi masa depan bersama dengan Palestina.

“Kita tidak akan pergi, dan mereka juga tidak akan pergi. Hanya bersama kita bisa bertahan,” tegasnya.

Selama puluhan tahun, Israel diketahui terus menduduki wilayah Palestina serta sebagian wilayah Lebanon dan Suriah.

Pemerintahnya secara konsisten menolak pengakuan terhadap negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, berdasarkan perbatasan sebelum perang 1967.

Pandangan kritis lainnya datang dari Daniel Rak-Yahalom (32), yang mengaku belum pernah menginjakkan kaki di Gaza.

Ia telah bertugas di wilayah Tepi Barat sebagai tentara cadangan sejak sekitar tahun 2017.

Rak-Yahalom mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Zionis sayap kiri, dan selama ini merasa sangat canggung dengan tugas militernya.

“Selama ini saya mengira bahwa ini bagian dari demokrasi Israel, dan bahwa saya punya tanggung jawab terhadap militer agar tidak jatuh ke tangan milisi sayap kanan atau diprivatisasi menjadi tentara bayaran,” ujarnya.

Ia yang berasal dari Haifa mengaku telah bertugas sekitar 250 hari, namun ketika pemerintahan Netanyahu meluncurkan serangan baru ke Gaza pada Mei lalu.

“Pemerintah secara resmi melemparkan para sandera ke bawah bus,” katanya, merujuk pada pengabaian terhadap nasib mereka.

Menurutnya, pemerintah telah secara terang-terangan mengungkapkan sisi gelap dari proyek politik yang selama ini dijalankan oleh gerakan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat.

“Perang ini adalah bagian dari proyek politik yang sama—proyek yang telah berjalan puluhan tahun,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular