Friday, July 18, 2025
HomeBeritaKamp Nur Syams setelah 6 bulan agresi: Bukan hanya batu yang runtuh

Kamp Nur Syams setelah 6 bulan agresi: Bukan hanya batu yang runtuh

Enam bulan berlalu sejak kamp pengungsi Nur Syams di utara Tepi Barat digempur secara intensif oleh militer Israel.

Namun, yang hancur bukan semata-mata bangunan dan infrastruktur. Yang diluluhlantakkan jauh lebih dalam: memori kolektif, identitas sosial, dan sejarah panjang pengungsian serta perlawanan rakyat Palestina.

Apa yang dilakukan Israel tidak hanya menyasar batu dan beton. Juga tidak cukup disebut sebagai operasi militer biasa.

Gempuran demi gempuran dan deru buldoser menandai proyek penghancuran yang lebih besar: penghapusan jejak sejarah kamp yang berdiri sejak 1951, tak lama setelah peristiwa Nakba, ketika ribuan warga Palestina terusir dari tanah kelahirannya.

Kamp ini, yang dibangun di atas bekas barak militer Inggris di timur Kota Tulkarm, selama puluhan tahun menjadi rumah bagi para pengungsi dari desa-desa Palestina yang kini telah hilang dari peta—seperti Sabbarin, Umm az-Zinat, Ijzim, dan Kafrīn, yang terletak di wilayah Haifa.

Kini, Nur Syams nyaris tak dapat dikenali. Sejak awal tahun, kamp ini menjadi ladang operasi militer paling masif yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebanyak 48 bangunan hancur total, dan lebih dari 400 keluarga dipaksa meninggalkan rumah mereka.

Yang tersisa hanyalah “lingkungan tanpa jiwa”, kata warga, karena selain fisik, yang dirusak juga adalah tatanan sosial dan budaya kamp.

Kehadiran Koordinator Keamanan Amerika Serikat (AS), Michael Fenzel, ke kamp ini pekan lalu menandai apa yang disebut Israel sebagai akhir dari operasi militernya di Nur Syams.

Dalam kunjungan tersebut, Fenzel membawa rencana rekonstruksi dan perbaikan infrastruktur.

Namun, bagi warga, luka yang ditinggalkan terlalu dalam untuk disembuhkan dengan beton baru.

Penghancuran rumah-rumah bukan hanya tindakan militer, melainkan strategi sistematis untuk menghapus memori kamp.

Rumah-rumah keluarga tua yang berperan besar dalam membentuk wajah sosial Nur Syams menjadi target langsung.

Di antaranya rumah keluarga al-Jundi, Shuhada, Abu Salah, dan Ghanam—semua berasal dari desa-desa yang luluh lantak sejak 1948 dan kemudian menjadi tulang punggung komunitas kamp.

Sejarah dan perlawanan

Di balik puing-puing Kamp Nur Syams, tersimpan kisah panjang tentang sejarah, ketabahan, dan perlawanan.

Bukan sekadar pemukiman pengungsi, kamp ini telah menjadi wajah sosial dan budaya yang dibentuk oleh generasi-generasi keluarga pengungsi Palestina, banyak di antaranya terlibat langsung dalam perjuangan melawan pendudukan Israel.

Selama puluhan tahun, keluarga-keluarga seperti al-Jundi, Shuhada, Abu Salah, dan Ghanam tidak hanya membangun rumah, tetapi juga merawat identitas kamp melalui keterlibatan dalam pendidikan, kegiatan sosial, dan aksi-aksi perlawanan.

Dari Intifada pertama hingga pembentukan Kafilah Perlawanan Tulkarm dan kelompok “Respons Cepat” yang aktif 2 tahun sebelum perang Gaza, nama-nama mereka selalu tercatat.

Salah satu suara yang paling nyaring mengisahkan kehilangan itu adalah Nihayah al-Jundi, anggota Komite Layanan Kamp yang kini terusir dari rumahnya.

Dalam perbincangan dengan Al Jazeera Net, ia menceritakan bagaimana ibunya yang berusia hampir satu abad menjadi penjaga ingatan kolektif kamp.

“Selama 70 tahun di kamp, ibu saya menjadi saksi hidup Nakba, dan selalu membagikan kisahnya kepada siapa pun yang datang. Rumah kami adalah tempat penantian untuk kembali ke Haifa,” tutur Nihayah.

Namun rumah itu kini telah hilang. Pasukan Israel memaksa keluarganya meninggalkan bangunan itu, meski sang ibu nyaris tak mampu bergerak.

Ia dan putri semata wayangnya terpaksa mengungsi, sebelum akhirnya rumah mereka dihancurkan dalam gelombang awal penghancuran kamp.

Bagi Nihayah, kehancuran itu bukan hanya kehilangan tempat tinggal.

“Ini adalah serangan langsung terhadap gagasan kamp itu sendiri. Rumah-rumah kami mewakili identitas—dalam arsitektur, susunan ruang, dan sejarahnya. Menghancurkannya berarti mencoba menghapus gagasan kolektif tentang pengungsian dan kepulangan,” katanya.

Tersobeknya jalinan sosial

Apa yang hilang bukan hanya bangunan dan kenangan keluarga. Warga kamp menilai bahwa agresi militer Israel berhasil menggoyahkan jaringan sosial yang selama ini menjadi kekuatan Nur Syams.

Warga yang sebelumnya hidup dalam kedekatan antarkeluarga kini terpencar. Rumah-rumah yang terbakar atau runtuh mengubah pola kehidupan, dan generasi muda mulai menjauh dari nilai-nilai yang diwariskan orang tua mereka.

Shadha Hussein (22), salah satu pemudi kamp, mengungkapkan betapa kehilangan itu tak hanya bersifat fisik.

“Dulu, kami hampir setiap hari berkumpul dengan tetangga di halaman rumah. Sekarang sudah berbulan-bulan kami tak tahu kabar satu sama lain,” ujarnya.

Meski rumah keluarganya masih berdiri, lingkungan sekitarnya berubah drastis. Bangunan-bangunan yang hancur di sekitar rumah membuat suasana tak lagi sama.

“Yang dihancurkan bukan hanya tembok. Tapi juga cerita-cerita keluarga, memori tentang pengungsian, dan tahun-tahun penuh perjuangan. Bahkan jika kami bisa kembali, rasanya tidak akan pernah utuh lagi. Banyak keluarga tua yang kini tak punya rumah, tak punya tempat berpijak, dan tak punya alasan untuk kembali,” lanjutnya.

Bersama reruntuhan, tersisa pertanyaan mendalam: apakah Nur Syams masih bisa disebut “kamp pengungsi”, jika jiwa yang membuatnya hidup kini ikut terkubur bersama puing-puingnya?

Menarget keluarga

Agresi Israel ke Kamp Nur Syams tidak berlangsung sekali. Selama dua tahun terakhir, serangan demi serangan terus menghantam kamp ini, dengan pola yang tampak terencana: menarget rumah-rumah keluarga besar yang telah berakar lama di sana.

Data dari Komite Layanan Kamp mencatat, sepanjang 2023 hingga 2024, sebanyak 1.600 rumah mengalami kerusakan sebagian akibat penggerebekan yang berulang.

Di antara yang paling terdampak adalah keluarga Shuhada dan Ghanam, yang rumahnya dibakar.

Sementara itu, rumah keluarga Abu Salah, Mithqal, dan al-Zuhairi sebagian telah dihancurkan.

Salah satu kasus paling memilukan adalah rumah milik Maysar Shuhada (61), yang dibakar tentara Israel sebelum akhirnya dihancurkan sepenuhnya oleh buldoser militer pada Mei lalu.

Pengamat politik Palestina, Suleiman Bsharat, menilai bahwa penghancuran kamp seperti Nur Syams bukanlah operasi militer biasa.

Ia menyebut bahwa upaya ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengubah cara berpikir dan kesadaran generasi Palestina.

“Tujuan Israel bukan hanya keamanan. Mereka ingin merombak total makna kamp pengungsi Palestina—baik secara geografis, struktural, maupun psikologis—agar kamp tak lagi menjadi simbol pengungsian dan perlawanan, melainkan sekadar kawasan pemukiman biasa,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Menurut Bsharat, dengan meratakan rumah-rumah keluarga besar dan tertua, Israel hendak menghapus identitas kolektif yang diwariskan di dalam kamp: rasa kebersamaan, akar sejarah, dan komitmen terhadap perjuangan nasional.

Analisis serupa juga disampaikan sejumlah pengamat lain. Mereka menilai bahwa kamp-kamp pengungsi menjadi laboratorium untuk penerapan sistem hukuman kolektif Israel, yang kemudian diperluas ke wilayah lain di Tepi Barat.

Alasannya jelas: banyak keluarga yang rumahnya dihancurkan adalah keluarga yang anggotanya terlibat dalam gerakan perlawanan atau mendukung aktivitas nasionalis di dalam kamp.

Dengan menghancurkan rumah mereka, membakar harta benda, dan mendorong pengungsian paksa, Israel mengirimkan pesan—bahwa perlawanan akan dibalas dengan kehancuran.

Menurut data resmi, sejak dimulainya pembangunan tembok besi yang mengelilingi kamp-kamp di wilayah Tulkarm, Israel telah menghancurkan 600 rumah secara total dan merusak 2.573 rumah lainnya.

Akibatnya, sekitar 500 keluarga di Kamp Nur Syams dan Tulkarm kehilangan tempat tinggal, dan hampir 25 ribu orang terpaksa mengungsi.

Di Nur Syams, rumah yang runtuh bukan sekadar tembok yang hilang, tetapi sejarah, identitas, dan kesinambungan antar generasi yang direnggut paksa.

Di atas puing-puing itu, satu hal menjadi jelas: penghancuran kamp ini bukan hanya tentang militer, melainkan tentang memutus rantai ingatan dan melumpuhkan masa depan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular