Media Israel tengah ramai membahas laporan investigatif yang diterbitkan The New York Times, yang menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sengaja memperpanjang perang di Gaza demi agenda politik pribadinya.
Netanyahu, yang kini berstatus terdakwa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dituduh mengabaikan nasib tawanan Israel demi menyelamatkan posisinya di panggung politik dalam negeri.
Laporan tersebut, yang disusun berdasarkan dokumen rapat dan pertemuan rahasia, mengungkap bagaimana Netanyahu diduga menggagalkan peluang pertukaran tawanan dengan kelompok Hamas, termasuk ketika ada tawanan yang berpotensi kembali dalam keadaan hidup.
Analis media strategis Haim Rubinstein menyatakan bahwa temuan laporan itu tidak mengejutkan.
“Investigasi ini memang memperkaya detail yang sebelumnya tidak diketahui publik, tapi hasil akhirnya jelas: Netanyahu tanpa ragu menggagalkan kesepakatan pertukaran tawanan,” ujarnya.
Rubinstein menambahkan bahwa arah kebijakan Netanyahu ini sudah terlihat sejak 9 Oktober 2023, hanya 2 hari setelah serangan besar-besaran Hamas yang dikenal dengan “Thaufan Al-Aqsha”.
Lebih jauh, ia mengungkap bahwa pada awal perang sempat ada perjuangan serius dari keluarga para tawanan untuk menekan pemerintah.
Namun, menurutnya, “pihak-pihak di tingkat atas dengan sengaja melemahkan gerakan itu dan membuatnya tidak efektif.”
Rubinstein bahkan mempertanyakan, dari 41 tawanan yang dikembalikan dalam kondisi meninggal, “berapa yang bisa saja pulang hidup-hidup seandainya tidak ada intervensi dari kantor Perdana Menteri?”
Skenario berulang
Di tengah polemik ini, situasi politik dalam koalisi pemerintahan Israel sendiri juga bergejolak.
Reporter urusan politik saluran Kan 11, Yara Shpira, melaporkan adanya kemungkinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir akan mengulangi manuver sebelumnya: mengundurkan diri lalu kembali ke koalisi, demi memperkuat posisinya.
Sementara itu, Bezalel Smotrich dari partai Zionisme Religius kini menjadi tokoh penentu dalam stabilitas koalisi. Ia bahkan disebut sedang mempertimbangkan untuk mundur dari jabatan menteri, namun tetap berada di koalisi.
Sebuah langkah simbolik yang bisa menjaga keberlangsungan pemerintahan dari luar kabinet.
Ronen Bergman, jurnalis The New York Times sekaligus kolumnis senior Yedioth Ahronoth, menyampaikan bahwa proses negosiasi untuk kesepakatan pertukaran tawanan saat ini “tidak menjanjikan.”
Menurutnya, sengketa utama masih berkutat pada peta penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Meski Israel sempat menunjukkan fleksibilitas, Hamas tetap menolak rencana tersebut, yang membuat jalan menuju kesepakatan semakin buntu.
Sementara elit politik terus bersilang pendapat, survei terbaru dari saluran Channel 12 menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Israel (74%) mendukung pembebasan seluruh tawanan sekaligus dan menghentikan perang.
Ketika ditanya mengapa Netanyahu bersikeras untuk melaksanakan kesepakatan dalam beberapa tahap, separuh responden menilai motifnya bersifat politis, sementara kurang dari sepertiga menganggapnya karena alasan keamanan.
Seorang mantan ketua gerakan sayap kanan bahkan mengkritik keras cara pemerintah menangani isu tawanan.
Menurutnya, jika Israel benar-benar memegang kendali atas siapa yang dibebaskan, seharusnya yang dilepaskan lebih dulu adalah para tawanan yang keluarganya mampu memberi tekanan terbesar pada pemerintah.
“Seluruh situasi ini sebetulnya bisa dihindari. Jika sejak awal pemerintah memilih jalur kesepakatan menyeluruh, bukan permainan taktis dan penundaan yang berlarut-larut,” ujarnya.