Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Minggu (14/7/2025) mengecam hasil survei terbaru yang menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung kesepakatan pertukaran tahanan dengan kelompok Hamas.
Survei yang dilakukan oleh saluran televisi Channel 12 pada Jumat lalu mengungkap bahwa 74 persen responden mendukung tercapainya kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan dengan Hamas. Menariknya, 60 persen dari pendukung koalisi Netanyahu sendiri juga menyatakan dukungan terhadap langkah tersebut.
Namun, Netanyahu menanggapi hasil survei itu dengan keras. Menurut laporan Channel 13, ia mengklaim bahwa pertanyaan dalam survei tersebut tidak mencerminkan isu yang lebih luas, yakni apakah publik menginginkan Hamas tetap berkuasa di Gaza atau tidak.
“Survei-survei ini menyesatkan opini publik di Israel,” ujar Netanyahu. Ia juga menuding media Israel yang menuduhnya menghambat proses kesepakatan pertukaran tahanan hanya “mengulang propaganda Hamas.”
Dalam pernyataan yang dikutip oleh surat kabar Haaretz, Netanyahu turut mengecam sejumlah stasiun televisi yang menurutnya “selalu menggemakan propaganda Hamas dan selalu keliru dalam analisis mereka.”
Netanyahu juga mengklaim bahwa pihaknya telah menerima proposal yang diajukan oleh utusan AS, Steve Witkoff, namun ditolak oleh Hamas. “Kami menerima usulan Witkoff, tapi Hamas menolak versi yang diajukan oleh para mediator karena mereka ingin tetap menguasai Gaza,” tegasnya.
Sementara itu, putaran baru perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas telah berlangsung selama sepekan terakhir di Qatar. Upaya ini dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Hamas berulang kali menyatakan kesediaannya untuk membebaskan tawanan Israel secara serentak, asalkan Israel mengakhiri serangan militer di Gaza, menarik pasukannya, dan membebaskan para tahanan Palestina.
Meski demikian, Netanyahu yang saat ini menjadi subjek penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dinilai oposisi Israel terus mendorong kesepakatan berskala kecil guna memperpanjang konflik. Langkah itu dinilai sebagai upaya mempertahankan kekuasaan dengan menjaga dukungan dari faksi paling ekstrem dalam koalisi pemerintahannya.