Krisis kemanusiaan yang memburuk di Jalur Gaza mendorong sejumlah tokoh dan aktivis internasional menggelar aksi mogok makan simbolik sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Gaza, khususnya anak-anak yang mengalami kelaparan. Aksi ini menyusul pernyataan seorang pejabat pertahanan sipil Gaza yang menyebut situasi saat ini sebagai “hukuman kolektif yang sistematis.”
Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, menyampaikan bahwa dirinya memulai mogok makan total sejak Sabtu (20/7/2025) sebagai bentuk protes terhadap situasi kemanusiaan yang disebutnya “tidak manusiawi”.
“Saya tidak akan makan sampai rakyat saya bisa makan, dan bantuan disalurkan secara manusiawi yang menghargai martabat manusia,” ujarnya dalam wawancara dengan saluran Al-Qahera News, Mesir.
Basal juga menyerukan kepada para pemimpin dunia—khususnya negara-negara Arab, parlemen Eropa, dan tokoh agama—untuk mengambil tindakan nyata, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan.
Dukungan meluas
Aksi Basal mendapat dukungan dari sejumlah tokoh dan jurnalis di kawasan Arab. Mantan Presiden Tunisia, Moncef Marzouki, pada Senin (21/7) mengumumkan partisipasinya dalam mogok makan simbolik lewat akun media sosial X.
“Saya berkomitmen menjalani mogok makan simbolik hari ini sebagai bentuk solidaritas dengan saudara-saudara kita di Gaza,” tulis Marzouki.
Dukungan serupa disampaikan jurnalis Tunisia, Bassam Bounni, yang memulai aksi mogok makan pada hari yang sama. Dalam unggahan di Facebook, ia menyatakan aksi tersebut sebagai protes atas penggunaan kelaparan sebagai alat tekanan dan militerisasi distribusi bantuan.
Bounni mengajak masyarakat luas untuk mengikuti kampanye ini dan mempopulerkan tagar #hungerstrikeforgaza guna menarik perhatian global.
Sejumlah pengguna media sosial turut menyatakan dukungannya terhadap gerakan tersebut pada hari Senin.
Sementara itu, Komite Internasional untuk Mengakhiri Blokade Gaza menyerukan aksi mogok makan global dan unjuk rasa pada Selasa (22/7), yang mereka sebut sebagai “Selasa Kemarahan”, di depan kedutaan besar AS dan Israel di berbagai negara.
Kondisi Gizi makin memprihatinkan
Aksi solidaritas ini muncul di tengah meningkatnya krisis kelaparan di Gaza yang berada di bawah blokade ketat sejak Maret 2024. Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan bahwa 86 warga Palestina—sebagian besar anak-anak—meninggal dunia akibat kelaparan sejak Oktober 2023.
Kementerian menyebut situasi tersebut sebagai “pembantaian diam-diam” dan menyalahkan Pemerintah Israel serta komunitas internasional atas memburuknya kondisi tersebut. Mereka mendesak pembukaan kembali jalur perbatasan untuk mengizinkan masuknya bantuan pangan dan medis.
“Sebanyak 18 orang meninggal dunia hanya dalam 24 jam terakhir akibat kelaparan,” sebut pernyataan resmi kementerian.
Sejak dimulainya kampanye militer Israel di Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 59.000 warga Palestina dilaporkan tewas, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Serangan tersebut menyebabkan kehancuran infrastruktur, kolapsnya sistem kesehatan, dan krisis pangan yang semakin parah.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Israel juga tengah menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serangan militernya ke wilayah Gaza.