Monday, July 28, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Pengakuan Eropa atas Palestina: Cek kosong dalam bayang-bayang veto AS

ANALISIS – Pengakuan Eropa atas Palestina: Cek kosong dalam bayang-bayang veto AS

Di tengah kebuntuan diplomatik yang diperketat Israel dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS), sejumlah ibu kota Eropa mencoba memecah keheningan dunia internasional melalui pengakuan terhadap Negara Palestina.

Upaya ini, meski bermakna simbolis, tampaknya dimaksudkan untuk menghidupkan kembali prospek solusi dua negara yang nyaris lenyap dari panggung politik global.

Namun, langkah-langkah pengakuan ini —yang terakhir diumumkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron— menghadapi kenyataan geopolitik yang nyaris beku.

Washington masih memegang kendali atas poros kekuasaan internasional dan menutup rapat-rapat jalan menuju terwujudnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Prancis sendiri berjanji akan menyampaikan pengakuan resminya di hadapan Majelis Umum PBB pada September mendatang, dengan mengaitkannya pada “komitmen sejarah terhadap perdamaian yang adil.”

Tapi respons dari Washington datang cepat dan sinis. Mantan Presiden AS Donald Trump menyebut langkah Paris “tak berbobot” dan tak akan membawa perubahan nyata.

Sikap ini, menurut analis Partai Republik Adolfo Franco dalam acara Path of Events, mencerminkan garis kebijakan AS yang konsisten: tidak ada pengakuan tanpa prasyarat yang ketat.

Terutama pengakuan Palestina terhadap Israel dan penolakan terhadap apa yang oleh Washington disebut sebagai “hasutan untuk menghancurkan negara Yahudi.”

Lebih dari sekadar perbedaan politik, posisi AS itu menunjukkan aliansi struktural dan strategis dengan Israel.

Hal itu membuat setiap upaya internasional yang berdiri sendiri untuk mengakui Palestina cenderung kandas sebelum berkembang.

Franco sendiri mengakui adanya aspirasi sah rakyat Palestina, tetapi tetap mengedepankan alasan-alasan klasik seperti tidak adanya kepemimpinan tunggal, ketiadaan batas wilayah yang jelas, serta keterpecahan internal Palestina.

Semuanya mengarah pada satu kesimpulan: AS akan terus berdiri sebagai pelindung utama kepentingan Israel dan status quo yang ada.

Pengakuan sebagai kewajiban moral

Di sisi lain, suara berbeda datang dari Inggris. Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris, Emily Sorenbry, menegaskan bahwa pengakuan terhadap Palestina bukan lagi pilihan politis.

Melainkan, lanjutnya, kewajiban moral, apalagi setelah deretan pembantaian di Gaza dan kebuntuan dalam sistem internasional.

“Pengakuan harus diberikan tanpa syarat, dan waktunya adalah sekarang,” ujar Sorenbry.

Ia menambahkan bahwa Inggris punya instrumen tekanan nyata, termasuk sanksi terhadap permukiman ilegal dan perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya.

Inggris juga, menurutnya, memiliki jalur komunikasi yang bisa memengaruhi kebijakan Washington.

Namun, sebagaimana diingatkan oleh Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina, Dr. Hassan Khreisha, inisiatif-inisiatif tersebut akan tetap bersifat simbolis apabila tidak disertai dengan langkah-langkah nyata.

Seperti penghentian kerja sama militer dengan Israel atau pembekuan perjanjian ekonomi.

“Tanpa itu, pengakuan hanya akan menjadi diplomatic bribe, suap politik yang dibungkus empati untuk melanggengkan relasi dengan dunia Arab di tengah arus normalisasi,” katanya.

Khreisha bahkan menengarai bahwa beberapa manuver Eropa sebenarnya telah dikoordinasikan dengan Washington, meskipun AS tampak keberatan secara publik.

Ia menunjuk pada sejarah Prancis yang dulu membantu Israel membangun reaktor nuklirnya, dan kini mencoba memperbaiki peran historisnya lewat isu pengakuan Palestina.

Namun ia menegaskan bahwa akar permasalahan bukan semata soal pengakuan internasional.

Melainkan pada realitas penjajahan yang terus berlangsung, perluasan permukiman yang tak tertahan, perpecahan internal Palestina, dan diamnya dunia Arab yang justru memperkuat dominasi Israel.

Konsensus Israel terhadap penolakan

Sementara itu, di dalam Israel sendiri, terdapat konsensus politik yang langka antara kelompok oposisi dan pemerintah.

Keduanya menolak mentah-mentah pengakuan internasional terhadap Negara Palestina.

Menurut Dr. Mohannad Mustafa, pakar politik Israel, sejak 2015 tak satu pun partai besar di Israel yang memasukkan solusi dua negara ke dalam agenda politiknya.

Ia menyebut hal ini sebagai perubahan struktural dalam kesadaran politik Israel, yang secara sadar menghapus gagasan solusi damai dari perbincangan publik.

Mustafa menambahkan bahwa Israel memandang setiap pengakuan eksternal sebagai bentuk “terorisme diplomatik” yang mengancam eksistensinya.

“Bahkan hanya sekadar menyebut ‘Negara Palestina’ saja sudah cukup untuk membuka kembali berkas lama yang ingin dikubur oleh Israel,” ujarnya.

Penolakan keras yang ditunjukkan Israel, lanjutnya, tidak berkaitan langsung dengan serangan 7 Oktober atau agresi terhadap Gaza.

Itu adalah posisi prinsipil yang sudah lama tertanam dalam kebijakan luar negeri Israel.

Franco pun tetap bersikukuh bahwa absennya negara Palestina disebabkan oleh kegagalan internal, dan menunjuk Hamas —yang oleh hukum AS digolongkan sebagai organisasi teroris— sebagai penghalang utama.

Ia juga mempertanyakan legitimasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai satu-satunya wakil rakyat Palestina.

Namun, Khreisha membantah argumen tersebut. Ia menegaskan bahwa PLO tetap menjadi wakil sah yang telah diakui secara internasional, dan bahkan telah mengakui Israel sejak beberapa dekade lalu.

Ia menambahkan bahwa faksi-faksi lain, termasuk Hamas, tidak menolak kepemimpinan PLO. Dengan demikian, hambatan sejati bukan terletak pada pihak Palestina, melainkan pada penolakan sistematis dari pihak Israel dan para pendukung utamanya.

Bagi sebagian kalangan, masih ada harapan pada perubahan internal di Israel. Namun, menurut Mustafa, harapan itu nyaris mustahil diwujudkan dalam kondisi politik saat ini.

Menurutnya, hal itu didominasi oleh faksi kanan relijius, tidak adanya oposisi efektif, dan ketidakhadiran tekanan serius dari dunia Arab.

Pada akhirnya, pengakuan Eropa terhadap Palestina tampak seperti niat baik yang lemah.

Sebuah deklarasi dari pihak yang tak punya alat pelaksana, dan berhadapan dengan tembok penolakan yang kokoh, dibentengi oleh pakta transatlantik.

Sementara Eropa mengandalkan tekanan moral dan simbolik, AS dan Israel terus mengulang pola yang sama.

Tidak ada negara Palestina tanpa persetujuan Israel, dan tidak ada persetujuan dari Israel selama penolakan menjadi prinsip, serta dukungan Washington tetap mengalir tanpa syarat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular