Dunia tengah menyaksikan pergeseran besar dalam cara komunitas internasional merespons krisis kemanusiaan di Gaza.
Gambar-gambar menyayat hati tentang kelaparan dan penderitaan akibat blokade yang sistematis telah mengguncang nurani global.
Guncangan moral ini pun memaksa banyak pemerintah untuk meninjau ulang sikap dan kebijakan mereka terhadap konflik Israel-Palestina.
Amjad Al-Shawa, Direktur Jaringan LSM di Gaza, menggambarkan perubahan ini sebagai “peringatan serius bagi komunitas internasional.”
Menurut dia, dampaknya kini tak lagi sebatas opini publik, tetapi telah merambah ke ruang-ruang pengambilan keputusan di ibu kota negara-negara Barat.
Sementara itu, lembaga pemantau kelaparan dunia kembali mengeluarkan peringatan keras: Gaza berada di ambang bencana kelaparan paling parah.
Data dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menunjukkan bahwa penyebaran kelaparan, malnutrisi, dan penyakit telah berkontribusi pada peningkatan signifikan angka kematian.
Konsumsi makanan di berbagai wilayah Gaza telah mencapai ambang batas kelaparan, dengan situasi paling parah terpusat di Kota Gaza.
Al-Shawa menyebut situasi ini sebagai hasil dari strategi kelaparan sistematis yang diterapkan sejak awal agresi militer.
Ia menegaskan bahwa Israel secara sadar menghitung jumlah kalori yang diperbolehkan masuk ke Gaza, sembari melumpuhkan infrastruktur ekonomi dan sosial warga.
Tujuannya untuk menciptakan ketergantungan total pada bantuan kemanusiaan. Ironisnya, sejumlah pakar Israel sendiri menyebut kebijakan ini sebagai strategi paling sistematis sejak Perang Dunia II—dan dampaknya kini mulai menggerus kesadaran elite mereka sendiri.
Tekanan dari dalam Israel
Di dalam negeri, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan yang kian besar.
Dianggap bertanggung jawab atas kebijakan yang menyeret Israel ke dalam krisis moral berkepanjangan, Netanyahu yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional mulai kehilangan dukungan dari kalangan akademik, seni, dan sastra.
Dr. Mohannad Mustafa, pakar politik Israel, menyebut semakin banyak intelektual di Israel yang menyadari bahwa negaranya tengah terperosok ke dalam lumpur etika yang kelak akan membekas selama puluhan tahun.
Tekanan itu tercermin dalam pernyataan resmi lima universitas Israel, yang menyerukan penyelesaian krisis Gaza dan menyoroti keruntuhan citra Israel sebagai korban dan representasi dari tragedi Holocaust.
Sementara itu, di Eropa, angin perubahan bertiup semakin kencang. Negara-negara Eropa mulai mendorong pemberlakuan sanksi terhadap Israel.
Menurut Dr. Hasni Abidi, pakar hubungan internasional di Universitas Jenewa, Uni Eropa mulai mempertimbangkan untuk menangguhkan kerja sama perdagangan dan kemitraan riset dengan Israel.
Langkah ini berpotensi menghantam jantung sektor penelitian dan pengembangan Israel, yang selama ini bergantung pada kemitraan ilmiah dengan Uni Eropa.
Ini pula yang, menurut Mustafa, menjelaskan mengapa komunitas akademik Israel mulai bersuara lantang menentang kebijakan pemerintah mereka.
Belanda telah mengambil langkah konkret. Dua menteri Israel—Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich—dinyatakan dilarang memasuki wilayah Belanda.
Menteri Luar Negeri Belanda, Caspar Veldkamp, menyampaikan kepada parlemen bahwa larangan ini dijatuhkan karena keduanya menyerukan kekerasan terhadap warga Palestina, memperluas permukiman ilegal, dan mendorong pembersihan etnis di Gaza.
Di panggung diplomasi, langkah penting juga terlihat dalam isu pengakuan terhadap negara Palestina.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa negaranya akan mengakui negara Palestina secara resmi pada Sidang Umum PBB pada September mendatang.
Hal senada disampaikan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dengan catatan bahwa Israel harus terlebih dahulu mengambil langkah nyata untuk mengakhiri “situasi mengerikan” di Gaza.
Namun, langkah bersyarat ini dikritik keras oleh Claudia Webbe, mantan anggota parlemen Inggris.
Ia menegaskan bahwa pengakuan negara Palestina adalah hak yang melekat dan tidak bisa dijadikan alat tawar-menawar dengan Israel.
Tekanan jalanan dan harapan baru
Semua perubahan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Di baliknya, gelombang protes publik terus membesar.
Webbe menyebutkan bahwa warga Inggris turun ke jalan hampir setiap hari, terutama di akhir pekan, untuk menyuarakan dukungan terhadap Palestina.
Ia menyatakan bahwa masyarakat tak lagi sanggup menyaksikan kekejaman yang terjadi setiap hari.
Fenomena serupa terjadi di banyak negara Eropa lainnya. Menurut Abidi, tekanan publik kini mulai memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh Komisi Eropa maupun pemerintah nasional.
Meski begitu, tantangan terbesarnya tetap sama: bagaimana mengubah simpati dan kecaman menjadi tindakan konkret.
Al-Shawa menegaskan bahwa rakyat Palestina tak akan pernah kehilangan harapan. Namun ia juga menekankan pentingnya mendorong langkah-langkah politik nyata untuk menghentikan agresi, mengakhiri penjajahan, dan mewujudkan negara Palestina merdeka.
Tanpa itu, segala pernyataan dan janji hanya akan menjadi gema kosong di tengah reruntuhan Gaza.