Istri Anas al-Sharif, jurnalis yang gugur oleh tentara Israel meceritakan kisah tentang suaminya.
“Ia datang tiba-tiba, tanpa janji, pada malam itu. Setelah lebih dari sebulan tak pulang, Anas muncul di depan pintu rumah, seolah seluruh dunia terkandung dalam pelukan yang ia bentangkan,” tutur Bian, istri jurnalis Al Jazeera yang gugur, Anas Al-Syarif.
Malam itu berbeda. Anas, yang biasanya larut dengan gawai, berita, dan panggilan darurat, justru menyibukkan diri dengan hal-hal sederhana yang jarang ia lakukan.
Ia bergegas ke arah kedua anaknya, membangunkan mereka meski terlelap. Satu per satu ia gendong, dilemparkannya ke udara lalu direngkuh erat ke dadanya, berputar-putar seakan ingin mengabadikan tawa mungil itu dalam ingatannya.
Selepas itu, ia bergantian merebahkan diri di sofa, di lantai, hingga akhirnya di ranjang. Bian menangkap sesuatu yang tak biasa.
“Ia terlihat letih, sangat letih, dan baru kali itu mengakuinya. Ia bilang rindu hidup sederhana, tanpa ancaman, tanpa kecemasan,” katanya dengan suara tertahan.
Malam itu Anas benar-benar hadir. Tanpa telepon genggam, tanpa interupsi, tanpa berita mendesak.
Hanya dirinya, dengan tatapan teduh, senyum penuh damai, dan pelukan yang terasa seperti perpisahan.
“Apakah ini pertemuan terakhir?” suara kecil berbisik dalam hati Bian.
Namun ia segera menepisnya, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah rindu yang lama terpendam.
Ketika hendak pergi, setiap langkah Anas terasa seperti pisau yang mengiris hati istrinya. Sesampainya di pintu, ia berbalik, tersenyum.
“Kita bertemu lagi di hari ulang tahunmu. Aku pulang bawa hadiah,” katanya.
Bian hanya bisa tersenyum malu, karena ia tahu Anas selalu memperlakukan hari-harinya sebagai momen istimewa.
Ia melepas kepergian suaminya dengan tatapan panjang, hingga hilang dari pandangan.
Dua hari kemudian, tepat 14 Agustus—hari ulang tahun Bian—Anas benar-benar “pulang”. Bukan dengan hadiah, bukan dengan senyum, melainkan di atas bahu para pengusung jenazah.
Suara tangis menggantikan tawa, dan hari bahagia itu berubah menjadi hari duka.
Hanya satu menit diberikan untuknya—satu menit untuk menyentuh tubuh dingin itu, terbungkus kafan.
“Buka, biarkan aku lihat wajahnya, biar aku cium pipinya,” pinta Bian dengan ratap, tapi ditolak. Anas telah kembali tanpa mata.
Ia menempelkan wajahnya ke kafan, menggenggam tubuh kaku itu dengan isak.
“Bukankah kita janji mati bersama, supaya tak ada yang merasakan kehilangan? Bukankah kau janji pulang di hari ulang tahunku?” ucapnya lirih, sebelum suaminya dibawa pergi ke peristirahatan terakhir.
Hari ulang tahun yang berubah jadi takziah
Tim Al Jazeera menemuinya di hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan. Namun Bian menyambut dengan tubuh lunglai, mata sembab, dan kepala tertunduk menanggung beban kehilangan.
“Tak ada hadiah, tak ada kejutan, hanya perpisahan yang datang tiba-tiba seperti maut itu sendiri,” katanya.
Ancaman sudah lama menghantui Anas.
“Kami akan mematahkan punggungmu lewat istri dan anak-anakmu. Kami tahu di mana mereka berada, dan kami akan membunuh mereka.” Itu pesan terakhir yang diterima Anas lewat telepon dari militer Israel. Sejak saat itu, hidupnya dikepung rasa waswas.
Ancaman itu begitu nyata, hingga Anas memohon istrinya segera keluar rumah, menjauh demi keselamatan. Namun Bian selalu menolak.
“Aku bisa lakukan apa pun, kecuali meninggalkanmu,” katanya mantap.
Beberapa menit sebelum serangan udara merenggut nyawanya, Anas kembali menelpon. Suaranya terdengar sarat dengan kegundahan.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Bian. Aku takut. Aku lari ke liputan, tapi pikiranku tetap tertambat pada kalian,” ujarnya.
Lalu, dengan suara terputus-putus.
“Pergilah ke selatan, sebelum jalan ditutup. Mereka bisa menjadikan kalian alat untuk menekan aku. Lebih baik mati daripada itu terjadi,” pesannya.
Namun Bian tetap tak bergeming. Baginya, keluar dari Gaza berarti meninggalkan Anas dalam kesepian di tengah perang.
“Dia hidup untuk anak-anaknya. Bagaimana mungkin aku membiarkannya sendirian, tanpa bisa melihat mereka bila rindu? Aku tidak tega,” ujarnya.
Hanya lima menit berselang, serangan udara menghantam, merenggut Anas dari keluarganya.
Hidup yang terpotong
Anas Al-Syarif lahir pada 3 Desember 1996, anak bungsu dari tujuh bersaudara. Lima tahun lalu ia menikah dengan Bian, dikaruniai 2 anak.
Sham, putri sulung berusia lima tahun, menjadi permata hati Anas. Bahkan dalam wasiat terakhirnya, nama Sham disebut pertama, tanda betapa dalam kasihnya.
Sementara anak bungsunya, Salah, baru berusia satu setengah tahun. Baru belajar memanggil “baba”, baru mengenali wajah ayahnya, ketika maut lebih dulu memisahkan.
“Kalau dihitung, mungkin hari-hari yang benar-benar dilalui Salah bersama ayahnya tidak sampai setengah bulan,” kata Bian.
Kini, bila tangis Salah tak terbendung karena mencari ayahnya, hanya ada satu cara meredakannya: memperlihatkan foto atau rekaman suara Anas.
Sham dan Anas
Dalam pertemuan dengan Al-Jazeera, tiba-tiba masuk seorang anak perempuan berwajah pucat, tanpa senyum.
Ia adalah Sham, putri sulung Anas Al-Syarif. Dengan langkah pelan, ia merapat ke pangkuan ibunya, Bian, lalu terdiam.
Bian bercerita, putrinya sempat bersikeras mencari ayahnya di tenda duka.
“Ia ingin sekali melihat ayahnya. Tapi tentu saja tak menemukannya. Lalu ia tanya padaku, di mana bapaknya? Aku jawab, ‘Dia di surga, bersama kakekmu,’” katanya.
Jawaban itu tak membuat Sham puas. Ia segera meraih telepon genggam, memaksa ibunya untuk memperdengarkan suara Anas. Bian mencoba menenangkannya.
“Ayahmu sedang istirahat, sayang. Ia tidak membawa telepon ke sana,” pesannya.
Namun anak itu tetap tak percaya sepenuhnya. Bahkan saat jenazah ayahnya dibawa pulang terakhir kali, Sham sempat berkomentar lirih.
“Ayah punya kaki, ia bisa berjalan sendiri.”
Bian mengenang, sebelum wafat Anas sering ditanya putrinya, “Mengapa Ayah tidak tinggal bersama kami?”
“Karena penjajah ingin membunuhku,” Anas selalu menjawab jujur.
Sham, dengan polos, menempelkan kedua tangannya ke wajah ayahnya seraya berkata, “Jangan takut, Ayah. Mereka tidak akan bisa membunuhmu.”
Jalan yang Dipilih
Sejak kuliah di Universitas Al-Aqsa, Anas menekuni dunia penyiaran dan televisi. Ia memulai karier sebagai juru kamera lepas, dengan keyakinan bahwa lensa adalah senjata untuk menyingkap kejahatan pendudukan.
Perang Gaza kemudian membawanya bergabung secara bertahap dengan Al Jazeera, hingga akhirnya dipercaya menjadi koresponden tetap.
Keputusan itu bukan tanpa perhitungan.
“Aku yang mendorongnya. Aku yakin ia mampu menyampaikan cerita rakyat kami dengan utuh. Bahkan sebelum masuk Al Jazeera, Anas sudah penuh semangat, teguh, dan tidak gentar. Setelahnya, ia merasa Allah memberinya mimbar untuk menjadi suara bagi yang tertindas,” kata Bian.
Ancaman demi ancaman mulai menghampiri. Bian selalu mengingatkannya berhati-hati.
“Jangan ambil risiko berlebihan, Anas. Ingat, kami selalu menunggumu. Allah yang menjaga. Tidak ada yang menimpa kita kecuali apa yang sudah ditakdirkan,” jawaban Anas hanya satu.
Suamimu kebanggaan
Selama 22 bulan, Bian hidup dengan perasaan cemas, rindu, takut, sekaligus lelah mengurus dua anak tanpa kehadiran utuh sang suami.
“Tiap kali aku nyaris tak kuat, bertemu dengannya selalu memberi energi. Kata-katanya mampu menenangkan. Ia adalah alasan aku bertahan,” ujarnya, menundukkan kepala.
Padahal, rumah mereka hanya terpaut beberapa menit jalan dari pos liputan Anas. Tetapi jarak itu seperti tembok.
Anas takut kedekatannya justru membawa bahaya. Ia jarang pulang, dan hanya menyapa lewat panggilan video.
“Aku sering bertanya: kapan kita bisa duduk bersama lagi, aman, tanpa ancaman? Kapan kita bisa menikmati rumah tanpa harus mencuri-curi waktu?” kata Bian.
Bagi sebagian orang, mungkin berlebihan menyebut seseorang sebagai “pria sempurna”. Namun Bian tak menemukan kata lain.
“Ia suami yang ideal, anak yang berbakti, ayah yang penuh kasih. Demi Allah, sulit mencari yang sepertinya,” katanya.
Lima hari sebelum wafat, Anas menulis pesan panjang. Di dalamnya ia menitipkan wasiat, agar istrinya tidak menangis berlebihan, agar anak-anaknya tetap mendapat pendidikan yang baik, agar Bian melanjutkan kuliah multimedia yang dulu dipilihkan untuknya, dan agar ia selalu dekat dengan ibu Anas.
Pesan itu ditutup dengan kalimat penuh keyakinan: “Aku tahu kau mampu, Bian. Aku percaya padamu.”
Namun bagi Bian, kata-kata itu justru terasa mencekik.
“Aku mohon, jangan bicara begitu. Panjangkanlah umurmu, atau bila harus mati, mari kita mati bersama.”
Ruang takziah
Hari-hari duka itu, tenda takziah penuh dengan ibu-ibu syuhada yang mendekap ibu Anas. Dari sudut lain, para istri syuhada bertanya-tanya siapa gerangan istrinya.
Kehilangan membuat semua tampak sama: wajah-wajah yang dipukul pilu, dada yang sesak oleh kepergian.
Setiap perempuan membawa cerita tentang suaminya yang pergi. Namun dalam kisah Anas, selalu ada kalimat penghibur yang senada.
“Angkat kepalamu, suamimu adalah kebanggaan. Ia sudah banyak berjuang. Kini saatnya ia beristirahat,” katanya.
Di antara keramaian itu, Bian hanya terpaku menatap layar ponselnya—foto Anas terpampang jelas.
Sesekali ia menoleh ke arah jurnalis yang menemaninya, lalu berkata lirih.
“Aku merasa ia akan tiba-tiba menelpon. Atau pulang, mengetuk pintu, seakan semua ini hanya mimpi buruk,” katanya.
Bian menarik napas panjang, merapatkan kepala ke bahu, dan menutup kata-katanya dengan desahan yang mengguncang hati.
“Hatiku terkikis, siapa yang bisa mengembalikannya kepadaku?”