Mantan Kepala Intelijen Militer Israel, Aharon Haliva, yang mengundurkan diri tahun lalu setelah gagal mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, menyatakan bahwa jumlah korban tewas di Gaza yang terus meningkat adalah “diperlukan”, dan bahwa warga Palestina perlu “mengalami Nakba dari waktu ke waktu”.
Pernyataan itu terekam dalam sebuah rekaman audio yang disiarkan oleh program televisi Ulpan Shishi di saluran Channel 12 Israel, Jumat (15/8/2025).
Tanggal pasti rekaman tidak diungkap, namun disebut bahwa saat korban tewas di Gaza mencapai 50.000 pada Maret lalu, Haliva menyebut jumlah tersebut sebagai sesuatu yang “diperlukan untuk generasi mendatang.”
“Fakta bahwa sudah ada 50.000 orang yang tewas di Gaza adalah sesuatu yang diperlukan dan dibutuhkan demi masa depan,” ujar Haliva dalam rekaman tersebut.
Merujuk pada serangan Hamas ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023, Haliva mengatakan: “Untuk setiap korban pada 7 Oktober, 50 warga Palestina harus mati.”
Lebih lanjut, ia menyatakan, “Mereka (Palestina) perlu mengalami Nakba dari waktu ke waktu agar merasakan akibatnya,” mengacu pada peristiwa pengusiran massal warga Palestina oleh milisi Zionis pada 1948, yang dikenal sebagai Nakba (bencana besar) dalam sejarah Palestina.
Hingga kini, lebih dari 61.890 warga Palestina tewas dalam serangan militer Israel di Gaza sejak Oktober 2023, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Dalam rekaman tersebut, Haliva juga mengungkap bahwa Israel secara sengaja menciptakan lingkungan politik yang tidak stabil di Tepi Barat untuk mendorong kelompok seperti Hamas mengambil alih kekuasaan. Tujuannya, agar komunitas internasional enggan terlibat dan konsep solusi dua negara menjadi tidak relevan.
“Setelah perang tahun 2014, sudah ada rencana untuk membongkar Hamas, tapi Israel tidak pernah berniat untuk menjalankannya,” ujar Haliva. Ia menambahkan, “Hamas itu baik untuk Israel. Itu argumennya Bezalel Smotrich,” merujuk pada Menteri Keuangan Israel dari kubu sayap kanan.
Menurut Haliva, dengan membuat situasi Palestina tidak stabil dan “gila”, Israel ingin menunjukkan bahwa tidak mungkin ada mitra negosiasi, sehingga tidak akan pernah ada kesepakatan soal negara Palestina.
“PA (Otoritas Palestina) punya status internasional. Hamas tidak. Itu organisasi yang bisa dilawan dengan senjata,” katanya.
Serangan Israel ke Gaza meningkat tajam setelah gagalnya perjanjian gencatan senjata tiga tahap yang disepakati pada Januari lalu. Setelah berhasil membebaskan beberapa sandera, Israel melanjutkan pemboman pada Maret dan mundur dari kesepakatan sebelum pembicaraan damai permanen dengan Hamas dimulai.
Sejak saat itu, pemerintahan Presiden AS Donald Trump memberikan dukungan penuh terhadap operasi militer Israel di Gaza.
Serangan tanpa henti telah menyebabkan seluruh 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi berulang kali, sementara infrastruktur wilayah tersebut mengalami kehancuran parah. Risiko kelaparan semakin tinggi di tengah blokade dan minimnya akses bantuan kemanusiaan.