Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Delapan dekade bukan waktu sebentar bagi sebuah bangsa untuk berdiri, tumbuh, dan belajar memaknai kemerdekaannya. Indonesia hari ini telah menapaki usia ke-80 tahun sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Kita mengenang jasa para pahlawan, mengibarkan bendera, menyanyikan lagu perjuangan, dan merayakan kemerdekaan dengan penuh kebanggaan.
Namun di tengah gegap gempita perayaan, ada baiknya kita berhenti sejenak—merenung dalam diam. Sebab kemerdekaan Indonesia sejatinya bukan hanya buah dari keringat dan darah anak bangsanya sendiri, tapi juga terbangun dari doa-doa yang lirih, dari tangan-tangan yang tak terlihat, dan dari hati-hati tulus di tanah yang jauh, yang tak pernah lelah berharap kebaikan bagi perjuangan Indonesia.
Salah satunya datang dari Palestina. Pada tahun 1948, ketika Indonesia masih tertatih menghadapi Agresi Militer Belanda dan dunia belum sepenuhnya mengakui kedaulatan negeri ini, sebuah dukungan mengalir dari tanah yang jauh. Syekh Ali Taher, seorang tokoh Palestina, mengirimkan bantuan sebesar USD 150.000 untuk mendukung perjuangan diplomasi Indonesia. Sebuah angka yang sangat besar di zamannya—dan menjadi jauh lebih berarti karena datang dari bangsa yang saat itu, dan bahkan hingga kini, belum menikmati kemerdekaannya sendiri.
Dukungan-dukungan inilah yang membuat Wakil Presiden Bung Hatta menemui Mufti Palestina dan tokoh-tokoh Arab lainnya seusai menghadiri Konferensi Meja Bundar tahun 1949. “Beliau mengambil kesempatan itu untuk mengucapkan terimakasih kepada segala pihak yang menyokong perjuangan Indonesia sampai menang,” tulis Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.
Namun, dukungan itu tak berhenti di halaman sejarah kemerdekaan. Ia melampaui batas waktu dan terus hadir dalam bentuk kepedulian yang nyata. Jauh setelah Indonesia merdeka, Palestina tetap menunjukkan cintanya.
Ketika Yogyakarta dilanda gempa pada tahun 2006, rakyat Palestina—yang saat itu hidup di bawah penjajahan dan blokade yang menyesakkan—ikut menggalang dana untuk membantu. Di tengah perut yang lapar dan kehidupan yang serba kekurangan, mereka tetap menyisihkan apa yang mereka punya. Sebab bagi mereka, memberi bukan soal mampu, tapi soal peduli.
Ketika Sumatera Barat dilanda gempa pada tahun 2009, mereka kembali hadir—mengirimkan bantuan dari negeri yang sendiri masih terluka. Dan saat pandemi COVID-19 melanda dunia pada 2021, mereka kembali menunjukkan kepeduliannya: mengirimkan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis Indonesia.
Padahal mereka sendiri hidup dalam kekurangan, di bawah penjajahan, di tengah krisis kemanusiaan yang tak pernah reda. Tapi bagi mereka, solidaritas bukan soal kelapangan, melainkan soal kemanusiaan. Bukan soal berapa yang bisa diberi, tapi seberapa tulus hati ikut peduli.
Kisah-kisah ini bukan sekadar fragmen sejarah yang patut dikenang—ia adalah cermin bagi kita semua. Bahwa kemerdekaan tak pernah lahir sendirian, dan bahwa solidaritas yang paling murni tak selalu datang dari mereka yang kuat, tapi justru dari hati-hati yang penuh empati, meski dalam kesempitan.
Hari ini, saat kita menikmati kemerdekaan penuh selama 80 tahun, Palestina masih berjuang untuk bebas. Mereka belum merdeka, tetapi mereka tak pernah absen untuk Indonesia —di tengah genosida, kelaparan, dan kehilangan nyawa. Dari era revolusi hingga reformasi, ada sebuah fakta yang harus terus kita renungkan: Meski belum Merdeka, Palestina tak pernah meninggalkan kita.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute. Tulisan ini disarikan dari seminar bertajuk Peran Palestina dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Poltekkes II Kementerian Kesehatan, Jakarta pada 16 Agustus 2025.