Monday, August 18, 2025
HomeBeritaMarwah Muslim: Suara Gaza yang terkubur di bawah reruntuhan

Marwah Muslim: Suara Gaza yang terkubur di bawah reruntuhan

Setelah 45 hari tertimbun reruntuhan, tim pertahanan sipil akhirnya berhasil menemukan jasad jurnalis Marwah Muslim bersama dua saudaranya.

Mereka tewas seketika ketika rumah keluarga di kawasan at-Tuffah, timur Kota Gaza, luluh lantak dihantam serangan udara Israel.

Yang tersisa dari mereka hanyalah potongan tulang dan tengkorak. Dokumentasi memilukan itu menyebar luas di berbagai platform media sosial, menggambarkan betapa berat medan kemanusiaan di Gaza yang hancur.

Seorang paman Marwah, dalam wawancara dengan Al Jazeera Mubasher, menuturkan perasaan tak berdaya.

“Kami dulu mendengar suara mereka dari bawah reruntuhan. Mereka masih hidup, minta tolong. Tapi tidak ada yang datang. Hari ini, setelah 45 hari, kami masuk sendiri dan menemukan yang tersisa dari tulang mereka,” katanya lirih.

Ia menambahkan, kelambanan dunia internasional telah membiarkan anak-anak Gaza, termasuk Marwah, meregang nyawa tanpa pertolongan.

Kabar ditemukannya Marwah Muslim mengguncang rekan-rekan seprofesi. Banyak yang menilai kematiannya bukan sekadar dampak perang, melainkan bagian dari pola sistematis: membungkam jurnalis agar suara Gaza tak lagi terdengar.

“Marwah adalah suara kebenaran di tengah kegelapan. Kini ia kembali dalam diam, dalam tubuh yang terurai, bersama darah saudaranya,” tulis seorang jurnalis di X.

Unggahan lain menyebut tentang kondisi Marwah Muslim.

“Inilah yang tersisa dari Marwah Muslim: tengkorak dan tulang. Setelah 44 hari tertimbun, tubuhnya hanya tinggal abu. Betapa kejam perang ini,” unggahnya.

Di ruang digital, banyak yang menggambarkan Marwah sebagai “tumpukan tulang yang dibakar Israel”, simbol paling telanjang dari hilangnya nurani kemanusiaan.

Bagi keluarga, tragedi ini meninggalkan luka tak tersembuhkan. Marwah dan dua saudaranya memilih bertahan di rumah, meski gempuran terus mengancam.

Ketiganya kini disatukan dalam satu peti, lalu dikebumikan dalam liang yang sama—sebuah rumah abadi setelah rumah dunia mereka berubah jadi kuburan massal.

Kisah ini juga memunculkan duka mendalam bagi sang ibu. Ia terpaksa meninggalkan Gaza bersama suaminya untuk berobat, menitipkan anak-anak kepada satu sama lain.

Namun, takdir mempertemukan ketiga bersaudara itu bukan di meja makan keluarga, melainkan di bawah reruntuhan yang menutup napas mereka selamanya.

Banyak warganet membayangkan detik-detik terakhir mereka: mungkin tengah berdiskusi untuk mengungsi, mungkin saling berpelukan memberi ketenangan, hingga cahaya ledakan menyilaukan jendela, lalu kegelapan menelan segalanya.

Menurut otoritas di Gaza, hingga kini sudah 238 jurnalis gugur sejak perang dimulai, termasuk koresponden Al Jazeera Anas al-Sharif dan jurnalis foto Muhammad Qurayqa.

Angka ini mempertegas kesan bahwa jurnalis bukan sekadar korban sampingan, melainkan sasaran langsung dalam upaya mengaburkan jejak kekerasan dan pembersihan etnis yang sedang berlangsung.

Marwah Muslim, yang semasa hidupnya mengabarkan denyut Gaza lewat kata-kata, kini berbicara lewat keheningan jasadnya.

Sebuah kesaksian bisu, tetapi tak terbantahkan, tentang sebuah perang yang menelan rumah, keluarga, sekaligus suara kebenaran.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular