Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, pada Senin (18/8/2025) menyatakan telah menerima proposal gencatan senjata di Jalur Gaza yang diajukan oleh mediator Mesir dan Qatar. Pernyataan tersebut disampaikan Hamas melalui keterangan singkat tanpa merinci isi dari proposal yang dimaksud.
Media pemerintah Mesir sebelumnya melaporkan bahwa usulan tersebut mencakup penempatan kembali pasukan Israel di dekat perbatasan guna memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza.
Selain itu, proposal ini juga mencakup penghentian sementara operasi militer selama dua bulan. Dalam periode tersebut, direncanakan pertukaran tahanan dan sandera antara kedua pihak.
Menurut saluran berita milik pemerintah Mesir, Al-Qahera News, kesepakatan itu mencakup pembebasan 10 sandera Israel dalam keadaan hidup serta pemulangan 18 jenazah, yang akan ditukar dengan sejumlah tahanan Palestina, meski jumlah pastinya belum diumumkan.
Berdasarkan data otoritas Israel, sekitar 50 orang masih disandera di Gaza, dengan sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup. Sementara itu, Israel menahan lebih dari 10.800 warga Palestina di penjara-penjaranya dalam kondisi yang memprihatinkan. Laporan dari berbagai kelompok hak asasi manusia menyebutkan adanya kematian tahanan akibat penyiksaan, kelaparan, serta pengabaian medis.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 62.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan militer Israel di Gaza. Operasi militer tersebut telah menyebabkan kehancuran besar di wilayah tersebut, yang kini berada di ambang kelaparan.
Pada November tahun lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresinya di wilayah tersebut.