Tuesday, August 19, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Apa yang dilakukan Netanyahu di Suweida?

OPINI – Apa yang dilakukan Netanyahu di Suweida?

Oleh: Mahmoud Alloush

Sejak pecahnya kekerasan terbaru di Provinsi Suweida, Suriah, bayang-bayang intervensi Israel semakin kentara.

Situasi yang pada mulanya merupakan dinamika internal antara pemerintah Suriah baru dan komunitas Druze di provinsi itu, kini berkembang menjadi arena tarik-menarik kepentingan eksternal, terutama Israel.

Salah satu bentuk intervensi terbaru muncul melalui usulan Israel kepada Amerika Serikat (AS) agar menekan Damaskus membuka apa yang disebut sebagai ”koridor kemanusiaan” antara Israel dan Suweida.

Alasannya: untuk menyalurkan bantuan ke kota tersebut. Gagasan ini datang setelah Yordania menolak permintaan Israel menggunakan wilayah udaranya bagi pengiriman bantuan.

Padahal, pemerintah Suriah sejak gencatan senjata sebulan lalu telah secara rutin mengirimkan konvoi bantuan kemanusiaan ke Suweida. Namun, fakta ini seolah diabaikan oleh sebagian tokoh Druze.

Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual kaum Druze, menolak kerja sama dengan Damaskus dalam urusan bantuan.

Bahkan, ia sempat menyampaikan terima kasih kepada Israel atas ”intervensi militer”-nya mendukung kelompok bersenjata anti-pemerintah di Suweida, sembari meminta Yordania membuka jalur bantuan langsung.

Narasi tentang ”kota yang terkepung” terus digaungkan, meskipun konvoi bantuan pemerintah membantah tuduhan itu.

Cara pandang ini seakan dirancang untuk menarik lebih jauh intervensi Israel dan merenggangkan hubungan komunitas Druze dengan negara.

Eskalasi terakhir juga memperlihatkan keterlibatan militer Israel dalam mendukung kelompok bersenjata melawan pemerintah Suriah, dan kini berkembang menjadi wacana koridor kemanusiaan yang penuh tanda tanya.

Di balik jargon kemanusiaan, gagasan koridor Suweida jelas menyimpan agenda tersembunyi. Isu ini mencerminkan betapa jauh penetrasi Israel dalam komunitas Druze Suriah.

Lebih jauh, langkah itu berkaitan erat dengan visi Israel membentuk Suriah baru: sebuah negara lemah, terpecah, dan tidak mampu mengendalikan seluruh wilayahnya.

Tidak berhenti di situ. Sejumlah laporan menunjukkan Israel telah melakukan penerjunan logistik di wilayah Suweida dalam frekuensi yang makin sering, bahkan hampir rutin setiap hari, tanpa hambatan berarti.

Fenomena ini mempertegas bahwa proyek koridor Suweida bukan semata soal bantuan, melainkan instrumen politik.

Terdapat 3 motif utama di balik dorongan Israel ini.

Pertama, memperdalam penetrasi Israel ke komunitas Druze dengan kemasan ”dukungan kemanusiaan”.

Jalur itu bisa membuka ruang interaksi lebih luas dan memperbesar basis simpati Druze terhadap Israel.

Namun, realitas di lapangan tidak sepenuhnya mendukung. Kendati Sheikh Hikmat al-Hijri dekat dengan Israel, sejumlah tokoh berpengaruh lain, seperti Sheikh Laith al-Bal’us yang pro-pemerintah, menolak keras peran Israel.

Perbedaan sikap ini menandakan adanya perpecahan internal di kalangan Druze terhadap Israel, meski sentimen anti-pemerintah Suriah kini tampak dominan.

Kedua, Israel berupaya menjadikan keterlibatannya di Suweida sebagai kenyataan politik yang sulit ditolak.

Strategi ini sejalan dengan ambisi Israel memperluas kontrol di Suriah selatan. Setelah tumbangnya rezim Bashar al-Assad, Israel telah menguasai tambahan wilayah Suriah seluas lebih dari 350 kilometer persegi, termasuk zona penyangga baru di selatan.

Israel juga berusaha menciptakan zona aman sedalam 15 kilometer di wilayah Suriah, dengan lingkup pengaruh hingga 60 kilometer mencakup Quneitra, Daraa, Suweida, dan sebagian selatan Damaskus.

Dalam konteks itu, Suweida memiliki nilai strategis, mulai dari intervensi militer langsung, pengusiran paksa komunitas Badui, hingga gagasan koridor bantuan.

Ketiga, Israel ingin tampil sebagai ”pelindung minoritas” di Suriah dan kawasan. Dengan narasi itu, Israel mendorong keterpisahan Druze dari Damaskus, sekaligus mendorong kelompok-kelompok lain mengadopsi sikap konfrontatif terhadap pemerintah.

Pola ini memperkuat fragmentasi etnis dan sektarian, sebuah strategi lama Israel untuk melemahkan negara-negara besar di kawasan melalui pecah-belah, lalu membangun aliansi dengan kelompok minoritas.

Pola yang diterapkan terhadap Druze di Palestina kini dicoba diulang di Suriah, dan mungkin kelak di Lebanon.

Langkah Damaskus mengintensifkan distribusi bantuan ke Suweida bisa dibaca sebagai upaya menahan penetrasi Israel dan menjaga keberadaan negara di provinsi itu. Hampir pasti, Suriah tidak akan menyetujui gagasan koridor kemanusiaan.

Namun, meningkatnya investasi politik Israel dalam krisis Suweida kini menjadi salah satu sumber tekanan terbesar bagi pemerintah baru di Damaskus.

Tekanan yang, bila tidak diantisipasi, bisa menggerogoti proyek negara nasional yang berdaulat dan solid.

*Mahmoud Alloush adalah seorang penulis dan peneliti yang mengkhususkan diri dalam urusan Turki. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mādzā Yaf’alu Nitanyāhū Fī al-Suwaidāa?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular