Ratusan warga Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) kembali turun ke jalan pada Selasa (19/8/2025) untuk memprotes kebijakan wajib militer di Israel. Aksi dilakukan di Kota Bnei Brak, sebelah timur Tel Aviv, yang merupakan pusat komunitas Haredi, dan menyebabkan penutupan jalan,.
Menurut laporan harian Yedioth Ahronoth, para pengunjuk rasa menutup persimpangan Giv’at Shmuel dan menolak membuka jalan meskipun telah diminta oleh pihak kepolisian. Polisi memperingatkan bahwa penolakan membuka jalur akan berujung pada penangkapan.
Badan penyiaran publik Israel menyebut para demonstran membentangkan spanduk bertuliskan, “Kami lebih baik mati daripada wajib militer.” Mereka duduk di tengah jalan, menghentikan lalu lintas dari kedua arah.
Aksi ini berlangsung di tengah krisis besar yang tengah dihadapi militer Israel akibat kekurangan personel.
Menurut Radio Militer Israel, saat ini terdapat kekurangan antara 10.000 hingga 12.000 tentara, ditambah banyaknya tentara cadangan yang mengalami tekanan psikologis dan depresi akibat perang berkepanjangan di Jalur Gaza.
Gelombang protes terbaru ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Agung Israel pada 25 Juni 2024, yang mewajibkan warga Haredi mengikuti dinas militer dan menghentikan bantuan keuangan untuk lembaga keagamaan yang menolak mengirimkan murid-muridnya ke dinas militer.
Komunitas Haredi, yang mencakup sekitar 13 persen dari total populasi Israel (10 juta jiwa), selama ini menolak wajib militer dengan alasan bahwa hidup mereka sepenuhnya dipersembahkan untuk belajar Taurat. Mereka juga menganggap bahwa bergabung dengan militer akan mengancam identitas religius mereka.
Selama beberapa dekade, warga Haredi berhasil menghindari wajib militer dengan memperoleh penundaan dinas atas alasan pendidikan agama hingga mereka mencapai usia pembebasan, yang saat ini ditetapkan pada usia 26 tahun.
Sejumlah partai dalam koalisi pemerintahan maupun oposisi menentang langkah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang berupaya mengesahkan undang-undang untuk membebaskan Haredi dari wajib militer. Kebijakan ini dianggap diskriminatif dan memperparah ketegangan sosial di Israel.
Sementara itu, situasi di Gaza masih terus memburuk. Faksi-faksi Palestina, terutama Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, terus mengklaim serangan-serangan terhadap militer Israel yang didokumentasikan secara visual di tengah pertempuran darat yang telah berlangsung sejak 27 Oktober 2023.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel, dengan dukungan Amerika Serikat, terus melancarkan serangan yang disebut oleh banyak pihak sebagai genosida di Jalur Gaza. Serangan tersebut telah menewaskan 62.064 warga Palestina dan melukai 156.573 orang lainnya, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Selain itu, terdapat lebih dari 9.000 orang yang dilaporkan hilang, ratusan ribu mengungsi, dan 266 korban meninggal akibat kelaparan, termasuk 112 anak-anak.