Wednesday, September 3, 2025
HomeBeritaWarga kamp Jenin: Antara pengungsian dan luka yang tak sembuh

Warga kamp Jenin: Antara pengungsian dan luka yang tak sembuh

Suara Ibu Wiam Hanoun tercekat saat berusaha bercerita tentang rumahnya yang hilang di Kamp Pengungsi Jenin.

Lebih-lebih ketika ia menyebut nama putranya, Wiam, yang gugur dan kini bersemayam di pemakaman kamp itu. Kata-katanya patah.

Rindu dan sesak bercampur menjadi satu, terutama ketika ia mengingat keinginannya yang sederhana: duduk di sisi pusara anaknya dan berbincang sejenak.

Kamp yang dahulu penuh kehidupan kini kosong, berubah menjadi barak militer. Tiga gerbang baja milik tentara Israel mengepung dan mengisolasi kawasan itu dari lingkungannya.

Yang tersisa hanyalah pemakaman—saksi bisu atas kehilangan, dan tempat paling sarat duka dalam ingatan para pengungsi yang terusir.

Bagi warga Jenin, pemakaman bukan sekadar tanah peristirahatan terakhir. Ia adalah bagian dari sejarah perlawanan kamp, juga tujuan pertama setiap kali Idulfitri dan Iduladha tiba.

Di sanalah mereka menabur doa, menitip salam pada orang-orang tercinta yang sudah tiada.

Namun, sejak operasi militer Israel yang diberi nama “Tembok Besi” dimulai tujuh bulan lalu, semua itu terenggut.

Terakhir kali Ibu Wiam menjejakkan kaki di makam anaknya adalah pada Idulfitri lalu.

Ia sempat hanya beberapa menit di sana, sebelum tentara Israel datang, menembakkan gas air mata dan peluru ke udara, memaksa mereka pergi.

“Tak lebih dari beberapa menit kami bisa membaca doa. Setelah itu kami diusir. Sejak hari itu, kerinduan saya pada makam Wiam tetap menghantui dada,” ujarnya dengan suara bergetar.

Harapan untuk kembali membersihkan pusara dan merapikan nisan kini tinggal angan. Tentara Israel menjadikan area pemakaman tak terawat, rerumputan kering menutupi batu-batu nisan.

“Itu hak kami sebagai keluarga. Kami ingin masuk, membersihkan, merawatnya kembali,” tutur Ibu Wiam.

Pemakaman yang terikat izin

Sudah berbulan-bulan, banyak keluarga di Jenin tak lagi leluasa menghadiri pemakaman orang tercinta.

Pemandangan menggetarkan yang selama bertahun-tahun menjadi tradisi—iringan panjang jenazah yang diusung dari jalan-jalan kota menuju pemakaman kamp—hilang sudah. Biasanya, ratusan warga ikut menggali tanah dan menutup liang lahat. Semua itu adalah ritus yang selalu melambangkan semangat perlawanan dan daya hidup kamp.

Kini, pemakaman hanya bisa dilakukan dengan izin khusus. Itulah yang dialami keluarga Yusuf al-Amer.

Pemuda itu tewas ditembak tentara Israel di Kota Qabatiya, selatan Jenin, setelah pasukan menghancurkan bilik pertanian tempat ia bertahan pada akhir Juli lalu.

Keluarga akhirnya mendapat izin untuk memakamkan Yusuf di pemakaman syuhada kamp Jenin. Namun syaratnya tegas: hanya sepuluh kerabat inti yang boleh hadir.

“Selain kehilangan anak, cara pemakamannya membuat luka kami kian dalam. Kami tahu pasukan Israel mengawasi dari kejauhan sampai semua selesai,” tutur Imad al-Amer, ayah Yusuf.

Meski terbatas, warga menolak Yusuf dikebumikan dalam diam. Jenazah tetap diusung di atas bahu para pemuda hingga mencapai kawasan sekitar RS Pemerintah Jenin.

Dari sana, tentara melarang iring-iringan masuk ke kamp. Hanya kerabat dekat yang diperbolehkan mendampingi jenazah sampai ke liang lahat.

Luka yang kian dalam

Ada ironi yang menyesakkan. Saat pemakaman Yusuf al-Amer berlangsung dan disiarkan langsung oleh seorang jurnalis, Ibu Wiam Hanoun meminta sang jurnalis mengarahkan kamera ke arah pusara putranya, Wiam.

Ia ingin sekadar memastikan makam itu masih ada, agar hatinya sedikit tenang.

Kerinduan para pengungsi Jenin pada pemakaman syuhada adalah cerminan rindu yang lebih luas: pada rumah, pada jalan-jalan, pada keseharian yang direnggut dari mereka. Semua detail kehidupan yang pernah mereka kenal telah hilang.

“Keberadaan tentara di dalam kamp menimbulkan luka yang amat dalam. Jenin selama puluhan tahun selalu dikenal sebagai pusat perlawanan di Tepi Barat. Namanya terpatri dalam ingatan orang Palestina, terutama sejak pertempuran besar 2002, ketika tokoh-tokoh seperti Mahmud Tawalbeh dan Syadi Noubani gugur di sini,” ujar Imad al-Amer.

Imad menuturkan keluarganya yang besar—sekitar 150 orang—kini tercerai-berai. “Kami dulu bisa berkumpul hampir setiap hari.

Tapi sejak tujuh bulan lalu, kami berpencar di desa-desa sekitar Jenin dan di tengah kota.

Ada kerabat yang kini rumahnya berjarak 25 kilometer dari kamp. Ini sungguh kenyataan yang pahit,” katanya.

Kerinduan pada Syuhada

Kerinduan itu makin terasa saat ia harus menguburkan ibunya sendiri dengan cara yang sama, hanya lima hari lalu.

Ibunya berasal dari keluarga Zubeidi, salah satu keluarga besar yang dihormati di Jenin, dikenal pula sebagai “nenek para syuhada”.

Namun, pemakaman yang seharusnya dihadiri ribuan orang kini hanya diikuti sepuluh anak dan cucu.

“Sulit menggambarkan perasaan saya. Setiap hari saya melewati rumah di pinggir kamp, tapi tak bisa masuk. Taman kecil tempat kami biasa duduk bersama tetangga kini tinggal puing,” ujar Imad lirih.

Menurutnya, tidak ada kata yang cukup untuk melukiskan rasa kehilangan mereka.

“Anak-anak, rumah, harta benda, kenangan. Semuanya hilang,” imbuhnya.

Kesaksian itu dikuatkan oleh Abu Ahmad Sa’di, pengungsi lain dari kamp Jenin.

“Bahkan kuburan pun dirampas dari kami. Mereka tidak ingin kami hidup, dan tidak ingin kami mati dengan tenang. Penderitaan hidup di barak-barak pengungsian sejak tujuh bulan memang berat, tapi kerinduan untuk bisa mengunjungi para syuhada lebih berat lagi,” ujarnya.

Pada penyerbuan besar tahun lalu yang berlangsung sepuluh hari, buldoser Israel meratakan dinding pemakaman kamp.

Foto-foto para syuhada yang terpampang di sana—anak-anak, orang tua, pejuang bersenjata—dirusak dan dicabik-cabik.

Sejak dimulainya operasi “Tembok Besi”, sedikitnya 45 warga Palestina tewas di wilayah Jenin.

Dari jumlah itu, 11 orang berasal dari kamp. Sembilan berhasil dimakamkan setelah keluarganya memperoleh izin khusus dari tentara Israel, sementara tiga jenazah lainnya hingga kini masih ditahan otoritas pendudukan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular