Wednesday, September 10, 2025
HomeBeritaPemandangan bencana pengungsian dan kelaparan di pantai Gaza Utara

Pemandangan bencana pengungsian dan kelaparan di pantai Gaza Utara

Di sebuah tenda yang dipasang di Jalan Al-Rashid, jalur pantai di barat Kota Gaza, Karim Hamdan hidup sebagai pengungsi bersama empat anak perempuannya.

Sudah 4 bulan ia meninggalkan kampung halamannya di Gaza Utara, dan kini harus bertahan dalam kondisi yang kian sulit.

Hamdan bukan satu-satunya. Ribuan tenda serupa membentang di sepanjang pesisir, dibatasi laut di sisi barat dan ancaman militer Israel yang terus merangsek dari timur.

Jalan pantai Gaza Utara, yang membentang sejauh 13 kilometer dari perlintasan Zikim di ujung barat laut hingga ke batas Kota Gaza dengan wilayah tengah, kini dipenuhi pemandangan pilu: orang-orang kelaparan yang menempuh perjalanan panjang demi secuil makanan.

Hidup dalam bayang-bayang maut

Lebih dari 700 hari perang tanpa henti telah meluluhlantakkan Gaza Utara. Hamdan sendiri sudah 10 kali berpindah tempat sejak awal agresi, mencari titik aman yang selalu terbukti semu. Bahkan, serangan roket Israel sebelumnya telah merenggut kaki salah satu anak perempuannya.

Di sekitarnya, ribuan keluarga lain juga bertahan di tenda-tenda seadanya, setelah Israel mengancam menduduki Kota Gaza dan memaksa lebih dari 1,2 juta penduduk dari Gaza dan wilayah utaranya menyingkir ke area sempit di barat kota.

Di lokasi itu, air laut asin dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Air bersih hampir tak tersedia karena sebagian besar instalasi desalinasi hancur akibat serangan.

Infrastruktur dasar pun lumpuh; limbah mengalir ke laut, menciptakan ancaman epidemi di tengah padatnya pengungsian.

Serangan militer terakhir telah mengusir lebih dari 300 ribu orang dari Gaza Utara dan sekitar 250 ribu lainnya dari kawasan timur, utara, dan selatan Kota Gaza.

Semuanya kini menumpuk di wilayah barat kota yang minim layanan dasar dan sarat penderitaan.

Banyak warga memilih tetap bertahan di bagian utara, meski terus ditekan Israel untuk mengungsi ke selatan.

Mereka menolak meninggalkan rumah dan tanahnya, sekalipun harus hidup dalam bahaya.

Jalan Al-Rashid, yang dulu menjadi jalur tepi pantai indah Gaza serta sempat dibangun ulang dengan bantuan Qatar dan Mesir, kini rata dengan tanah.

Jalan itu berganti rupa: dari ruang rekreasi menjadi penjara terbuka yang menyesakkan.

Pertarungan untuk makanan

Kelaparan kini menjadi wajah lain dari perang. Ribuan orang menempuh perjalanan lebih dari 3 kilometer menuju gerbang Zikim, titik di mana Israel sejak tiga bulan terakhir mengizinkan sedikit truk bantuan masuk.

Bantuan itu tidak pernah sampai ke gudang PBB atau lembaga distribusi, memaksa orang-orang lapar mendekati zona berbahaya, dengan risiko ditembak serdadu Israel.

PBB menolak mekanisme Israel tersebut. Menurut badan dunia itu, sistem distribusi yang dipaksakan hanya memperparah pengungsian, membahayakan ribuan orang, serta menjadikan bantuan sebagai alat tawar politik dan militer, bukannya sarana penyelamatan.

Di jalan pantai itu, Samir al-Abed, lelaki lanjut usia berusia hampir 70 tahun, berjalan dengan langkah gontai. Ia berharap mendapat sedikit bahan pangan dari orang-orang yang pulang.

Fisiknya yang renta tak memungkinkan mencapai titik distribusi, sehingga ia menunggu mereka yang kembali dari “lorong maut” dengan harapan mendapat sedikit jatah untuk cucu-cucunya.

Pulang dalam balutan kain kafan

Pemandangan mereka yang kembali membawa bantuan bercampur getir. Wajah-wajah penuh debu, tubuh yang kurus, banyak di antaranya berjalan tanpa alas kaki.

Ratusan orang memang berhasil membawa pulang sebagian bahan makanan.

Tetapi puluhan lainnya kembali tak bernyawa, dipanggul di pundak atau diangkut gerobak, setelah tewas diterjang peluru Israel.

Rumah Sakit Sheikh Hamad di barat laut Kota Gaza, yang sebenarnya pusat rehabilitasi bagi penyandang disabilitas, kini berubah fungsi menjadi tempat menerima korban tewas dan luka-luka dari mereka yang hanya berusaha mencari makanan.

Ambulans lalu-lalang di jalan rusak, membawa para korban ke pusat-pusat kesehatan lain di kota.

Namun, di tengah kepungan maut itu, terselip juga seberkas harapan. Beberapa anak tampak bermain di ombak pantai Gaza, mencoba melupakan panas dan dentuman meriam.

Seakan dunia kecil mereka masih menyimpan ruang untuk tawa, meski seluruh jalur kehidupan di Gaza kini menunggu satu hal: kapan perang berakhir.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular