Monday, September 15, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Retaknya hubungan UEA dan Israel

LAPORAN KHUSUS – Retaknya hubungan UEA dan Israel

Jika ada satu gambar yang mewakili reaksi atas serangan Israel terhadap pemimpin Hamas di Qatar, maka itu adalah momen Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Mohamed bin Zayed al-Nahyan, memeluk Emir Qatar, Tamim bin Hamad al-Thani, sehari setelah serangan terjadi, lansir Middle East Eye.

Kunjungan Presiden UEA ke Doha merupakan yang pertama sejak serangan tersebut, dan dianggap sebagai bentuk solidaritas simbolis terhadap Qatar. Langkah ini juga mencolok mengingat hubungan UEA dan Qatar kerap diwarnai ketegangan akibat perbedaan visi politik kawasan.

Meskipun hubungan diplomatik secara resmi telah dipulihkan beberapa tahun lalu, perbedaan mendalam antara kedua negara masih terasa bagi para pengamat dan pejabat dari kedua belah pihak.

Seorang mantan pejabat senior intelijen AS mengatakan kepada Middle East Eye bahwa reaksi bin Zayed mencerminkan perasaan campur aduk: “Ia mungkin setengah terkesan karena Israel benar-benar nekat melakukannya, dan setengah lagi ketakutan bukan main.”

Serangan Israel terhadap Qatar dipandang sebagai titik puncak dari agresivitas yang meningkat di kawasan, yang kini turut mengkhawatirkan para penguasa monarki Sunni kaya di Teluk, yang selama ini menjadi sekutu dekat AS dan yang oleh Washington coba disatukan dengan Israel.

Perang di Gaza dan ketegangan regional

Lebih dari 64.700 warga Palestina telah tewas akibat operasi militer Israel di Gaza, yang oleh banyak pihak digambarkan sebagai genosida. Awal bulan ini, pemerintah Israel bahkan kembali menggulirkan rencana untuk mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki.

Langkah-langkah agresif Israel, termasuk serangan terhadap Iran pada bulan Juni dan serangan tanpa henti di Lebanon serta Suriah, menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan negara-negara Teluk. Israel juga masih menduduki wilayah milik negara tetangga dan bahkan mengatur pergerakan militer Suriah di dalam negerinya sendiri.

Meskipun negara-negara Teluk sering disatukan sebagai satu blok, masing-masing memiliki prioritas berbeda. Contohnya, dalam konteks Suriah, Arab Saudi, Qatar, dan Turki mulai menyelaraskan pendekatan, sementara UEA tetap mencurigai pemerintahan Presiden Ahmad al-Sharaa yang dianggap berhaluan Islamis.

Tanda-tanda retaknya hubungan UEA-Israel

Ketika perang di Gaza hampir memasuki tahun kedua dan agresi Israel kian intensif dengan restu AS, tekanan terhadap hubungan Israel dengan negara-negara Arab mulai meningkat.

Mesir, mitra damai Israel paling awal di dunia Arab, disebut-sebut telah menghentikan kerja sama militer. Sementara itu, Arab Saudi menolak keras upaya AS untuk menjalin kesepakatan diplomatik dengan Israel tanpa pembentukan negara Palestina. Putra Mahkota Mohammed bin Salman bahkan secara terbuka mengecam tindakan genosida Israel di Gaza.

Namun, Israel sebelumnya dapat mengandalkan kedekatannya dengan UEA, mitra terkuatnya di dunia Arab. Kini, tanda-tanda ketegangan mulai terlihat.

Pekan ini, UEA membatalkan partisipasi Israel dalam Dubai Airshow yang dijadwalkan pada November mendatang. Dan sepekan sebelum serangan Israel terhadap Qatar, UEA telah memperingatkan bahwa pencaplokan Tepi Barat oleh Israel merupakan “garis merah”.

Peringatan ini penting, karena UEA merupakan pilar utama Abraham Accords—kesepakatan normalisasi yang dimediasi oleh pemerintahan Donald Trump pada 2020, bersama Bahrain dan Maroko. Sementara AS menyebutnya sebagai terobosan bersejarah, para pendukung Palestina menganggapnya sebagai pengkhianatan.

Namun, menurut sejumlah analis, baik pihak pro maupun kontra Israel sering kali gagal memahami motivasi sesungguhnya dari UEA.

Kalkulasi strategis UEA

UEA didirikan pada 1971 sebagai federasi tujuh emirat. Tidak seperti Mesir, Yordania, atau bahkan Arab Saudi, UEA tidak pernah terlibat perang langsung dengan Israel. Dari sekitar 10 juta penduduk, hanya 1 juta yang merupakan warga negara—sisanya adalah pekerja asing.

Tom Barrack, utusan AS yang memiliki hubungan dekat dengan elite UEA, pernah menyatakan bahwa bin Zayed “bergegas” menandatangani Abraham Accords karena memimpin negara kecil dengan sistem monarki absolut.

Hussein Ibish, peneliti senior di Arab Gulf States Institute di Washington, menyebut bahwa UEA tetap berpegang pada kalkulasi strategis mereka: memperdalam kerja sama ekonomi dan teknologi. Namun, aksi-aksi Israel yang merusak stabilitas kawasan mulai menimbulkan kekhawatiran.

“Idealnya, keputusan kebijakan luar negeri diambil di Abu Dhabi dengan konsultasi dari Dubai, dan kadang Sharjah,” kata Ibish. “Namun dalam isu-isu sensitif, bisa timbul perpecahan internal. Pendukung terbesar kerja sama dengan Israel ada di Dubai, sementara yang lebih skeptis berasal dari Sharjah dan Ras al-Khaimah.”

Meskipun Abraham Accords diposisikan sebagai poros anti-Iran, UEA kini justru telah menjalin kembali hubungan dengan Teheran. Sementara itu, Israel telah memperlemah posisi Iran di Suriah dan Lebanon.

Ujian pencaplokan Tepi Barat

Pilar utama keputusan UEA untuk menjalin hubungan terbuka dengan Israel tidak banyak berubah. Sejak awal, UEA dan Israel sama-sama menolak pemerintahan Islamis Presiden Mohamed Morsi di Mesir, dan keduanya menganggap Ikhwanul Muslimin (yang memiliki afiliasi dengan Hamas) sebagai ancaman. Selain itu, UEA juga sangat berkepentingan dalam investasi dan teknologi, khususnya di bidang kecerdasan buatan (AI).

Namun, Firas Maksad, Direktur Timur Tengah di Eurasia Group, menyebut bahwa kesepakatan itu tidak pernah bebas risiko bagi UEA. Risiko terbesarnya adalah kemarahan dunia Arab dan Muslim jika UEA dianggap mengabaikan perjuangan Palestina.

“UEA mengambil risiko besar demi Israel setelah 7 Oktober 2023,” kata Maksad. “Mereka terang-terangan mengecam Hamas, tetap mendukung Israel, tapi tak mendapat imbalan apa-apa.”

Peringatan UEA soal “garis merah” terkait pencaplokan Tepi Barat menjadi perhatian para diplomat dan analis. Maksad menyebut bahwa salah satu alasan utama UEA menandatangani Abraham Accords adalah untuk mencegah pencaplokan wilayah Palestina.

Pada 2021, Duta Besar UEA untuk AS, Yousef al-Otaiba, menyatakan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel dilakukan “untuk menghentikan aneksasi.”

Namun, ketika situasi di lapangan memanas, UEA akhirnya menyatakan bahwa hubungan mereka dengan Israel tidak akan sepenuhnya tergantung pada isu pencaplokan. Bahkan, sebulan sebelum pecahnya genosida di Gaza pada 2023, Otaiba menyebut bahwa “aneksasi de facto” telah berlangsung, dan bahwa UEA tak bisa lagi mencegahnya.

Fokus bergeser ke Gaza

Menurut Abdulaziz Alghashian, peneliti Saudi di Gulf International Forum, fokus kini beralih ke Gaza. UEA kini tengah menyeimbangkan antara keinginan menjaga hubungan dengan Israel dan tekanan dari dunia Arab yang geram atas agresi di Gaza.

Semua mata kini tertuju pada UEA sebagai tolok ukur seberapa jauh Israel bisa melangkah. Qatar telah menyerukan respons kolektif Arab atas serangan Israel terhadap wilayahnya. Namun, UEA belum menjelaskan secara konkret konsekuensi yang akan diambil jika Israel mencaplok wilayah Tepi Barat.

Sejak 7 Oktober 2023, UEA kerap berbeda sikap dengan negara-negara Arab lainnya. Misalnya, ketika Presiden AS Joe Biden mengusulkan rencana pembangunan kawasan wisata di Gaza—yang dipandang banyak pihak sebagai bentuk pembersihan etnis—UEA menyatakan tidak melihat alternatif lain.

MEE sebelumnya juga mengungkap bahwa UEA melobi AS untuk menentang rencana Liga Arab terkait masa depan Gaza, dan mendukung pemindahan warga Palestina ke Mesir. Hal ini sempat memicu ketegangan dengan Kairo, meskipun UEA tetap melanjutkan investasi penting di negara tersebut.

Gaza dan Tepi Barat

Menurut Alghashian, UEA kini menangani isu Palestina dalam dua berkas terpisah: Gaza dan Tepi Barat.

UEA sejak lama memusuhi Hamas, namun juga kurang simpatik terhadap Fatah yang lebih sekuler dan berkuasa di Tepi Barat. UEA disebut lebih mendukung Mohammad Dahlan, tokoh Fatah yang diasingkan dari Gaza dan kini menjadi utusan Abu Dhabi di berbagai kawasan konflik.

Walau hubungan dengan Israel tengah diuji, para analis tidak memperkirakan UEA akan memutus hubungan secara drastis atau mendukung penuh rencana Liga Arab pasca-perang di Gaza, yang menyerukan pengambilalihan wilayah tersebut oleh Otoritas Palestina, sambil tetap membuka ruang bagi Hamas sebagai aktor politik.

“Ada konsensus Arab, dan itu tidak 100 persen sesuai dengan keinginan UEA. Mereka tidak akan menentangnya, tetapi mereka sedang mempersiapkan diri untuk menjadi pengganggu konsensus Arab. Itulah manfaat utama UEA bagi AS dan Israel,” kata Algashian.

Di wilayah lain seperti Tanduk Afrika, UEA tetap berpihak pada Israel. Misalnya, laporan menyebutkan bahwa UEA telah mendesak Somaliland untuk menerima pengungsi paksa Palestina dengan imbalan pengakuan AS. Republik yang memisahkan diri itu merupakan sekutu UEA.

“Mungkin akan ada lebih banyak perselisihan [di UEA] mengenai Tanduk Afrika daripada mengenai Israel. Tidak seorang pun di kalangan elit UEA yang menentang Perjanjian Abraham sebagai masalah strategis,” kata Ibish.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular