Wednesday, September 17, 2025
HomeBeritaAnalis: KTT Doha ujian moral bagi negara normalisasi Israel

Analis: KTT Doha ujian moral bagi negara normalisasi Israel

Pernyataan penutup Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab-Islam darurat di Doha, Qatar, Senin (16/9/2025), membuka ruang bagi negara-negara peserta untuk meninjau kembali hubungan diplomatik dan ekonomi mereka dengan Israel.

Selain itu, dokumen akhir juga mendorong penangguhan pasokan senjata atau penghentian transit persenjataan ke Israel melalui wilayah negara anggota.

Namun, butir tersebut tidak dituangkan dalam bentuk kewajiban yang mengikat.

KTT darurat itu digelar menyusul serangan Israel ke wilayah Qatar pekan lalu. Serangan tersebut ditujukan untuk membunuh sejumlah pimpinan Hamas saat sedang membahas usulan gencatan senjata baru yang diajukan Amerika Serikat di Gaza.

Wakil Sekretaris Jenderal Liga Arab, Duta Besar Hossam Zaki, menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak menjadikan rekomendasi itu sebagai ketentuan wajib dimaksudkan agar tiap negara tetap dapat menyesuaikan langkahnya dengan kepentingan nasional masing-masing.

“Pernyataan akhir tidak bersifat memaksa. Negara peserta memiliki ruang gerak sesuai dengan pertimbangan politik dan strategis mereka,” ujarnya dalam jumpa pers usai penutupan KTT.

Menurut Zaki, konferensi tersebut mengirimkan pesan kuat kepada dunia internasional bahwa Qatar tidak berdiri sendiri.

Dukungan politik dan moral datang dari negara-negara Arab maupun Islam, yang ditegaskan melalui pernyataan para kepala negara dan pimpinan delegasi.

Ia menambahkan, ada beberapa hal penting yang mengemuka dalam forum itu. Salah satunya ialah penegasan bahwa serangan terhadap mediator dan pihak yang menjalankan peran perundingan tidak dapat diterima dalam kondisi apa pun.

“Mediator adalah bagian dari konstruksi politik yang lebih besar. Tidak boleh ada pihak yang mengganggu peran mereka,” kata Zaki.

Dalam konteks itu, Qatar disebut menjalankan mediasi yang stabil dan konstruktif bersama Mesir dan Amerika Serikat (AS).

Peran tersebut, menurut Zaki, perlu dijaga agar tidak menjadi sasaran serangan politik maupun militer dari pihak mana pun.

Kewajiban moral yang sulit dielakkan

Penekanan dalam pernyataan akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab-Islam di Doha agar negara-negara mempertimbangkan kembali hubungan dengan Israel dipandang sejumlah analis sebagai bentuk “kewajiban moral” yang tidak bisa begitu saja diabaikan.

Peneliti utama di Al Jazeera Centre for Studies, Dr Liqaa Makki, menilai rumusan itu tidak bersifat mengikat secara politik, tetapi menempatkan negara-negara yang menjalin hubungan dengan Israel dalam posisi sulit.

“Ini pengingat bahwa hubungan itu bisa dijadikan alat tekan dari sisi etis. Keputusan tetap diserahkan pada kedaulatan masing-masing negara. Namun, kalimat itu akan menimbulkan pertanyaan: mengapa hubungan tetap dipertahankan setelah semua yang dilakukan Israel?” ujarnya dalam analisis untuk Al Jazeera.

Nada serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Dr Mustafa Barghouti. Ia menilai rumusan itu lahir dari tekanan publik yang tidak bisa lagi dinafikan.

Dua tahun berturut-turut serangan Israel terhadap warga Palestina, kata Barghouti, melipatgandakan kemarahan rakyat.

“Karena itu, meski tidak berupa keputusan kolektif, pembukaan ruang bagi negara untuk meninjau hubungan dengan Israel pada dasarnya adalah kewajiban moral. Negara-negara tidak bisa menghindar dari dorongan ini,” tegasnya.

Menurut Barghouti, meskipun tidak tertulis eksplisit, pidato para pemimpin dan delegasi menegaskan gambaran Israel sebagai negara “marjinal” yang tidak menghormati hukum internasional serta bertindak di luar norma peradaban.

Ia menambahkan, setelah pernyataan ini, negara-negara Arab dan Islam yang masih menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dituntut untuk memutuskan ikatan itu, menerapkan sanksi, serta mendorong implementasi keputusan pengadilan internasional terhadap para pemimpin Israel.

Akademisi Aljazair, Husni Abidi, juga menyoroti persoalan serupa. Ia mengingatkan bahwa sebagian negara Arab dahulu menjalin hubungan dengan Israel dengan alasan hal itu akan membuka jalan bagi berdirinya negara Palestina dan mencegah pencaplokan Tepi Barat.

“Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya. Hubungan itu tidak menghasilkan apa pun. Justru pembekuan hubungan akan menjadi dukungan nyata bagi para pendukung perdamaian, karena menunjukkan Israel tidak serius dan masih menerapkan diskriminasi rasial terhadap rakyat Palestina,” kata Abidi.

Dari Doha, Pemimpin Redaksi harian Al-Sharq, Jaber al-Harami, menilai KTT kali ini berhasil “menggerakkan air yang selama ini tenang”.

Menurut dia, forum tersebut membuka isu-isu yang jarang dibicarakan sebelumnya dan memunculkan pertanyaan luas di jalan-jalan Arab mengenai posisi resmi negara-negara mereka terhadap tragedi di Gaza.

Ia memperkirakan KTT ini akan menjadi titik balik dalam kesadaran politik dunia Arab.

Meski demikian, para pengamat menggarisbawahi adanya keterbatasan. Barghouti menilai, pernyataan akhir memang memuat langkah maju, tetapi belum mencapai apa yang diharapkan.

Salah satu kelemahan, menurut dia, ialah pendelegasian penanganan “keserakahan Israel” kepada masyarakat internasional, bukan diambil alih langsung oleh negara-negara peserta.

Kendati demikian, pernyataan akhir Doha dianggap lebih kuat dibandingkan dengan dokumen-dokumen sebelumnya.

Rujukan pada kemungkinan aktivasi pertahanan bersama Arab maupun Teluk dinilai sebagai kemajuan signifikan.

“Ini menandakan kekhawatiran semua pihak terhadap kelanjutan agresi di Gaza dan percepatan Yahudisasi di Tepi Barat,” kata Barghouti.

Ia menambahkan, pernyataan itu menegaskan Israel telah memperlihatkan wajah aslinya kepada semua: tidak siap melakukan kompromi, baik dengan Palestina, Arab, maupun dunia Islam.

Makki menambahkan, seharusnya ada keputusan lebih konkret, misalnya melarang negara-negara Arab dan Islam menerima warga Palestina jika kelak terjadi pengusiran massal. Menurut dia, peringatan soal risiko aneksasi saja tidak cukup.

“Kita butuh langkah nyata, bukan sekadar peringatan. Terlebih setelah Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio secara terbuka mengancam akan mendukung aneksasi Tepi Barat sebagai respons atas pengakuan negara Palestina,” ujarnya.

Meski banyak catatan, para analis sepakat bahwa seruan untuk segera mengaktifkan kerja sama pertahanan di lingkup Dewan Kerja Sama Teluk merupakan sinyal penting.

Makki menilai, meskipun kecil kemungkinan perang Gaza berakhir dalam waktu dekat karena sikap keras AS dan Israel, pernyataan Doha tetap menjadi pijakan penting dalam dinamika regional.

Tumpuan pada negara-negara Teluk

Akademisi asal Aljazair, Husni Abidi, menilai pernyataan akhir KTT Arab-Islam di Doha mencoba mengambil posisi yang lebih maju, tetapi tetap menyentuh hal-hal yang dalam praktiknya sudah jauh tertinggal dari realitas.

Karena itu, ia menekankan perlunya tiap negara mengambil langkah sendiri sesuai kemampuan masing-masing untuk merespons tindakan Israel.

“Sulit sekali mengharapkan semua negara Arab dan Islam menyepakati satu langkah bersama. Kepentingan mereka berbeda-beda, dan itu membuat manuver individual lebih realistis,” kata Abidi.

Secara khusus, ia menyoroti peran negara-negara Teluk yang dinilai memiliki peluang lebih besar untuk berbicara dengan AS melalui bahasa kepentingan.

Menurut Abidi, negara-negara tersebut dapat menyampaikan langsung kepada Presiden Donald Trump—yang sebelumnya mendapat sambutan hangat di kawasan—bahwa dukungannya yang tak terbatas pada Israel justru membahayakan kepentingan nasional Amerika sendiri.

Abidi juga mengingatkan, dengan meningkatnya kejengkelan Eropa atas AS dan Israel yang mengabaikan hukum internasional maupun keputusan Dewan Keamanan PBB, maka negara-negara Teluk dituntut mengambil posisi tegas berbasis kepentingan.

“Arus kanan ekstrem di AS maupun Israel tidak akan berhenti sekalipun Netanyahu atau Trump lengser. Karena itu, Teluk harus berani melangkah,” ujarnya.

Senada dengan itu, Pemimpin Redaksi harian Al-Sharq di Doha, Jaber al-Harami, menekankan arti penting wacana aktivasi sistem pertahanan bersama di kawasan Teluk.

“Pembahasan mengenai kerja sama pertahanan bersama hari ini sangat penting. Itu mencerminkan kesadaran akan ancaman yang membayangi seluruh struktur keamanan Teluk, bukan hanya Qatar semata,” katanya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular