Friday, September 19, 2025
HomeBeritaOPINI - Terbentuknya NATO Arab: Peluang atau ilusi?

OPINI – Terbentuknya NATO Arab: Peluang atau ilusi?

Oleh: Saleh Salem

Pernyataan keras Israel melalui serangan udara di ibu kota Qatar pada 9 September lalu menandai satu hal penting: tidak ada lagi batas yang dianggap aman. Serangan yang menargetkan pemimpin Hamas di sebuah kompleks sipil di Doha tidak hanya mengguncang proses diplomatik gencatan senjata Gaza, tetapi juga mengguncang fondasi solidaritas dan kedaulatan kawasan Arab.

Mesir pun merespons dengan gagasan lama yang dihidupkan kembali: pembentukan aliansi militer Arab, mirip dengan NATO. Sebuah konsep yang jika berhasil, akan menciptakan pasukan gabungan dari negara-negara Arab yang siap bertindak sebagai kekuatan pencegah terhadap segala bentuk agresi eksternal — termasuk dari Israel.

Namun, pertanyaannya bukan sekadar “apakah ini perlu?” Melainkan, “apakah ini mungkin?”

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, dalam forum KTT Arab-Islam di Doha, mengangkat kembali pentingnya mekanisme pertahanan bersama. Ide ini bukan baru. Sudah pernah diusulkan pada 2015, saat ISIS dan Al-Qaeda menyebarkan ketakutan di berbagai negara. Namun seperti banyak inisiatif regional, ia menguap di tengah benturan kepentingan dan kecurigaan antarnegara.

Hari ini, ancamannya berbeda. Bukan terorisme non-negara, melainkan negara yang mendaku dirinya demokratis: Israel. Serangan ke Gaza yang sudah menewaskan lebih dari 65.000 warga sipil, termasuk 20.000 anak-anak, menunjukkan bahwa Israel tak lagi mengindahkan hukum internasional maupun opini dunia. Serangan ke Qatar hanya mempertegas sikap tersebut.

Ironisnya, dalam situasi seperti ini, dunia Arab tetap terpecah.

Negara-negara Teluk lebih khawatir pada Iran. Negara-negara Afrika Utara sibuk dengan ancaman Sahel. Negara-negara perbatasan Israel — Mesir, Lebanon, Yordania — menghadapi langsung dampak ekspansionisme Tel Aviv. Setiap blok memiliki definisi ancaman yang berbeda. Bisakah mereka menyatu dalam satu kerangka militer kolektif?

Peran Mesir

Mesir, dengan jumlah penduduk Arab terbanyak dan sejarah panjang dalam geopolitik Timur Tengah, tentu memiliki modal besar. Namun setelah bertahun-tahun ketergantungan ekonomi dan tekanan domestik, termasuk konflik internal di Sinai, posisi Mesir sebagai pemimpin dunia Arab tidak lagi mutlak.

Maka gagasan aliansi ini, selain sebagai respons strategis terhadap agresi Israel, juga berfungsi sebagai upaya Mesir untuk merebut kembali posisi historisnya — sebagai jantung politik Arab.

Bagi Sisi, membingkai Mesir sebagai benteng terakhir melawan arogansi Israel akan menarik simpati nasionalis di dalam negeri dan mungkin, suntikan dana dari negara-negara kaya Teluk.

Namun satu hal tak kalah penting: aliansi ini juga merupakan upaya mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat, yang belakangan semakin terang-terangan mendukung agresi Israel. Ketika Washington bersikap diam — atau bahkan menyetujui — serangan ke Doha, sinyal jelas dikirimkan: keamanan Arab tak bisa lagi diserahkan pada goodwill Barat.

Realitas di lapangan

Secara teknis, gagasan aliansi ini sangat ambisius. Struktur bergilir komando, kontribusi militer proporsional, dan kesatuan operasional di atas keragaman budaya militer. Konsep ini, dalam kertas, adalah simbol kemandirian regional. Tapi dalam praktik, pertanyaan besarnya: siapa yang memegang kendali? Siapa yang membayar? Siapa yang menentukan kapan pasukan bergerak?

Bagi sebagian analis, tantangan utama justru bukan logistik, melainkan politik. Arab Saudi dan Mesir mungkin bisa bekerja sama, tapi bagaimana dengan Suriah? Dengan Libya? Dengan negara-negara yang saling berselisih dalam konflik internal mereka sendiri?

Tak kalah penting, bagaimana reaksi Israel? Dan bagaimana sikap Amerika Serikat yang melihat Timur Tengah sebagai zona strategis untuk kepentingan globalnya?

Satu hal yang pasti: upaya kolektif seperti ini akan mengundang resistensi — bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam.

Jalan Panjang yang Perlu Dimulai

Apakah aliansi militer Arab akan lahir? Belum tentu. Namun kebutuhan untuk memiliki mekanisme pertahanan regional yang benar-benar berpihak pada rakyat Arab sudah semakin mendesak. Terlalu lama negara-negara Arab bersandar pada kekuatan asing untuk menjamin keamanan, hanya untuk mendapati bahwa kekuatan-kekuatan itu sering kali menjadi sumber ketidakamanan itu sendiri.

Aliansi ini — jika terwujud — tidak hanya akan menjadi benteng fisik, tetapi juga simbol bahwa dunia Arab telah dewasa secara politik dan strategis. Bahwa setelah dekade-dekade perang, intervensi asing, dan perpecahan internal, kini saatnya untuk berpikir dalam kerangka “kami” — bukan hanya “aku”.

Langkah ini tidak mudah. Tapi jika bukan sekarang, kapan lagi?

Penulis adalah jurnalis Mesir.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular