Pengakuan resmi atas Negara Palestina oleh Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal memicu sejumlah pertanyaan mengenai dampaknya terhadap perjuangan rakyat Palestina, termasuk genosida yang terjadi di Jalur Gaza serta proyek aneksasi dan permukiman ilegal di Tepi Barat.
Dari gelombang pengakuan ini, langkah Inggris mendapat perhatian khusus. Negara tersebut diketahui memiliki peran historis dalam pembentukan negara Israel melalui Deklarasi Balfour pada 1917. Tak heran jika pengakuan ini memicu reaksi keras dari para pemimpin Israel yang menyebutnya sebagai “hadiah bagi terorisme”.
Pakar konflik internasional dari Institut Doha untuk Studi Pascasarjana, Ibrahim Fraihat, menilai bahwa pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina merupakan langkah penting yang mengakhiri konsensus dukungan tak bersyarat terhadap Israel di dunia Barat. Menurutnya, langkah ini membawa bobot besar bagi perjuangan nasional Palestina.
Dalam wawancaranya di program “Masar Al-Ahdats” Al Jazeera, Fraihat menyebut bahwa untuk pertama kalinya sejak Perjanjian Oslo, tampak adanya perbedaan arah antara Eropa dan Amerika Serikat dalam menyikapi penjajahah Israel atas Palestina. Perbedaan ini berpotensi menambah tekanan terhadap pemerintahan AS.
Fraihat juga mencatat bahwa perubahan posisi negara-negara Eropa terjadi karena meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil. Ia menegaskan, “Apa yang tidak berubah dengan tekanan, akan berubah dengan lebih banyak tekanan,” merujuk pada pentingnya konsistensi gerakan akar rumput untuk menghentikan agresi Israel yang bertujuan menghapuskan Palestina dari peta politik.
Senada dengan itu, mantan pemimpin Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn menyebut langkah Inggris sebagai capaian penting setelah bertahun-tahun kampanye dan tekanan publik terhadap pemerintah untuk lebih berpihak pada keadilan bagi Palestina.
Tuntutan Langkah Nyata
Meski demikian, para pengamat sepakat bahwa pengakuan semata tidak cukup. Dalam konteks bencana kemanusiaan yang terjadi di Gaza, Fraihat menekankan pentingnya langkah konkret dari negara-negara Barat, termasuk pemberlakuan sanksi terhadap Israel.
Corbyn juga menyuarakan hal serupa, menyerukan penghentian pasokan senjata ke Israel sebagai bagian dari upaya menghentikan genosida, penyiksaan warga sipil, dan pengusiran paksa dari tanah mereka. Ia menilai pemerintah Inggris memiliki tanggung jawab historis dan akan menghadapi tekanan publik yang semakin besar.
Respons Keras Israel
Di sisi lain, analis urusan Israel, Ihab Jabareen, menyebut reaksi Israel atas gelombang pengakuan ini sebagai “reaksi panik”.
Sebelumnya, Israel kerap menganggap pengakuan semacam itu sebagai bagian dari taktik diplomatik semata. Namun kini, gelombang pengakuan tersebut dinilai telah membentuk fondasi baru yang mendefinisikan kembali status Israel — bukan lagi sebagai negara korban, melainkan sebagai kekuatan pendudukan permanen.
Menurut Jabareen, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kini mencoba membingkai respons diplomatiknya sejalan dengan posisi Amerika Serikat, untuk menunjukkan bahwa Israel masih mendapat dukungan besar dari Washington.
Namun ia tidak menampik kemungkinan Israel akan mengambil langkah-langkah provokatif, seperti menganeksasi wilayah di Tepi Barat atau memberlakukan hukuman terhadap Otoritas Palestina. Meski demikian, respons Israel diperkirakan tetap dibatasi oleh kepentingan dan tekanan dari Amerika Serikat.
Jabareen juga mengingatkan bahwa langkah-langkah ekstrem Israel bisa memicu gelombang pengakuan baru dari negara-negara Barat lain dan meningkatkan isolasi diplomatik Israel secara global.
Pandangan AS: Sekadar Simbolik
Di sisi lain, mantan pejabat komunikasi Gedung Putih, Mark Pfeifle, menilai bahwa pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina hanya bersifat simbolik dan tidak banyak berpengaruh terhadap proses perdamaian maupun negosiasi gencatan senjata di Gaza.
Ia juga meragukan keberlanjutan pendekatan Presiden AS Donald Trump dan Menlu Marco Rubio dalam menyikapi konflik tersebut, menyusul kegagalan strategi mereka dalam merespons perang di Gaza. Kendati demikian, ia mengakui bahwa solusi dua negara masih jauh dari jangkauan.
Media Israel Channel 15 juga mengutip seorang sumber politik yang menyebut bahwa Rubio memberi “lampu hijau” kepada Israel untuk memberlakukan kedaulatannya di Tepi Barat.
Sementara itu, Channel 12 mengutip pejabat Uni Eropa yang memperingatkan bahwa jika Israel tetap memperluas pendudukan di wilayah tersebut, mereka harus siap menghadapi konsekuensi serius dari komunitas internasional.