Gelombang pengungsian massal dari Kota Gaza dan wilayah utara ke selatan Jalur Gaza menambah beban berat pada rumah sakit-rumah sakit yang masih beroperasi.
Fasilitas kesehatan di kawasan selatan, termasuk rumah sakit lapangan, kini berada di ambang kolaps akibat kombinasi tekanan jumlah pasien dan keterbatasan pasokan medis yang diperparah oleh blokade Israel.
Salah satu yang paling terpukul adalah Rumah Sakit Kuwait Spesialis “Syifa Palestina”.
Pada Kamis (18/9), pihak manajemen rumah sakit terpaksa menghentikan seluruh operasi terjadwal, dan hanya melayani operasi darurat untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Kondisi itu muncul akibat kelangkaan obat-obatan, habisnya bahan medis habis pakai, hingga kerusakan alat kesehatan yang tidak pernah diperbarui dalam dua tahun terakhir.
Kekurangan paling krusial mencakup obat bius, cairan infus, bahan sterilisasi, dan instrumen bedah pokok.
“Sejak awal, rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit lapangan di Gaza selatan sudah kesulitan menampung pasien. Kini, dengan adanya arus pengungsian paksa dari Kota Gaza, tekanannya akan semakin berat,” ujar Ketua Dewan Pengelola Rumah Sakit Kuwait, dr. Shohib al-Hamash, kepada Al Jazeera Net, dikutip Jumat (19/9).
Al-Hamash juga membantah klaim Israel mengenai adanya zona aman di selatan Gaza.
“Tidak ada ruang kemanusiaan atau kawasan aman di sini. Semua wilayah padat dan berbahaya. Fasilitas sangat terbatas, layanan hampir lumpuh, dan rumah sakit yang tersisa bekerja dalam kondisi amat pelik, bahkan terancam berhenti total,” ujarnya.
Krisis operasi bedah
Keputusan Rumah Sakit Kuwait Spesialis untuk menghentikan seluruh operasi terjadwal diambil di tengah perang yang kian berkecamuk dan akan memasuki tahun ketiga pada 7 Oktober mendatang.
Situasi diperparah oleh pengepungan ketat, penutupan jalur perbatasan, serta larangan Israel atas masuknya bantuan kemanusiaan dan pasokan medis.
Menurut dr. Shohib al-Hamash, sejak dimulainya kembali agresi pada 18 Maret lalu, rumah sakit tidak pernah menerima bantuan medis dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan yang terus melonjak.
Untuk menutup kekurangan, pihak manajemen terpaksa membeli obat dan perlengkapan medis dari pasar lokal dengan nilai lebih dari 1 juta dollar AS.
Namun kini, pasokan di pasar sudah benar-benar kosong dan tak lagi mampu menutupi kebutuhan mendesak rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain di Gaza.
Dampak keputusan penghentian operasi terjadwal sangat luas. Al-Hamash mengungkapkan, sebelumnya rumah sakit melayani sekitar 40 operasi bedah terjadwal setiap hari, meliputi berbagai spesialisasi.
Kini, daftar tunggu pasien yang membutuhkan operasi sudah ditutup untuk enam bulan ke depan.
“Artinya, ribuan pasien dan korban luka kehilangan akses terhadap layanan medis penting yang sebelumnya bisa kami sediakan,” ujar al-Hamash.
Kondisi ini, lanjutnya, semakin memperparah krisis kesehatan dan kemanusiaan di Gaza selatan, sekaligus mengancam runtuhnya sistem layanan kesehatan secara keseluruhan.
Terutama di tengah padatnya pengungsian dan meningkatnya jumlah luka-luka dengan kasus medis yang semakin rumit.
Pengepungan yang mencekik
Rumah Sakit Kuwait Spesialis merupakan rumah sakit lapangan terbesar di Jalur Gaza, baik dari sisi luas bangunan maupun ragam layanan medis yang diberikan. Namun, tekanan perang dan blokade membuat fungsinya kian lumpuh.
Tiga pekan lalu, manajemen rumah sakit terpaksa menghentikan layanan perawatan luka pascaoperasi.
Alasannya sederhana, tetapi fatal: tidak ada lagi persediaan kasa medis dan cairan antiseptik. Akibatnya, angka infeksi pascaoperasi melonjak tajam.
“Bayangkan, hal sesederhana ketiadaan kasa dan cairan pembersih sudah cukup membuat rumah sakit menghentikan layanan dasar. Saya bahkan sudah menghubungi rumah sakit lapangan lain yang dikelola lembaga internasional, tetapi ternyata mereka pun menghadapi krisis yang sama,” ungkap dr. Shohib al-Hamash dengan nada getir.
Al-Hamash memperingatkan, dalam waktu satu pekan hingga sepuluh hari ke depan, manajemen kemungkinan besar harus menutup sebagian klinik spesialis.
Jika itu terjadi, rumah sakit hanya akan berfungsi sebagai unit gawat darurat.
“Ini langkah awal menuju kehancuran total sistem layanan kesehatan,” ujarnya.
Kondisi tersebut mengancam langsung nyawa ribuan pasien dan korban luka, terutama dengan meningkatnya kepadatan penduduk di Gaza selatan akibat arus pengungsian massal dari Kota Gaza dan wilayah utara.
Tekanan tambahan ini membuat fasilitas kesehatan yang sudah rapuh kian terpuruk, berjuang hanya untuk sekadar bertahan.
Di kawasan selatan Gaza, saat ini hanya ada dua rumah sakit pemerintah yang masih beroperasi, yakni Kompleks Medis Nasser di Khan Younis dan RS Syuhada al-Aqsa di Deir al-Balah.
Sejumlah rumah sakit lapangan lain yang dikelola lembaga lokal maupun internasional, menurut al-Hamash, juga menghadapi krisis serupa yang membatasi kemampuan mereka melayani pasien.
Ancaman runtuhnya layanan
Rumah Sakit Kuwait Spesialis sejatinya merupakan salah satu pusat layanan kesehatan terlengkap yang masih bertahan di Jalur Gaza.
Fasilitas ini memiliki 21 klinik spesialis, tiga ruang operasi, unit endoskopi untuk saluran pencernaan, ruang radiologi intervensi, serta instalasi gawat darurat dengan kapasitas 30 tempat tidur.
Namun, unit perawatan intensif yang dimiliki kini berhenti total karena ketiadaan peralatan dan pasokan medis.
Menurut dr. Shohib al-Hamash, rumah sakit melayani rata-rata 5.000 orang per hari. Dari jumlah itu, 1.500 pasien ditangani di instalasi gawat darurat, 1.000 pasien di klinik spesialis, sementara sisanya menerima berbagai layanan medis lain.
Bahkan, rumah sakit layanan primer yang baru dibuka dan berada di bawah naungan fasilitas ini—meski tidak menerima satu butir obat pun sejak mulai beroperasi 3 pekan lalu—sudah kedatangan sekitar 1.000 pasien setiap harinya.
Sejak agresi Israel dimulai pasca-operasi “Badai Al-Aqsa” pada 7 Oktober 2023, rumah sakit ini menderita kerugian besar, baik secara material maupun sumber daya manusia.
Empat tenaga medis gugur saat bertugas, sementara puluhan lainnya terluka, baik ketika berada di lokasi kerja maupun di luar rumah sakit akibat serangan.
“Pasukan pendudukan bahkan menghancurkan total kantor pusat rumah sakit kami di Rafah, termasuk Rumah Sakit Darurat yang berada di dalam kompleks, lengkap dengan seluruh isinya—mulai dari perangkat medis hingga peralatan vital—saat melakukan invasi ke kota itu pada 6 Mei 2024,” tutur al-Hamash.
Beban yang kian berat
Sejak manajemen Rumah Sakit Kuwait terpaksa mengungsi dari Kota Rafah dan mendirikan rumah sakit lapangan di kawasan al-Mawasi, barat Kota Khan Younis, beban pelayanan kesehatan yang harus dipikul kian berat.
Kondisi ini melelahkan tenaga medis dan mempercepat kerusakan peralatan yang digunakan.
Menurut dr. Shohib al-Hamash, sebagian besar perangkat medis sudah rapuh dan sewaktu-waktu bisa berhenti berfungsi.
Dari 17 ambulans yang dimiliki, hanya tujuh unit yang masih beroperasi, itu pun dalam situasi penuh keterbatasan: tidak ada pasokan bahan bakar memadai dan suku cadang untuk perawatan.
Untuk menahan kemungkinan runtuhnya layanan, rumah sakit kini menerapkan sistem darurat dengan penghematan ketat.
Operasi bedah dibatasi hanya pada tindakan penyelamatan nyawa atau upaya mempertahankan anggota tubuh pasien.
“Karena kelangkaan obat bius, dokter terpaksa lebih banyak melakukan anestesi regional. Obat bius yang tersedia saat ini hanya cukup untuk sekitar 120 operasi,” jelas al-Hamash.
Ia pun menyerukan kepada semua pihak, khususnya organisasi internasional, untuk segera turun tangan membuka koridor kemanusiaan.
Menjamin masuknya pasokan obat-obatan dan peralatan medis, serta membantu menutup biaya operasional rumah sakit.
“Tanpa dukungan nyata, layanan kami tidak akan mampu bertahan,” tegasnya.