Tuesday, September 23, 2025
HomeBeritaOPINI - Mengapa Macron baru akui Palestina sekarang?

OPINI – Mengapa Macron baru akui Palestina sekarang?

Oleh: Mahdi al Zaidawi

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa negaranya akan secara resmi mengakui negara Palestina di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang.

Pernyataan tersebut disampaikannya pada 24 Juli lalu, sebagai bagian dari komitmen yang telah ia isyaratkan selama beberapa bulan terakhir, meskipun menimbulkan kecaman keras dari pemerintah Israel.

Pengakuan ini dijadwalkan diumumkan dalam momentum Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Palestina yang dipimpin oleh Prancis dan Arab Saudi di bawah naungan PBB. Konferensi tersebut digelar di New York pada 28 dan 29 Juli 2025 dan ditujukan untuk memajukan solusi dua negara.

Langkah Macron ini mencerminkan pergeseran posisi diplomatik Prancis yang selama ini dikenal sebagai salah satu sekutu utama Israel di Eropa. Prancis menjadi negara pertama dari kelompok G7 yang mengambil langkah ini, diikuti oleh peningkatan tekanan terhadap negara-negara Barat lainnya untuk mempertimbangkan pengakuan serupa.

Ketegangan dengan Israel

Reaksi keras dari Israel langsung muncul. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut langkah Prancis sebagai “hadiah bagi terorisme,” dan memperingatkan bahwa negara Palestina dalam situasi saat ini hanya akan menjadi ancaman bagi keberadaan Israel. Putra Netanyahu, Yair, bahkan melontarkan kata-kata kasar terhadap Macron di media sosial.

Hubungan antara Macron dan Netanyahu sendiri telah memburuk sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023. Meskipun Prancis tetap memasok senjata ke Israel, Presiden Macron pernah mengancam akan menghentikan ekspor senjata tersebut—langkah simbolis yang mengingatkan pada kebijakan Presiden Charles de Gaulle pada 1967.

Macron juga menyatakan kekecewaannya atas serangan militer Israel ke Lebanon yang menargetkan pasukan penjaga perdamaian PBB dan menewaskan warga sipil. Hal ini semakin memperlebar jurang antara Paris dan Tel Aviv.

Dampaknya di Dalam Negeri

Pengakuan terhadap negara Palestina oleh Prancis dinilai bukan hanya sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina, tetapi juga sebagai upaya Prancis untuk menunjukkan independensi kebijakan luar negerinya dari Amerika Serikat. Macron berambisi mengembalikan peran aktif Prancis di Timur Tengah.

Namun, keputusan ini memicu perdebatan sengit di dalam negeri. Di satu sisi, partai-partai kiri seperti “La France Insoumise” menyambut langkah tersebut sebagai kemenangan moral, namun menilai langkah ini terlalu terlambat. Di sisi lain, kelompok kanan konservatif dan sayap kanan ekstrem menolaknya dengan keras.

Marine Le Pen, pemimpin partai sayap kanan Rassemblement National, menuding bahwa pengakuan tersebut berarti “mengakui negara Hamas,” dan menyebutnya sebagai “negara teroris.” Kandidat presiden dari partai tersebut, Jordan Bardella, menilai keputusan Macron sebagai langkah tergesa-gesa yang lebih didorong kepentingan politik pribadi ketimbang upaya sungguh-sungguh membangun perdamaian.

Bahkan di kalangan pendukung Macron sendiri, keputusan ini memunculkan kebingungan. Beberapa anggota parlemen partai pendukung pemerintah secara terbuka menyatakan ketidaksepakatannya, terutama mereka yang dikenal sebagai pendukung setia Israel.

Pengakuan yang Sarat Syarat

Pengakuan Prancis terhadap negara Palestina juga disertai sejumlah prasyarat, seperti penolakan terhadap kekerasan, pengakuan terhadap Israel, serta upaya pelucutan senjata kelompok bersenjata seperti Hamas. Kritik muncul bahwa pengakuan ini tidak disertai langkah konkret seperti penetapan batas wilayah, penghentian pembangunan permukiman ilegal, atau jaminan kembalinya para pengungsi Palestina.

Sejumlah warga Palestina di pengasingan, terutama di Prancis, menyambut pengakuan tersebut dengan sikap hati-hati. Seorang mahasiswa asal Gaza, misalnya, menyebut bahwa pengakuan itu tidak cukup untuk menghentikan genosida yang berlangsung. Ia menekankan perlunya tindakan nyata seperti sanksi, embargo senjata, dan pembekuan kerja sama ekonomi dengan Israel.

Seorang pengungsi lain bahkan menyebut negara Palestina yang diakui saat ini hanya ada di atas kertas karena tidak memiliki batas wilayah, sumber daya, atau kedaulatan nyata.

Sementara itu, pemerintah Israel mengecam keras langkah Macron. Menteri Kehakiman Israel menyebut keputusan itu sebagai “aib bagi sejarah Prancis.” Menteri Pertahanan Israel menilai Prancis telah melemahkan posisi Israel di tengah konflik yang sedang berlangsung.

Warga Israel yang memiliki kewarganegaraan Prancis juga menyuarakan kekecewaannya. Mereka menilai bahwa negara asal mereka telah “mengkhianati Israel” dengan memberikan pengakuan kepada Palestina di tengah ketegangan yang belum mereda.

Simbolis, Tapi Belum Menjawab Pertanyaan Besar

Langkah Presiden Macron mengakui negara Palestina memang sarat nilai simbolik. Namun, banyak pengamat mempertanyakan apakah langkah ini akan membawa perubahan nyata di lapangan, atau sekadar bagian dari strategi politik luar negeri Prancis untuk memulihkan peran globalnya di tengah ketegangan geopolitik dunia.

Pertanyaan terbesar yang masih menggantung adalah: apakah pengakuan ini akan benar-benar membuka jalan bagi perdamaian dan kemerdekaan Palestina—atau justru memperdalam jurang konflik yang sudah lama ada?

Penulis adalah pegiat media dan pengamat Timur Tengah. Tulisan ini diambil dalam opininya di Al Jazeera

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular