Thursday, September 25, 2025
HomeBeritaMedia Israel: Dunia angkat kartu kuning bagi pemerintahan Netanyahu

Media Israel: Dunia angkat kartu kuning bagi pemerintahan Netanyahu

Harian Israel Yedioth Ahronoth menilai, Israel baru saja mengalami kekalahan diplomatik telak di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sejumlah negara baru, termasuk kekuatan besar Barat, menyatakan pengakuan atas hak Palestina mendirikan negara merdeka.

Dalam laporan politik yang ditulis koresponden Itamar Eichner, situasi itu disebut sebagai “kemerosotan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Israel.”

Ia menggambarkannya sebagai “kartu kuning” yang ditunjukkan dunia kepada pemerintahan Benjamin Netanyahu, yang kian kehilangan pengaruh di mata komunitas internasional.

Runtuhnya narasi Israel

Eichner menilai, penutupan Konferensi Prancis-Saudi di markas PBB mencerminkan perubahan besar dalam “aturan permainan.”

Setelah bertahun-tahun mampu menggagalkan langkah serupa, Israel kini mendapati dirinya berhadapan dengan lebih dari 150 negara yang mengakui kemerdekaan Palestina.

Di antara mereka terdapat negara-negara Barat yang menambah bobot signifikan bagi gelombang ini.

“Sudah jelas kemarin, di Sidang Umum PBB, Israel berada di titik terendah dalam panggung politik internasional,” tulis Eichner.

Bedanya, kali ini pengakuan tidak hanya datang dari blok Non-Blok atau dunia Arab, tetapi juga dari Prancis, Inggris, Kanada, Australia, Spanyol, serta sejumlah anggota Uni Eropa yang selama ini digolongkan sebagai like-minded countries.

Israel memperkirakan, tinggal sedikit demokrasi yang belum bergabung—seperti Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan—yang cepat atau lambat akan mengikuti arus.

Jika itu terjadi, menurut Eichner, “akan menghantam jantung daya tawar diplomatik yang selama ini menopang citra Israel.”

Yang paling menohok, menurut laporan itu, adalah sikap Arab Saudi. Negeri yang sebelumnya dipandang Tel Aviv dan Washington sebagai pilar penting dalam merajut ulang peta politik Timur Tengah, kini justru berdiri di barisan pro-Palestina.

Kondisi ini, menurut Yedioth Ahronoth, menandai pergeseran besar: Israel tidak lagi dilihat sebagai bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah di mata ibu kota-ibu kota Teluk.

Laporan itu juga menyoroti pidato Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, di hadapan Majelis Umum PBB.

Dalam forum tersebut, ia secara terbuka mengecam Israel, menyebut serangannya terhadap Doha sebagai “terorisme negara” sekaligus pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan hukum internasional.

Sheikh Tamim bahkan menegaskan jika harga pembebasan sandera Israel adalah penghentian perang, maka pemerintah Israel jelas menolak pembebasan mereka.

“Tujuan sebenarnya adalah menghancurkan Gaza,” katanya.

Ia juga mengutip pernyataan Netanyahu sendiri yang berulang kali membanggakan bahwa negara Palestina tidak akan pernah terwujud, baik kini maupun di masa depan.

Menurut Eichner, pidato Emir Qatar itu menggema kuat di ruang sidang, mempertegas bahwa citra Israel di kawasan kini merosot dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perhitungan Washington dan batas manuver Israel

Meski kian terisolasi, Israel masih menikmati perlindungan kuat dari Presiden AS Donald Trump.

Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Trump secara terbuka menolak gelombang pengakuan negara Palestina dan menyebutnya sebagai “hadiah bagi Hamas.”

Ia menegaskan, “Alih-alih menyerah pada tuntutan Hamas atas tebusan, mereka yang menginginkan perdamaian harus bersatu dalam satu pesan: bebaskan para sandera sekarang juga.”

Namun, Yedioth Ahronoth mengingatkan, bergantung sepenuhnya pada Trump adalah taruhan berisiko tinggi.

Trump dikenal “sangat labil” dan bisa berubah haluan sewaktu-waktu, tergantung pada kepentingan ekonomi maupun kalkulasi politik domestik.

Karena itu, menurut laporan itu, Israel tidak bisa menaruh “seluruh telurnya dalam keranjang Gedung Putih.”

Di dalam negeri, Netanyahu dan kabinetnya tengah menimbang berbagai opsi. Sejumlah menteri mendorong langkah sepihak, seperti aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat.

Tetapi, menurut sumber diplomatik yang dikutip Eichner, langkah itu “akan dipandang sebagai tantangan langsung terhadap komunitas internasional” dan berpotensi memicu keputusan keras di Dewan Keamanan, bahkan membuka pintu sanksi ekonomi.

Opsi lain yang dipertimbangkan adalah memberi sanksi diplomatik kepada Prancis, yang dianggap memimpin dorongan pengakuan Palestina.

Namun, laporan itu menegaskan, Paris telah menyiapkan balasan setara, termasuk kemungkinan membuka kedutaan di Ramallah jika Israel menutup konsulat Prancis di Yerusalem. Konfrontasi langsung dengan kekuatan besar Eropa pun tak terelakkan.

Skenario yang lebih ekstrem—dan paling berisiko—ialah pembubaran Otoritas Palestina atau pembatalan Perjanjian Oslo.

Menurut laporan itu, opsi ini akan memicu kecaman global luas serta merusak koordinasi keamanan yang selama ini justru dibutuhkan Israel.

Eichner menutup analisanya dengan peringatan: “Pilihan untuk berdiam diri tidak ada dalam kamus pemerintahan ini.”

Artinya, Israel kemungkinan besar akan mencari bentuk respons yang bermakna, meskipun kapasitas pengaruhnya sudah jauh berkurang.

Retaknya daya tawar diplomasi Israel

Israel masih berupaya berpegang pada apa yang disebutnya sebagai “pencapaian relatif.” Di antaranya adalah sikap Jerman dan Italia yang tidak ikut serta dalam gelombang pengakuan negara Palestina.

Menurut Eichner, keputusan kedua negara dipengaruhi oleh latar belakang sejarah khusus. Hal serupa juga berlaku pada Hungaria dan Ceko, yang memiliki hubungan rumit dengan Uni Eropa.

Argentina, di bawah Presiden Javier Milei yang dikenal pro-Israel, juga memilih untuk tidak mendukung langkah pengakuan tersebut.

Selain itu, Israel berhasil membujuk Finlandia agar menunda sikapnya, sementara Selandia Baru dan Jepang juga belum memberikan pengakuan.

Namun, Menteri Luar Negeri Jepang menegaskan bahwa pertanyaannya bukan “apakah” negaranya akan mengakui Palestina, melainkan “kapan.”

Artinya, keberhasilan Israel hanya bersifat sementara dan bisa runtuh sewaktu-waktu.

Laporan Yedioth Ahronoth juga menyebut, Paris tengah menyiapkan gelombang kedua pengakuan, kali ini menyasar negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

Jika itu terjadi, Israel akan menghadapi tantangan baru di kawasan yang selama ini dianggap lebih aman secara diplomatik.

Sebagai upaya menyeimbangkan situasi, Israel mulai membangun komunikasi dengan partai-partai oposisi di negara-negara yang sudah mengakui Palestina.

Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar, misalnya, melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh oposisi di Australia, Kanada, dan Inggris.

Ia bahkan mendapat jaminan bahwa keputusan pengakuan dapat dibatalkan jika terjadi pergantian pemerintahan.

Di Australia, pemimpin oposisi Susan Ley menyatakan akan mencabut keputusan pengakuan negara Palestina bila kelak partainya berkuasa.

Di Kanada, Wakil Ketua Oposisi Melissa Lantsman menyebut pengakuan tersebut sebagai “pengkhianatan terhadap sekutu dan hadiah besar bagi Hamas.”

Namun, Eichner menegaskan, pernyataan-pernyataan itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa Israel kini “terisolasi secara politik lebih dari sebelumnya.”

Daya tawar diplomasi yang selama ini menjadi salah satu senjata utamanya, menurut dia, tengah berada dalam kondisi nyaris runtuh total.

Isyarat keras dari komunitas internasional

Laporan Yedioth Ahronoth merangkum dinamika di PBB sebagai “banyak hiruk pikuk untuk hal yang tidak mengubah realitas di lapangan.”

Pengakuan sejumlah negara terhadap Palestina memang tidak serta-merta menghentikan perang ataupun mengubah kondisi rakyat di Gaza.

Namun, di balik itu terdapat makna yang jauh lebih dalam: sebuah bentuk penghinaan diplomatik bagi Israel, sekaligus sinyal bahwa pemerintahannya kini dianggap tidak memiliki visi politik yang nyata.

Eichner menutup laporannya dengan peringatan, bahwa Israel seharusnya memandang perkembangan ini sebagai “kartu kuning” dari komunitas internasional.

Menurut dia, pemerintah perlu memahami bahwa kebijakan seperti sekarang tidak bisa dipertahankan selamanya.

Sementara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menunggu pertemuannya dengan Donald Trump untuk menentukan langkah berikutnya, para analis melihat tanda-tanda lain.

Yaitu, Israel semakin bergantung pada AS, namun pada saat yang sama kian terisolasi dari ibu kota-ibu kota Barat yang dulunya menjadi sekutu paling setia.

Pertanyaannya kini, apakah situasi akan berhenti pada “kartu kuning,” atau justru masyarakat internasional sedang bersiap mengangkat “kartu merah” bagi Israel apabila tetap bersikeras melanjutkan jalannya yang sekarang?

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular