Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa mengonfirmasi bahwa negaranya tengah menjalani pembicaraan keamanan lanjutan dengan Israel. Namun demikian, ia menegaskan bahwa kesepakatan apapun yang tercapai tidak akan menyerupai perjanjian normalisasi seperti Abraham Accords, mengingat masih kuatnya kemarahan publik Arab terhadap Israel.
“Saya berharap perundingan ini dapat menghasilkan kesepakatan yang tetap menjaga kedaulatan Suriah, sembari mengatasi kekhawatiran keamanan yang disampaikan pihak Israel,” ujar Sharaa dalam pertemuannya dengan mantan Direktur CIA David Petraeus di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, Senin (23/9/2025).
Kunjungan Sharaa ke New York menjadi sorotan dunia internasional, mengingat ia merupakan pemimpin Suriah pertama yang menginjakkan kaki di Amerika Serikat sejak tahun 1967.
Dari Militan ke Presiden
Ahmed al-Sharaa sebelumnya dikenal sebagai pemimpin kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang tahun lalu memimpin serangan besar-besaran menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Pada akhir tahun lalu, Amerika Serikat mencabut status teroris terhadap HTS dan mencabut buronan US$10 juta atas nama Sharaa.
Hubungan Sharaa dan Petraeus menjadi sorotan tersendiri dalam forum tersebut. Petraeus, yang sempat memimpin pasukan AS dalam “gelombang pasukan” di Irak, pernah menahan Sharaa sebagai kombatan asing di Irak pada awal 2000-an.
“Dari perang ke dialog, inilah perjalanan kami. Mereka yang pernah merasakan perang, lebih memahami pentingnya perdamaian,” ujar Sharaa dalam diskusi yang berlangsung dalam Konferensi Tahunan Concordia.
Menolak Abraham Accords
Menanggapi spekulasi bahwa Suriah bisa mengikuti jejak Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Israel lewat Abraham Accords, Sharaa memberikan penolakan tegas.
“Suriah tidak bisa disamakan dengan negara-negara yang tidak berbatasan langsung dengan Israel. Kami telah menjadi sasaran lebih dari seribu serangan udara dan pelanggaran wilayah dari Dataran Tinggi Golan,” katanya.
Sharaa juga menyampaikan keraguan terhadap itikad baik Israel dalam proses perdamaian. Ia merujuk pada pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania.
“Ada kemarahan besar atas apa yang terjadi di Gaza—bukan hanya di Suriah, tetapi juga di seluruh dunia. Dan tentu saja, hal ini memengaruhi posisi kami terhadap Israel,” ujar Sharaa.
Upaya Lobi dan Tantangan Internal
Selain isu Israel, salah satu agenda utama kunjungan Sharaa ke AS adalah melobi penghapusan penuh sanksi terhadap Suriah. Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah mengumumkan pencabutan sebagian besar sanksi pada Mei lalu, namun sanksi utama seperti Undang-Undang Perlindungan Sipil Caesar masih berlaku dan hanya dapat dicabut oleh Kongres.
Meski memuji langkah Trump, Sharaa mendorong Kongres untuk mencabut sanksi-sanksi yang masih tersisa. Ia menyebut sanksi tersebut sudah tidak relevan sejak jatuhnya pemerintahan Assad.
Namun, sejumlah anggota parlemen AS meminta jaminan bahwa pemerintahan baru Suriah, yang sebagian besar diisi oleh mantan anggota HTS, akan melindungi minoritas seperti Kristen, Alawi, dan Druze—terutama setelah sejumlah insiden kekerasan pada musim panas lalu.
Isu paling sensitif yang harus dihadapi pemerintahan Sharaa saat ini adalah relasi dengan Israel. Sejak jatuhnya pemerintahan Assad, Israel dilaporkan meningkatkan serangan udara, termasuk ke kantor Kementerian Pertahanan dan kawasan sekitar Istana Presiden.
Menurut sejumlah laporan, Israel juga telah menguasai sebagian wilayah barat daya Suriah, termasuk wilayah strategis Gunung Hermon.
Dalam perundingan yang dimediasi Amerika Serikat, Israel dilaporkan mengajukan permintaan pembentukan zona larangan terbang di selatan Suriah hingga mendekati ibu kota Damaskus, serta zona penyangga yang melarang pengerahan militer Suriah.
Reuters melaporkan bahwa Israel bahkan mendanai dan mempersenjatai sekitar 3.000 milisi Druze di wilayah tersebut. Pasukan Sharaa sempat bentrok dengan kelompok Druze pada musim panas, dan kedua pihak saling menuding telah melakukan kekejaman.
Di saat yang sama, Sharaa juga berupaya mengonsolidasikan kendali atas wilayah timur laut Suriah yang selama ini dikuasai secara otonom oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Kelompok bersenjata ini sebelumnya didukung AS untuk melawan ISIS, namun memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang oleh Turki dianggap sebagai organisasi teroris.
Turki, yang menjadi pendukung utama militer Sharaa, menuntut agar faksi-faksi Kurdi di Suriah dikooptasi ke dalam struktur militer nasional Suriah. Upaya integrasi ini, yang difasilitasi oleh utusan AS Tom Barrack, memicu kekhawatiran dari kalangan pejabat AS yang melihat Kurdi sebagai sekutu strategis.