Sunday, September 28, 2025
HomeBeritaOPINI - Pengakuan Inggris atas Palestina isyarat lepas dari bayang-bayang AS

OPINI – Pengakuan Inggris atas Palestina isyarat lepas dari bayang-bayang AS

Oleh: Marcos Calenos

Minggu lalu, Inggris secara resmi mengakui Negara Palestina. Keputusan serupa juga diambil oleh Australia, Portugal, dan Kanada.

Langkah ini dilakukan menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang dimulai di New York pada 23 September, di mana Prancis dan Belgia kemudian menyusul dengan mengakui Palestina.

Dalam pengumumannya, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan: “Hari ini, untuk menghidupkan kembali harapan perdamaian bagi warga Palestina dan Israel, serta solusi dua negara, Inggris secara resmi mengakui Negara Palestina.”

Kemungkinan besar, mengingat tidak adanya aktivitas diplomatik yang mengarah ke arah itu, keputusan Inggris lebih bertujuan untuk menyelamatkan solusi dua negara daripada benar-benar menghidupkannya kembali. Meskipun demikian, pesan politik yang disampaikan dari London sangat jelas: perdamaian yang adil, setara, dan berkelanjutan bagi Palestina dan Israel hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara—apa pun pandangan Yerusalem dan Washington saat ini.

Bagi Inggris, keputusan ini sudah sangat terlambat. Negara tersebut, bagaimanapun, memiliki andil besar dalam lahirnya “Persoalan Palestina”, sejak pada tahun 1917 pemerintah Inggris saat itu menyatakan niatnya untuk mendukung pembentukan tanah air bagi orang Yahudi di Palestina melalui Deklarasi Balfour yang terkenal.

Keputusan ini juga datang setelah lebih dari 65.000 warga Palestina tewas di Gaza akibat serangan militer Israel dan pasukan bayaran AS, dan setelah terungkap bahwa—menurut perkiraan militer Israel sendiri (IDF)—sekitar 83 persen korban tersebut kemungkinan besar adalah warga sipil.

Starmer sebenarnya telah mengisyaratkan keputusan ini pada musim panas lalu ketika ia menyatakan bahwa jika Israel tidak memenuhi sejumlah syarat—terutama gencatan senjata di Gaza, serta komitmen untuk tidak mencaplok wilayah Tepi Barat—maka pengakuan terhadap Palestina akan diberikan.

Pemerintah Netanyahu, tentu saja, tidak menunjukkan itikad untuk memenuhi syarat tersebut. Sebaliknya, Israel saat ini sedang melakukan invasi darat besar-besaran ke Kota Gaza, disertai pengusiran warga sipil. Sejumlah anggota pemerintah Israel bahkan secara terbuka menyatakan niat untuk mencaplok Tepi Barat.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, pemerintah Inggris telah memberikan dukungan penuh terhadap aksi militer Israel di Gaza. Hal ini dilakukan baik oleh pemerintahan Konservatif sebelumnya yang dipimpin oleh Rishi Sunak, maupun pemerintahan Partai Buruh yang dipimpin oleh Keir Starmer sejak Juli 2024.

Kedua pemerintahan tersebut menekankan narasi Israel dan “hak membela diri” yang diklaimnya, mengesampingkan pertimbangan hukum internasional, hukum humaniter internasional, serta prinsip proporsionalitas penggunaan kekuatan—yang secara sistematis dilanggar oleh Israel.

Selama lebih dari 18 bulan, korban sipil yang sangat tinggi di pihak Palestina, jumlah jurnalis dan petugas kemanusiaan PBB yang terbunuh, pemindahan paksa penduduk di Gaza, blokade terhadap bantuan kemanusiaan, pembunuhan warga kelaparan yang sedang mengantre makanan, hingga penghancuran besar-besaran infrastruktur vital, tidak menggoyahkan posisi pemerintah Inggris yang dinilai memalukan.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, meningkatnya jumlah korban, tekanan dari opini publik dan masyarakat sipil Inggris, pernyataan awal dari Mahkamah Internasional mengenai dugaan genosida yang dilakukan oleh Israel, serta dakwaan terhadap para pemimpin Israel oleh Mahkamah Pidana Internasional, mulai memengaruhi pertimbangan otoritas Inggris.

Bagi Starmer—yang sebelumnya berprofesi sebagai pengacara sebelum berkarier di politik—akumulasi bukti-bukti hukum yang ada kemungkinan besar sudah tak bisa diabaikan, meskipun ia terus membantah bahwa Israel telah melakukan genosida, di tengah tekanan dari anggota parlemen dari partainya sendiri.

Faktor lain yang mungkin turut memengaruhi adalah laporan dari Komisi Penyelidikan PBB yang dirilis pada 16 September lalu. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa ada alasan kuat untuk menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza.

Oleh karena itu, keputusan Perdana Menteri Inggris ini pantas dipuji sebagai langkah bersejarah.

Tantangan terhadap Amerika Serikat

Fakta bahwa Australia dan Kanada bergabung dengan Inggris bukanlah hal sepele. Ketiga negara tersebut, bersama Amerika Serikat dan Selandia Baru, merupakan bagian dari aliansi intelijen Five Eyes—sebuah kerja sama pengumpulan dan pertukaran intelijen global yang lebih erat bahkan dibandingkan NATO.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut berani menantang Amerika Serikat dalam isu yang sangat sensitif bagi Washington, yaitu dukungan tak tergoyahkan terhadap Israel.

Keputusan Inggris menjadi semakin penting jika dilihat dari konteks hubungan khusus yang telah terjalin selama puluhan tahun antara Inggris dan Amerika Serikat. Selama ini, pemerintah Inggris cenderung mengikuti “aturan tak tertulis” untuk tidak membuat kebijakan luar negeri yang bisa menyulitkan AS, terutama dalam bidang keamanan.

Terakhir kali Inggris berusaha memengaruhi AS terjadi lebih dari dua dekade lalu, saat menjelang perang Irak pada 2003. Saat itu, Perdana Menteri Tony Blair mencoba meyakinkan Presiden George W. Bush untuk mendapatkan mandat PBB guna menggulingkan rezim di Baghdad. Usaha itu gagal, dan Inggris serta AS tetap melanjutkan perang secara ilegal.

Kini, Inggris akhirnya mengakui Negara Palestina—suatu keputusan yang sangat mengganggu pemerintahan Netanyahu, sementara pemerintahan AS yang paling pro-Israel dalam sejarah masih berada di Washington.

Dengan kata lain, Keir Starmer telah menetapkan preseden penting yang bisa menjadi rujukan dalam isu-isu global lainnya.

Dua Tantangan Geopolitik Inggris Selanjutnya

Perdana Menteri Inggris kini menghadapi dua tantangan besar yang bisa menentukan peran dan kepentingan Inggris di panggung global:

  1. Hubungan antara Eropa dan Amerika Serikat, khususnya terkait posisi kontroversial pemerintahan Trump yang menerapkan tarif dagang terhadap negara-negara Eropa.
  2. Hubungan Eropa dengan China, dalam konteks tatanan dunia alternatif yang mulai dibangun oleh Beijing bersama negara-negara BRICS dan anggota Shanghai Cooperation Organisation (SCO), sebagaimana ditunjukkan dalam KTT Tianjin, China, pada 1 September lalu.

Kedua hubungan tersebut menyangkut kepentingan strategis yang jauh lebih besar bagi Inggris.

Yang pertama berkaitan dengan upaya Inggris menjalin kesepakatan dagang dengan AS secara mandiri, serta keberlangsungan aliansi transatlantik dalam menghadapi invasi Rusia ke Ukraina. Di saat yang sama, komitmen AS terhadap pertahanan Eropa kini tampak semakin meragukan.

Yang kedua, menyangkut hubungan dengan kawasan ekonomi yang tumbuh paling cepat di dunia, yaitu China dan negara-negara mitra BRICS. Pasar ekonomi kawasan ini bahkan telah melampaui pasar AS, dan memiliki dampak besar terhadap masa depan ekonomi Eropa.

Menghindari Dikte AS

Dikte Amerika Serikat kepada Eropa—“bersama kami atau bersama China”—adalah pilihan yang harus dihindari oleh Eropa dengan segala cara. Pasalnya, pasar AS tidak akan mampu menampung kerugian ekonomi Eropa jika memutuskan hubungan dagang dengan China.

Sejauh ini, Inggris dan Uni Eropa cukup berhati-hati untuk tidak membuat marah pemerintahan Trump, namun pada saat yang sama juga berusaha tidak secara terbuka memutus hubungan dengan China.

Namun, baik London maupun Brussels perlu mengingat kembali pesan mengerikan yang disampaikan pemerintahan Trump, terkait sejauh mana mereka bisa dipercaya oleh sekutu. Salah satu contohnya adalah ketika Israel melakukan pengeboman di Qatar, negara sekutu utama AS di Teluk, tanpa peringatan.

Mungkin sudah saatnya bagi Inggris untuk mengeksplorasi keuntungan dari otonomi strategis, menjauh dari hubungan “istimewa” yang telah lama terbukti tidak berhasil dengan Amerika Serikat.

AS tampaknya hanya tertarik mengejar kepentingannya sendiri—meskipun itu merugikan sekutu-sekutunya. Belum lagi intervensi terang-terangan dari kelompok sayap kanan AS yang mendukung Donald Trump, yang kini secara aktif terlibat dalam politik Inggris melalui dukungan terhadap Partai Reformasi pimpinan Nigel Farage.

Proses penilaian ulang semacam ini juga perlu dilakukan di Brussels.

Marco Carnelos adalah mantan diplomat Italia. Ia pernah bertugas di Somalia, Australia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia pernah menjabat sebagai staf kebijakan luar negeri tiga perdana menteri Italia antara tahun 1995 dan 2011. Baru-baru ini, ia menjabat sebagai utusan khusus koordinator proses perdamaian Timur Tengah untuk Suriah bagi pemerintah Italia dan, hingga November 2017, duta besar Italia untuk Irak.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler