Sunday, October 5, 2025
HomeBeritaGreta Thunberg diseret tentara Israel dan dipaksa cium bendera penjajah

Greta Thunberg diseret tentara Israel dan dipaksa cium bendera penjajah

Sejumlah aktivis internasional yang dideportasi dari Israel setelah mengikuti misi kemanusiaan ke Gaza menyatakan bahwa aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, mengalami perlakuan buruk saat dalam tahanan pasukan Israel.

Sebanyak 137 orang aktivis yang sebelumnya ditahan oleh otoritas Israel telah tiba di Bandara Istanbul pada Sabtu (4/10/2025), termasuk 36 warga negara Turki serta peserta dari Amerika Serikat, Italia, Malaysia, Kuwait, Swiss, Tunisia, Libya, Yordania, dan beberapa negara lainnya, menurut pejabat Turki.

Jurnalis Turki sekaligus peserta flotilla, Ersin Celik, kepada media lokal mengatakan bahwa ia menyaksikan Thunberg “diseret di tanah” dan “dipaksa mencium bendera Israel” oleh pasukan keamanan. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penyiksaan.

Aktivis asal Malaysia, Hazwani Helmi, serta peserta asal Amerika Serikat, Windfield Beaver, memberikan kesaksian serupa saat tiba di Istanbul. Keduanya mengaku melihat Thunberg didorong dan dipamerkan sambil memegang bendera Israel.

“Itu bencana. Mereka memperlakukan kami seperti binatang,” kata Helmi. Ia menambahkan bahwa para tahanan tidak diberi makanan, air bersih, maupun akses terhadap obat-obatan.

Beaver menyatakan bahwa Thunberg “diperlakukan sangat buruk” dan “digunakan sebagai alat propaganda.” Ia mengenang momen ketika Thunberg didorong masuk ke sebuah ruangan bersamaan dengan kedatangan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir.

Jurnalis Italia, Lorenzo Agostino, yang turut serta dalam misi flotilla, menyebut Thunberg sebagai “perempuan pemberani berusia 22 tahun” dan mengatakan bahwa ia dipermalukan serta “dililit dengan bendera Israel dan dipamerkan seperti trofi.”

Beberapa aktivis lainnya juga menggambarkan kondisi yang buruk selama penahanan. Presenter televisi asal Turki, Ikbal Gurpinar, mengatakan:

“Mereka memperlakukan kami seperti anjing. Kami dibiarkan kelaparan selama tiga hari. Mereka tidak memberi kami air; kami harus minum dari toilet… Hari itu sangat panas, dan kami seperti dipanggang.”

Ia menambahkan bahwa pengalaman itu memberinya pemahaman lebih baik mengenai penderitaan rakyat Gaza.

Aktivis Turki Aycin Kantoglu menceritakan tembok penjara yang berlumuran darah dan penuh dengan coretan nama anak-anak dari tahanan sebelumnya. “Kami melihat para ibu menuliskan nama anak-anak mereka di dinding. Kami merasakan sedikit dari apa yang dialami warga Palestina,” ujarnya.

Anggota parlemen Italia, Arturo Scotto, yang turut dalam rombongan, menyatakan kepada media, “Mereka yang menaiki kapal itu bertindak secara sah. Yang bertindak ilegal adalah mereka yang mencegah kapal-kapal tersebut mencapai Gaza.”

Sementara itu, organisasi hak asasi asal Israel, Adalah, yang memberikan bantuan hukum kepada para tahanan, melaporkan bahwa banyak dari mereka dipaksa berlutut dengan tangan diikat selama berjam-jam, tidak diberi obat, serta dicegah berkomunikasi dengan pengacara.

Namun, Kementerian Luar Negeri Israel membantah seluruh tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya kepada Reuters, juru bicara kementerian menyebut klaim Adalah sebagai “kebohongan total.”

“Semua klaim Adalah adalah kebohongan. Tentu saja, semua tahanan mendapatkan akses terhadap air, makanan, toilet, serta tidak dilarang untuk menghubungi pengacara. Hak hukum mereka sepenuhnya dihormati,” ujar juru bicara tersebut.

Israel menerima kecaman internasional yang semakin luas atas serangannya terhadap misi flotilla tersebut, yang terdiri dari sekitar 40 kapal pembawa bantuan ke Gaza. Sekitar 450 orang ditahan dalam operasi militer itu.

Para pengkritik menyebut insiden tersebut menyoroti pelanggaran hukum atas blokade Israel terhadap Gaza, yang telah memutus akses bagi 2,3 juta penduduk selama perang berlangsung.

Flotilla yang diluncurkan pada akhir Agustus lalu merupakan upaya terbaru dari komunitas internasional untuk menembus pengepungan Gaza dan mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga Palestina.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler