Seorang pejabat senior Hamas, Mousa Abu Marzouq, mengatakan bahwa proses pertukaran tahanan dengan Israel kemungkinan akan dimulai pada Senin (14/10/2025) mendatang, sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza.
“Pertukaran tahanan mungkin dimulai hari Senin,” ujar Abu Marzouq dalam sebuah wawancara televisi, Jumat (10/10/2025).
Ia menegaskan bahwa Hamas tidak berniat untuk mempolitisasi atau menggelar perayaan publik saat proses serah terima tahanan berlangsung.
Tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada Jumat siang pukul 12.00 waktu setempat (09.00 GMT), dalam kerangka rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza.
Mengacu pada dokumen kesepakatan yang dipublikasikan oleh penyiar publik Israel, KAN, Hamas diwajibkan untuk membebaskan seluruh tawanan Israel yang masih hidup dalam waktu 72 jam setelah ratifikasi kesepakatan oleh pihak Israel.
Dokumen tersebut juga mengatur bahwa Hamas harus memberikan informasi menyeluruh terkait tawanan Israel yang telah meninggal kepada sebuah mekanisme bersama yang melibatkan Türkiye, Qatar, Mesir, serta Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
Menurut perkiraan Israel, saat ini masih terdapat 48 tawanan Israel di Gaza, termasuk 20 orang yang dipastikan masih hidup. Sementara itu, lebih dari 11.100 warga Palestina saat ini ditahan di penjara-penjara Israel, di mana mereka dilaporkan mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis. Sejumlah tahanan bahkan dilaporkan meninggal dunia, menurut laporan organisasi hak asasi manusia Palestina dan Israel.
Abu Marzouq mengatakan bahwa Hamas memiliki banyak “kartu tawar-menawar” dalam isu pertukaran tahanan, dan menilai bahwa isu ini telah dijadikan dalih oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk melanjutkan agresi militer di Gaza.
Ia juga mengungkapkan bahwa Hamas sedang bekerja sama dengan mediator internasional guna mengatasi hambatan yang ada dan mendorong pembebasan para pemimpin Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Terkait posisi pasukan Israel di Gaza, Abu Marzouq menyebut bahwa militer Israel telah mundur ke apa yang disebut sebagai “garis kuning”, namun masih menguasai sekitar 53 persen wilayah Jalur Gaza.
“Garis penarikan yang ditetapkan pihak pendudukan tidak akurat dan ditentukan secara sepihak,” ujarnya. “Hamas tidak akan menerima keberadaan Israel di wilayah mana pun yang saat ini mereka kuasai.”
Ia juga mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah mengirimkan pasukan untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata. Namun, pasukan tersebut tidak akan ditempatkan di dalam wilayah Gaza, melainkan tetap berada di wilayah Israel.
Tahap selanjutnya, menurut Abu Marzouq, akan difokuskan pada “proyek nasional” serta pembahasan kemungkinan pengerahan pasukan penjaga perdamaian di Gaza dan Tepi Barat.
Seruan untuk Persatuan Nasional Palestina
Lebih jauh, Abu Marzouq menyerukan kepada Otoritas Palestina untuk menggelar pertemuan nasional yang menyeluruh guna mencapai konsensus terkait isu-isu strategis bangsa Palestina. Ia menegaskan bahwa persatuan nasional adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis berkepanjangan yang melanda Palestina.
Ia menambahkan bahwa Hamas menerima rencana gencatan senjata yang digagas Presiden Trump demi menjaga kepentingan tertinggi rakyat Palestina.
“Hamas tidak akan menentukan nasib rakyat Palestina sendirian — keputusan ini harus bersifat kolektif dan berdasarkan konsensus nasional penuh,” tegasnya.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada Rabu lalu bahwa Israel dan Hamas telah menyepakati fase pertama dari rencana 20 poin yang ia sampaikan pada 29 September 2025. Rencana tersebut mencakup penghentian tembakan, pembebasan seluruh tawanan Israel yang ditahan Hamas, pertukaran dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina, serta penarikan bertahap pasukan Israel dari seluruh Jalur Gaza.
Pada tahap kedua, rencana tersebut mengusulkan pembentukan mekanisme pemerintahan baru di Gaza tanpa keterlibatan Hamas, pembentukan pasukan keamanan gabungan yang terdiri dari warga Palestina serta tentara negara-negara Arab dan Islam, serta proses perlucutan senjata Hamas.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan hampir 67.200 warga Palestina, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Wilayah tersebut kini nyaris tidak layak huni.