“Seolah-olah gempa bumi telah menghancurkan Kota Gaza. Reruntuhan memenuhi setiap jalan, sehingga hampir mustahil untuk berjalan kaki, apalagi melintas dengan mobil,” kata dr. Muhammad Muslim, seorang dokter spesialis mata asal Gaza.
Ia menggambarkan kondisi kotanya dalam wawancara dengan harian Prancis Le Monde, setelah berakhirnya perang yang telah melanda Jalur Gaza selama dua tahun penuh.
Menurut laporan Le Monde, dr. Muslim (40 tahun) tampak tertegun dan tak percaya ketika pertama kali melangkahkan kaki kembali ke kotanya.
“Itulah perasaan yang dialami semua orang yang kembali ke Gaza—tetangga, teman, atau kerabat,” ujarnya dalam percakapan lewat sambungan telepon dengan koran tersebut.
Sekitar sebulan sebelumnya, dr. Muslim terpaksa meninggalkan rumahnya di Gaza bersama istri dan tiga anaknya, setelah rentetan serangan udara Israel tak kunjung berhenti.
Mereka mencari perlindungan di kawasan yang dianggap lebih aman. Namun, gempuran baru kembali datang, memaksa keluarga itu pergi lagi.
“Kami meninggalkan rumah dengan hati yang hancur dan dengan perasaan bahwa kami mungkin tidak akan pernah melihat kota kami lagi,” tuturnya.
Akhirnya, keluarga itu menyewa sebuah apartemen kecil di Deir al-Balah, di wilayah tengah Gaza.
Biayanya sangat mahal, tetapi mereka tak punya pilihan lain. Bersamanya tinggal pula kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia dan membutuhkan perawatan medis rutin.
Beberapa minggu kemudian, setelah diumumkannya gencatan senjata sementara, dr. Muslim memutuskan kembali ke Gaza dengan berjalan kaki, bergabung dengan ribuan pengungsi lain yang ingin pulang.
Namun setibanya di sana, ia mendapati pemandangan yang tak mampu ia bayangkan sebelumnya: kota yang luluh lantak, jalan-jalan yang tertimbun puing, dan bangunan yang rata dengan tanah.
“Bagaimana kami bisa memperbaiki semua ini tanpa semen? Dalam kondisi seperti apa kami akan hidup di rumah kami? Ke mana akan kembali mereka yang rumahnya sudah tak ada?” tanyanya lirih.
Dr. Muslim dengan tegas mengecam kebijakan hukuman kolektif dan pembersihan etnis yang dijalankan Israel di Jalur Gaza.
Ia menyebut apa yang terjadi sebagai “genosida yang berlangsung dua tahun penuh”, yang menurutnya telah menewaskan lebih dari 67.000 orang Palestina.
“Apa kesalahan penduduk Gaza hingga mereka harus mengalami pengusiran, kehancuran, dan pemboman seluas ini?” tanyanya.
Baginya, angka-angka itu bukan sekadar statistik. Di antara korban jiwa, dr. Muslim teringat rekan-rekan sesama tenaga medis yang tewas di tengah tugas, serta pasien-pasien yang pernah ia rawat dan kini telah tiada.
“Dalam percakapan kami antar teman,” katanya kepada Le Monde,
Mereka sering mengatakan bahwa setelah perang tersebut, akan ada pertempuran baru yang menanti mereka.
“Bukan pertempuran dengan senjata, melainkan pertempuran untuk mengatasi penderitaan besar yang kami alami, untuk menyembuhkan kesedihan atas orang-orang yang kami cintai, dan untuk membangun kembali Gaza. Itu juga pertempuran untuk memperjuangkan hak-hak kami, agar kami tidak lagi hidup di bawah blokade, dan untuk mengembalikan kehidupan kami ke jalurnya yang normal,” ungkapnya.
Tenaga medis: Barisan yang juga jadi target
Seperti dilaporkan otoritas kesehatan Palestina, hingga Agustus lalu, dua pertiga rumah sakit di Gaza telah berhenti beroperasi akibat rusaknya infrastruktur dan kekurangan bahan medis.
Peralatan diagnosis dan operasi sangat terbatas, sementara obat-obatan penting menghilang dari rak-rak apotek.
Kondisi ini membuat lebih dari 300.000 penderita penyakit kronis berada di ambang kematian, menghadapi kelaparan dan penyakit tanpa perawatan yang memadai.
Kementerian Kesehatan di Gaza mencatat, sejak awal perang, sedikitnya 6.758 penderita penyakit kronis meninggal dunia karena terputusnya pasokan obat atau penolakan izin keluar untuk berobat di luar negeri.
Selain itu, selama tahun berjalan tercatat 28.000 kasus malnutrisi, dan sekitar 500 orang setiap hari masuk rumah sakit akibat komplikasi kelaparan.
Namun bencana tak hanya menimpa para pasien. Sektor kesehatan sendiri menjadi sasaran langsung serangan Israel.
Menurut data Kementerian Kesehatan, 1.590 tenaga medis gugur, di antaranya 157 dokter.
Selain itu, 361 tenaga medis ditangkap, dan 150 orang masih ditahan hingga kini, termasuk 88 dokter.