Friday, October 17, 2025
HomeBeritaSaudi dan UEA Absen di KTT Gaza: Isyarat kuat persaingan Arab

Saudi dan UEA Absen di KTT Gaza: Isyarat kuat persaingan Arab

 

Di KTT Gaza yang digelar di Sharm el‑Sheikh, Mesir, ketika Donald Trump dan Abdel-Fattah el‑Sisi mengundang para pemimpin dunia untuk meresmikan gencatan senjata Gaza, ada dua ketidakhadiran yang mencolok: Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan Presiden UEA Mohammed bin Zayed.

Ketidakhadiran mereka merupakan sinyal kuat bahwa raksasa Teluk Arab tersebut enggan memberikan Mesir panggung prestise tunggal, menurut sumber dari Arab Saudi, UEA, dan Mesir yang diwawancarai Middle East Eye.

KTT yang diselenggarakan di resor Laut Merah itu dipimpin bersama oleh Presiden Mesir dan Amerika Serikat, dan menyoroti peran penting—serta kontroversial—yang dimainkan Mesir dalam konflik Gaza.

Mesir selama ini sering menjadi tempat berlangsungnya perundingan antara pihak-pihak terkait, bahkan dalam dua tahun terakhir, dan bertindak sebagai mediator bersama negara-negara seperti Qatar.

Namun pada saat yang sama, Mesir juga dianggap turut ambil bagian dalam pengepungan Gaza karena Israel menutup perlintasan Rafah antara Jalur Gaza dan semenanjung Sinai Mesir, yang memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.

Di dalam negeri, otoritas Mesir juga sekian lama membungkam ekspresi solidaritas terhadap rakyat Palestina yang diserang di Gaza.

Ketegangan akibat perang Gaza juga terasa di kawasan Teluk, di mana hubungan rahasia dengan Israel harus diseimbangkan dengan kemarahan publik terhadap apa yang dianggap genosida terhadap Palestina. Sebagai negara terkaya di kawasan tersebut, Arab Saudi dan UEA diharapkan membiayai sebagian besar bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza.

Pejabat Saudi dan Emirat berargumen bahwa karena mereka akan menanggung beban finansial tersebut, maka mereka juga berhak menentukan arah masa depan Gaza.

Seorang diplomat Mesir yang dekat dengan kepresidenan mengatakan kepada MEE bahwa dengan mengutus menteri ketimbang penguasa mereka, Riyadh dan Abu Dhabi menandakan keengganan memberikan panggung lebih besar kepada Mesir. Diplomat ini berbicara dengan syarat anonim demi keamanan.

“Mesir telah beberapa minggu berada di sorotan internasional sebagai mediator dari pembicaraan tak langsung yang mengarah ke gencatan senjata yang rapuh,” katanya.

“Sementara di Riyadh dan Abu Dhabi, sorotan itu memicu frustrasi. Kedua pemerintah merasa layak mendapat pengakuan atas bantuan mereka merintis kesepakatan, terutama karena pengaruh mereka terhadap Washington.”

Dengan militer besar yang didukung AS, populasi besar, hubungan dengan Israel, serta posisi geografis di antara Timur Tengah dan Afrika dan berbatasan langsung dengan Palestina, Mesir secara tradisional dianggap sebagai kekuatan Arab utama.

Namun posisi itu melemah dalam beberapa dekade terakhir seiring negara-negara Teluk Arab tumbuh kaya dan berpengaruh, sementara ekonomi Mesir menghadapi tekanan berat.

Sejak Sisi berkuasa pada 2013 melalui kudeta militer menggulingkan Presiden terpilih Mohamed Morsi, Arab Saudi dan UEA menjadi sekutu utama Mesir, memberikan dukungan politik dan ekonomi substansial.

Dalam pandangan negara-negara Teluk, Mesir kini terkesan sebagai mitra junior dalam tatanan Arab.

Lebih dari sekadar perebutan prestise, ketegangan soal Gaza juga mencerminkan perbedaan ideologi. Baik Saudi maupun UEA telah lama memandang Hamas dengan kecurigaan, melihat gerakan itu sebagai simbol perlawanan Islam yang bisa memicu aktivisme di dalam negeri mereka sendiri.

Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, telah meluncurkan reformasi sosial yang mengguncang unsur tradisional konservatif Saudi, dan daya tarik Hamas—yang didasari agama, pemberontakan, dan legitimasi populer—menjadikannya lawan alami bagi rezim yang tengah meliberalisasi.

Menurut seorang sumber senior Saudi yang dekat dengan istana, kerajaan khawatir bahwa kisah Hamas dapat menggaung di kalangan warga Saudi yang mulai mempertanyakan arah liberalisasi negaranya.

“Intinya, kedua negara Teluk frustrasi dengan cara negosiasi diselesaikan, terutama karena gencatan senjata gagal melumpuhkan Hamas sepenuhnya,” tambah sumber tersebut.

“Mereka melihat keberadaan Hamas, meskipun tidak lagi memerintah Gaza, sebagai bom waktu.”

Begitu pula UEA, yang selama bertahun-tahun memimpin kampanye regional melawan Islam politik, menyerang kelompok seperti Ikhwanul Muslimin hingga Hamas yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara dan monarki.

“UEA melihat kelangsungan Hamas sebagai preseden berbahaya,” kata seorang sumber Emirat dekat penguasa. “Riyadh dan Abu Dhabi bersama-sama menolak setiap gencatan yang memungkinkan Hamas bertahan.”

Berdasarkan sumber MEE, Mohammed bin Salman telah berupaya menampilkan diri sebagai “penengah perdamaian dunia Arab”—seorang pemimpin modern yang bisa membawa stabilitas setelah bertahun-tahun kerusuhan regional. “Padahal, sorotan jatuh ke Kairo,” ujar salah satu sumber Saudi. “Itu sulit diterima.”

Tidak hadirnya para pemimpin Teluk di KTT tidak luput dari perhatian Mesir. Otoritas di Kairo diam-diam khawatir hal ini akan menambah beban pada hubungan yang sudah rapuh akibat tantangan ekonomi dan pergeseran aliansi regional — bahkan Saudi dan UEA pun belakangan mengalami ketegangan karena persaingan di kawasan.

Ketidakhadiran mereka menyampaikan pesan diplomatik yang kuat: bahwa kedua ibukota tidak puas dengan cara Mesir menangani isu Gaza, terutama Riyadh, kata diplomat Mesir tersebut.

Sementara tokoh luar negeri penting seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer hadir ke Mesir, representasi negara-negara Arab tampak lesu — Oman, Suriah, dan Lebanon hanya mengirim delegasi tanpa pemimpinnya.

“Itu adalah pernyataan diplomatik,” kata seorang pakar keamanan Timur Tengah.

“Ini menunjukkan bagaimana dunia Arab terpecah: antara skeptisisme terhadap rencana AS, kekhawatiran normalisasi Israel tanpa keadilan bagi Palestina, dan kebutuhan menahan kemarahan publik sembari menjaga hubungan dengan Barat.”

Seorang analis berbasis di Kairo mengatakan bahwa “tanpa posisi Arab yang bersatu, setiap kesepakatan yang muncul dari Sharm el-Sheikh berisiko dilihat sebagai hasil intervensi asing, bukan inisiatif kawasan”.

“KTT ini seharusnya menunjukkan Mesir kembali mengambil komando,” kata analis itu, “tapi kursi kosong para pemimpin Teluk justru mengisyaratkan narasi lain: tentang kebanggaan, politik, dan rivalitas yang tak usai.”

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler