Harian Haaretz menyoroti langkah aneh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang memutuskan untuk menjadikan agenda pertama kabinetnya setelah berakhirnya perang di Gaza sebagai pembahasan soal nama perang.
Menurut surat kabar itu, keputusan ini “mengungkap betapa jauhnya jarak antara kepemimpinan politik dan kenyataan di lapangan”, serta memperlihatkan kelanjutan dari perang narasi yang terus digalang Netanyahu sejak 7 Oktober 2023.
Dalam kolomnya, Yossi Verter, redaktur urusan politik Haaretz, menulis bahwa rapat kabinet yang membahas pergantian nama perang dari “Pedang Besi (Iron Swords)” menjadi “Perang Kebangkitan” atau “Perang Kebangkitan Bangsa” hanyalah “upaya baru untuk menjual kegagalan sebagai kemenangan, dan kekalahan sebagai kebangkitan nasional.”
Pertempuran atas ingatan
Menurut Verter, Netanyahu “tidak menginginkan komisi penyelidikan, tetapi komisi penamaan.”
Tujuan dari langkah ini, katanya, adalah menghapus jejak salah satu kegagalan terbesar dalam sejarah modern Israel.
“Bagi Netanyahu, lebih mudah mengganti nama perang ketimbang menghadapi hasilnya. Bagi dia, sejarah bukanlah catatan fakta, melainkan ruang yang bisa ditulis ulang sesuai kebutuhan politiknya,” tulis Verter,
Langkah itu, lanjutnya, diambil dua tahun setelah perang dimulai, ketika lebih dari 100 ribu warga Israel masih mengungsi, sementara sejumlah tawanan masih ditahan atau telah tewas di tangan Hamas.
Namun, alih-alih mencari solusi, pemerintah justru sibuk memoles nama dan slogan.
Verter membandingkan situasi ini dengan Perang Yom Kippur 1973, yang juga disertai kehancuran besar dan kegagalan intelijen.
“Ketika itu, tak seorang pun terpikir untuk mengubah nama perang atau menghiasinya dengan istilah heroik. Perang Yom Kippur tetaplah Perang Yom Kippur, dan akan selalu dikenang seperti itu,” imbuhnya.
Kini, katanya, pemerintahan Netanyahu berusaha mengganti kata ‘bencana’ menjadi ‘kebangkitan’, seolah permainan kata dapat menghapus penderitaan dan kemarahan rakyat.
Usul Netanyahu untuk menyebut perang itu sebagai “Perang Kebangkitan” mencerminkan upaya mengubah 7 Oktober dari hari kehancuran menjadi mitos penebusan nasional, meskipun bagi banyak warga Israel, hari itu justru disebut sebagai “Hari Holocaust Sipil.”
Menghindar dari tanggung jawab
Verter menilai perang yang pada awalnya diklaim sebagai “perang sah” lambat laun berubah menjadi “perang penyesatan dan kelalaian”—dan pada akhirnya, “perang Netanyahu sendiri.”
“Para tawanan yang bisa diselamatkan dibiarkan menderita di terowongan. Karena Netanyahu tidak mau mengakhiri perang. Puluhan ribu pengungsi tidak menerima bantuan yang dijanjikan, sementara pemerintah sibuk dengan pertempuran medianya sendiri,” tulisnya.
Menjadikan rapat kabinet pertama setelah perang sebagai forum membahas “perubahan nama” alih-alih membuka penyelidikan resmi, menurut Verter, bukanlah kebetulan melainkan strategi.
Netanyahu tahu bahwa penyelidikan apa pun pada akhirnya akan sampai padanya.
“Karena itu, ia memilih berbicara tentang kata-kata, bukan keputusan; tentang istilah, bukan nyawa yang hilang akibat kelalaian,” ujarnya.
Dengan nada sinis, Verter menulis bahwa rapat itu akan menjadi “panggung untuk pujian yang terorganisir”.
Netanyahu akan mulai dengan menyanjung lembaga keamanan yang dulu ia serang, dan para menteri akan bergiliran menyanyikan “paduan suara pembenaran dan loyalitas.”
Ia menambahkan, gaya pemerintahan Netanyahu dalam menghindari tanggung jawab “layak diajarkan di buku-buku tentang sistem otoriter.”
Ia menunjuk pada kampanye hasutan terhadap keluarga para tawanan, pengucilan keluarga korban dari upacara resmi, serta penyebaran rumor terhadap perwira militer, sebagai bagian dari upaya membungkam kritik dan memperkuat narasi resmi pemerintah.
Perang kelalaian
Verter juga menulis bahwa Netanyahu kini mulai kehilangan kendali bahkan di panggung internasional.
Program 60 Minutes di Amerika menayangkan laporan yang memperlihatkan rasa frustrasi para utusan AS, Steve Witkoff dan Jared Kushner, yang merasa “dikhianati” oleh Netanyahu setelah ia menyerang tim perunding Palestina di Doha.
“Ungkapan ‘pengkhianatan’, kini juga diucapkan oleh jutaan warga Israel yang menyadari bahwa perang ini bukanlah perang pertahanan, melainkan perang kelalaian,” tulis Verter.
Bahkan Donald Trump, sekutu terdekat Netanyahu, dikatakan telah menunjukkan ketidaksenangannya, bukan hanya melalui komentar publik.
Tetapi juga lewat bocoran informasi yang memperlihatkan siapa sebenarnya yang menekan agar perang segera diakhiri.
“Netanyahu boleh mengganti nama perang sesukanya, tetapi ia tidak akan mampu mengubah hakikatnya. Sejarah akan menuliskannya dengan nama yang layak: Perang Kelalaian,” tutup Verter.