Kemenangan Zahran Mamdani dalam pemilihan wali kota New York menandai babak baru dalam politik Amerika Serikat (AS), sekaligus membuka luka lama di tubuh komunitas Yahudi Amerika sendiri.
Menurut analisis Reuters, hasil ini mengungkap jurang yang kian melebar antara pemilih Yahudi dari kalangan Demokrat tradisional dan generasi muda progresif yang semakin kritis terhadap Israel.
Dalam kota yang dikenal memiliki populasi Yahudi terbesar di luar Israel, pergeseran ini berpotensi mengubah peta politik untuk waktu yang lama.
Mamdani, seorang sosialis dari Partai Demokrat dan putra imigran Uganda–India yang beragama Islam, berhasil memanfaatkan gelombang kemarahan terhadap perang Israel di Gaza.
Banyak warga, termasuk sebagian Yahudi Amerika, yang awalnya mendukung operasi militer Israel, berbalik arah setelah menyaksikan dampak kemanusiaan yang menghancurkan.
Data jajak pendapat keluar dari tempat pemungutan suara menunjukkan bahwa hampir sepertiga pemilih Yahudi memilih Mamdani.
Angka yang mencengangkan mengingat kecenderungan komunitas ini untuk mendukung kandidat pro-Israel.
Dukungan tersebut menjadi faktor penting dalam kemenangan Mamdani dan sekaligus memicu kepanikan di kalangan kelompok Yahudi konservatif yang tak terbiasa berada di kubu yang kalah.
Tak lama setelah kemenangan itu diumumkan, Anti-Defamation League (ADL) —salah satu organisasi Yahudi paling berpengaruh di AS— meluncurkan apa yang disebutnya “Mamdani Watch”.
Sebuah inisiatif untuk memantau kebijakan sang wali kota, termasuk penunjukan pejabat dan keputusan administratif, dengan alasan “melindungi komunitas Yahudi dari potensi bahaya”.
Respons politik pun tidak kalah tajam. Presiden Donald Trump, yang kini tengah bersiap menghadapi pemilu berikutnya, menuding bahwa “setiap pemilih Yahudi yang mendukung Mamdani adalah orang bodoh.”
Namun di balik kecaman dan ketakutan itu, muncul pula suara-suara Yahudi progresif yang memandang kemenangan Mamdani sebagai cermin dari kenyataan baru: komunitas Yahudi Amerika tidak lagi berbicara dalam satu suara.
“Dukungan saya untuk Mamdani bukan meskipun sikapnya terhadap Israel dan Palestina, tetapi karena sikap itu, mengecam genosida bukanlah tindakan berisiko, melainkan kewajiban moral,” kata Roni Zahavi Brunner (26), warga Israel yang aktif dalam kampanye Mamdani.
Di sisi lain, ada pula yang memilih bertahan di garis lama. Alison Devlin (50), warga Yahudi yang memilih kandidat independen Andrew Cuomo karena dukungannya terhadap Israel, mengaku “kecewa dan cemas karena identitas saya sebagai Yahudi dan Zionis kini terasa terancam.”
Namun bagi banyak anak muda Yahudi di New York, seperti Corrine Greenblatt (27), kemenangan Mamdani justru menunjukkan kematangan baru dalam politik komunitas.
“Ia berani berbicara dengan berbagai kelompok dalam masyarakat Yahudi, bahkan yang tidak sependapat dengannya. Itu hal yang jarang dilakukan,” ujarnya.
Greenblatt menilai perang di Gaza telah mengubah lanskap politik Yahudi Amerika secara mendasar.
“Kini jelas terlihat: ada Yahudi yang pro-Palestina, ada yang pro-Israel, dan ada pula yang tidak memiliki keterikatan emosional sama sekali dengan Israel,” katanya.
Rabbi Andrew Kahn dari Brooklyn menambahkan bahwa Mamdani berkali-kali menegaskan komitmennya untuk memerangi antisemitisme.
“Kita perlu memberi dia kesempatan untuk membuktikan komitmen itu, dan bersama-sama membangun jembatan solidaritas antar-komunitas agar kota ini lebih aman bagi semua warganya,” katanya.
Kemenangan Mamdani, dengan segala kontroversinya, bukan sekadar pergantian kepemimpinan di New York.
Ia menandai pergeseran ideologis yang lebih dalam—bahwa dukungan terhadap Israel tidak lagi menjadi tolok ukur tunggal kesetiaan politik, bahkan di jantung komunitas Yahudi dunia.
Apakah ini awal dari melemahnya dominasi lobi Zionis di Amerika, atau sekadar anomali sesaat dalam sejarah panjang politik AS.
Jawabannya mungkin akan ditentukan oleh cara Mamdani memerintah, dan sejauh mana ia mampu menjembatani jurang yang kini terbuka lebar di antara warga kotanya sendiri.


