Di salah satu titik paling genting sepanjang lebih dari tujuh dekade keberadaannya, Badan PBB untuk Bantuan dan Pekerjaan bagi Pengungsi Palestina (UNRWA) tengah menghadapi ancaman eksistensial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ancaman ini menyentuh inti mandat dan alasan pendiriannya, menempatkan lebih dari lima juta pengungsi Palestina dalam ketidakpastian.
Laporan internal PBB yang bocor menunjukkan sejumlah skenario yang sedang dipertimbangkan.
mulai dari reformasi administratif terbatas hingga pembubaran bertahap lembaga ini, bahkan kemungkinan pengalihan wewenangnya kepada pihak lain, termasuk negara-negara tuan rumah atau lembaga internasional pengganti.
Namun di balik istilah “reformasi” itu, tersembunyi pertarungan yang jauh lebih dalam.
Sejumlah pakar politik dan hukum memperingatkan, upaya ini pada hakikatnya adalah langkah untuk mendefinisikan ulang siapa yang disebut “pengungsi Palestina”.
Proyek tersebut, kata mereka, berupaya mengubah hak historis untuk kembali ke tanah air—yang bersifat politik dan kolektif—menjadi sekadar urusan kemanusiaan yang bersifat administratif.
Pengungsi tidak lagi dipandang sebagai bagian dari kelompok dengan hak politik yang diakui dunia, melainkan sebagai individu yang butuh bantuan sementara.
UNRWA didirikan pada Desember 1949 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 302 untuk memberikan bantuan dan pekerjaan bagi pengungsi Palestina yang terusir akibat perang 1948.
Sejak itu, lembaga ini menjadi payung internasional bagi para pengungsi Palestina dan keturunan mereka, menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial di wilayah operasi utamanya: Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Mandat UNRWA bersifat unik. Ia bukan sekadar badan kemanusiaan, melainkan simbol pengakuan dunia atas hak kolektif para pengungsi Palestina.
Terutama hak untuk kembali, sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB Nomor 194 tahun 1948.
Reformasi atau penggantian?
Menurut Direktur Pusat Studi Palestina “Badil”, Nidal al-Azza, bahaya utama yang mengintai UNRWA bukan hanya kekurangan dana, melainkan upaya sistematis dari Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk menggantinya dengan lembaga lain—baik internasional maupun lokal.
“Apa yang sedang dibicarakan hari ini bukanlah reformasi administratif, melainkan upaya memecah UNRWA dan menjadikannya payung kosong tanpa substansi politik dan hukum. Tujuannya jelas: mencabut status internasional pengungsi Palestina dan menghapus dimensi politik dari persoalan mereka,” ujar al-Azza kepada Al Jazeera Net.
Ia menjelaskan, salah satu skenario dalam evaluasi strategis PBB mencakup pemindahan kewenangan UNRWA ke negara-negara tuan rumah seperti Yordania, Lebanon, dan Suriah.
“Langkah itu berarti mengakhiri status internasional persoalan pengungsi dan menjadikannya masalah administratif lokal yang bergantung pada kebijakan serta pendanaan regional,” katanya.
Israel, tambahnya, mendasarkan langkahnya pada Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, dengan dalih bahwa tanggung jawab terhadap pengungsi Palestina dapat dialihkan ke Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Namun, Pasal 1(D) konvensi itu secara tegas mengecualikan pengungsi Palestina selama mereka masih menerima bantuan dari lembaga PBB lain—yakni UNRWA.
“Upaya menerapkan Konvensi 1951 terhadap pengungsi Palestina berarti mengubah esensi identitas hukum mereka. Alih-alih dipandang sebagai pengungsi politik akibat penjajahan yang terus berlangsung, mereka akan diperlakukan sebagai individu yang sekadar mencari tempat tinggal atau pemukiman permanen alternatif,” ujar al-Azza.
Menurutnya, perubahan itu akan menguntungkan proyek politik AS-Israel yang bertujuan melemahkan hak untuk kembali dan menghapus dimensi politik kolektif dari persoalan pengungsi.
Proyek politik yang lebih luas
Bagi Pusat Badil, upaya “penggantian sistematis” UNRWA tak bisa dilepaskan dari proyek politik yang lebih besar untuk menghapus isu pengungsi dari meja perundingan akhir konflik.
Bagi Israel, kata al-Azza, UNRWA adalah simbol keberlangsungan masalah pengungsi dan dianggap sebagai hambatan bagi setiap kesepakatan damai yang tidak menghapus hak kembali.
Sementara Washington dan sejumlah negara donor Eropa mengedepankan retorika “reformasi dan transparansi”.
Substansinya, menurut al-Azza, adalah mengikis peran politik UNRWA dan menjadikannya sekadar penyedia layanan kemanusiaan.
Guru besar hukum internasional di Universitas Arab Amerika, Dr. Raed Abu Badawieh, menilai bahwa penggantian UNRWA dengan sistem perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi 1951 bertujuan “menghapus status kolektif pengungsi Palestina dan mengubahnya menjadi status pengungsi individual yang bersifat teknis dan kemanusiaan”.
Sejak pendiriannya pada 1949, kata Abu Badawieh, UNRWA telah menjadi wadah internasional yang menjaga identitas kolektif pengungsi Palestina.
Hal itu sekaligus menegaskan pengakuan masyarakat internasional atas hak historis dan politik mereka untuk kembali, berdasarkan Resolusi PBB Nomor 194.
“Jika mandat UNRWA dialihkan ke Konvensi 1951, maka pengakuan internasional atas hak kembali secara kolektif akan hilang. Tekanan politik terhadap Israel untuk menyelesaikan akar masalah pengungsi juga akan melemah,” ujarnya.
Ia menambahkan, Israel ingin menciptakan legitimasi internasional bagi kebijakan pemukiman kembali pengungsi di negara ketiga.
Suatu cara untuk mengurangi tanggung jawab hukumnya terhadap pengungsi tanpa perlu mengakui hak mereka untuk kembali.
Di saat yang sama, penghapusan UNRWA akan melemahkan salah satu instrumen diplomatik utama yang selama ini menjaga agar isu Palestina tetap berada di agenda PBB.
Ancaman lembaga pengganti
Sejumlah laporan juga menyebutkan skenario pembentukan lembaga-lembaga lokal atau internasional baru yang berfokus pada bantuan harian tanpa membawa mandat politik atau representatif.
Salah satu contohnya adalah “Gaza Humanitarian Foundation”, lembaga lokal yang beroperasi di Jalur Gaza dalam beberapa bulan terakhir.
Ribuan orang yang mengantre bantuan di sana dilaporkan tewas akibat serangan selama perang.
Para pakar menilai, ketergantungan pada lembaga-lembaga lokal semacam itu tak akan mampu menggantikan peran politik dan hukum UNRWA.
Juru bicara UNRWA, Adnan Abu Hasna, menegaskan kepada Al Jazeera Net bahwa menggantikan UNRWA dengan lembaga apa pun adalah hal yang mustahil.
“Kami memiliki sekitar 12 ribu pegawai tetap dan ribuan pekerja kontrak. Kami adalah penyedia utama layanan dasar bagi pengungsi Palestina di Gaza,” ujarnya.
Ia menambahkan, meski menghadapi tekanan berat, UNRWA tetap menjalankan misinya.
Upaya untuk memindahkan tanggung jawabnya ke lembaga lokal, menurutnya, “tidak pernah berhasil di lapangan.”
Pengalaman panjang, infrastruktur luas yang mencakup bidang kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial membuat lembaga ini tak tergantikan.
Di persimpangan sejarah
UNRWA kini berada di salah satu fase paling krusial dalam sejarahnya sejak 1949. Pada Desember mendatang, Majelis Umum PBB akan kembali melakukan pemungutan suara untuk memperpanjang mandat lembaga ini selama tiga tahun.
Menjelang momen tersebut, tekanan politik dan kampanye media terhadap UNRWA semakin meningkat, terutama dari AS dan Israel, yang berusaha menggoyang legitimasi internasionalnya.
Direktur Jenderal “Komite 302 untuk Pembelaan Hak Pengungsi”, Ali Huwaidi, menilai bahwa serangan politik dan finansial terhadap UNRWA merupakan bagian dari strategi bersama AS dan Israel untuk melumpuhkannya.
“Mereka ingin mengeringkan sumber daya lembaga ini dengan menuduhnya berpihak secara politik,” ujarnya.
Ia mencontohkan tuduhan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio yang menyebut UNRWA “berafiliasi dengan Hamas”.
Menurut Huwaidi, tuduhan itu tak memiliki dasar hukum dan dimaksudkan untuk menakut-nakuti para donor agar menghentikan pendanaan dan menolak memperpanjang mandat UNRWA.
Laporan independen yang dirilis PBB dan Uni Eropa telah menepis tuduhan tersebut. Pada April lalu, laporan Komisi Investigasi Independen yang dipimpin mantan Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna menegaskan bahwa UNRWA mematuhi standar netralitas dan transparansi.
Tidak ada bukti kredibel yang menunjukkan keterlibatan staf UNRWA dalam kegiatan politik atau militer.
Laporan itu juga mengutip pendapat Mahkamah Internasional yang menekankan bahwa UNRWA memainkan “peran vital yang tak tergantikan” dalam memberikan layanan kemanusiaan bagi rakyat Palestina, dan bahwa penghentian operasinya akan menimbulkan bencana kemanusiaan.
Menurut Huwaidi, serangan terhadap UNRWA bukanlah fenomena baru pasca 7 Oktober 2023.
“Ini merupakan kelanjutan dari kebijakan Israel yang sudah lama berupaya mencabut legitimasi lembaga ini secara perlahan. Israel tahu, UNRWA bukan sekadar lembaga bantuan, melainkan simbol hukum dan politik bagi kelangsungan isu pengungsi dan hak mereka untuk kembali,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pernah menyatakan secara terbuka di awal perang Gaza bahwa “UNRWA tidak akan menjadi bagian dari tatanan hari setelah perang”.
Sebuah sinyal jelas bahwa Israel ingin menggantikan lembaga ini dengan entitas lain yang selaras dengan visi AS-Israel—yang memisahkan antara bantuan kemanusiaan dan hak untuk kembali.
Upaya mencabut legitimasi
Sejak pecahnya perang di Gaza pada 2023, serangan politik dan media terhadap UNRWA meningkat tajam.
Pada 2024, Knesset (parlemen Israel) bahkan mengesahkan undang-undang yang melarang aktivitas UNRWA di wilayah Israel.
Sementara itu, Washington dan sejumlah negara donor utama membekukan pendanaan dengan alasan “menyelidiki dugaan keterlibatan staf UNRWA” dalam serangan 7 Oktober.
Analis urusan Israel, Muhammad Hallasah, menilai Israel tengah memanfaatkan tuduhan itu untuk menstigmatisasi UNRWA.
“Mereka ingin menggambarkannya sebagai ancaman keamanan agar lembaga ini kehilangan legitimasi internasional,” katanya.
Menurutnya, jika skenario yang sedang disiapkan di sejumlah pusat kekuasaan Barat dan Israel benar-benar dijalankan, maka jutaan pengungsi Palestina di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan Yordania akan kehilangan payung perlindungan PBB.
Hal itu berarti berakhirnya satu babak panjang pengakuan internasional atas hak dan tragedi mereka.
Apa yang tengah berlangsung bukan sekadar krisis keuangan atau perdebatan administratif, melainkan pergeseran politik yang mendalam: upaya untuk menghapus makna politik dari istilah “pengungsi Palestina”.
Di balik jargon efisiensi dan reformasi, tersembunyi rencana untuk menulis ulang sejarah dan mengubah hak kembali menjadi sekadar isu kemanusiaan tanpa substansi politik.
Jika perubahan ini benar-benar terjadi, yang hilang bukan hanya mandat UNRWA. Dunia akan kehilangan satu-satunya wadah hukum yang mewakili pengakuan internasional atas Nakba—tragedi pengusiran 1948.
Dan bagi jutaan pengungsi Palestina, itu berarti bukan sekadar kehilangan lembaga, melainkan kehilangan memori kolektif dan hak untuk kembali yang kini terancam terhapus dari ingatan dunia.


