Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas, mengecam langkah awal parlemen Israel (Knesset) yang menyetujui rancangan undang-undang (RUU) memberi pemerintah kewenangan menutup kantor media asing tanpa peninjauan hukum terlebih dahulu. Hamas menilai langkah itu sebagai upaya menutupi pelanggaran Israel dan membungkam kebebasan pers.
Dalam pernyataannya, Kepala Kantor Media Hamas, Izzat al-Rishq, menilai keputusan Knesset tersebut merupakan “ancaman langsung terhadap kebebasan pers” sekaligus memperkuat “kebijakan membungkam suara yang berbeda pandangan.”
Al-Rishq menuduh Israel berupaya “mencegah dunia mengetahui kebenaran tentang kejahatan pendudukan dan agresi terhadap rakyat Palestina.” Ia menambahkan, banyak konten yang dianggap membahayakan keamanan negara justru “mengungkapkan tindakan pembunuhan, pengusiran, perluasan permukiman, Yudaisasi, dan penghancuran rumah.”
Menurut harian Haaretz, RUU tersebut akan menjadikan permanen ketentuan yang dikenal sebagai “Undang-Undang Al Jazeera” — aturan sementara yang disahkan pada April 2024. Aturan itu memungkinkan pemerintah menutup media asing di Israel atas alasan keamanan nasional, dengan syarat adanya persetujuan pengadilan. Ketentuan tersebut pertama kali digunakan untuk menangguhkan operasi jaringan berita asal Qatar, Al Jazeera.
RUU baru itu memberi kewenangan lebih besar kepada perdana menteri dan menteri komunikasi untuk menutup media asing tanpa pengawasan yudisial, sehingga memperluas kekuasaan eksekutif terhadap pers.
Al-Rishq menyerukan kepada pemerintah dunia, lembaga hak asasi manusia, dan organisasi wartawan untuk “bertindak membatalkan undang-undang tersebut,” yang ia sebut sebagai bukti niat Israel “meningkatkan kejahatan dan menyembunyikan kebenaran dari dunia.”
Ia juga mengimbau jurnalis dan media internasional untuk menuntut akses ke wilayah pendudukan Palestina agar dapat melaporkan situasi di lapangan “secara objektif dan profesional.”


