Friday, November 14, 2025
HomeBeritaTahanan rumah yang membelenggu: Derita ganda jurnalis Palestina Sumayya Jawabra

Tahanan rumah yang membelenggu: Derita ganda jurnalis Palestina Sumayya Jawabra

Setiap pagi, jurnalis Palestina Sumayya Jawabra berdiri di ambang pintu rumahnya di Kota Nablus, Tepi Barat, menatap anak-anaknya berjalan ke sekolah.

Sudah 2 tahun ia melakukannya dengan cara yang sama—mengantar pandangan, menahan langkah.

Ia tidak berani melangkah keluar dari rumah yang kini menjadi penjaranya.

Pada 12 November 2023, delapan hari setelah ditangkap oleh pasukan Israel, Sumayya dibebaskan dari Penjara Damoun dalam kondisi hamil 7 bulan.

Namun kebebasan itu datang dengan syarat yang keras: tahanan rumah terbuka tanpa batas waktu, larangan memiliki atau menggunakan telepon genggam, dan larangan total terhadap segala bentuk komunikasi elektronik, termasuk internet.

Sejak hari itu, hidupnya berhenti di dalam empat dinding rumah. Ia hanya diizinkan keluar beberapa kali—sekali untuk melahirkan dan selebihnya untuk perawatan medis di rumah sakit.

Segala urusan dunia luar kini ditanggung oleh suaminya, Thariq al-Sarqaji, yang menjadi matanya untuk melihat dunia, suaranya untuk berbicara, dan tangannya untuk menjalankan urusan hidup di luar batas rumah.

Dua tahun di balik pintu

Hidup Sumayya kini berputar di lingkar yang sempit: pekerjaan rumah, tugas sebagai ibu, dan keheningan panjang yang mengurungnya.

Bagi perempuan yang dikenal aktif dan gemar berinteraksi sosial, keadaan ini terasa seperti penjara yang menekan dari dalam.

Empat kali Idul Fitri dan Idul Adha telah lewat tanpa dirinya bisa berkunjung ke rumah orang tuanya.

Ia tidak dapat menjenguk ayah dan ibunya yang sakit, tak hadir di pernikahan saudara perempuannya, dan tak menyaksikan kelulusan adiknya dari sekolah menengah.

Semua peristiwa hidup orang terdekatnya hanya ia dengar dari balik dinding rumah.

“Awalnya kami kira tahanan rumah lebih ringan dari penjara. Tapi ternyata, dengan berjalannya waktu, kami menyadari bahwa ini hanyalah penjara lain, penjara di dalam rumah,” tutur suaminya, Thariq, kepada Al Jazeera Net.

Ia menggambarkan bagaimana setiap aspek kehidupan kini berubah menjadi rumit.

“Sumayya kehilangan hal-hal paling sederhana dari kesehariannya, keluar rumah, berbicara dengan orang, atau melakukan pekerjaan normalnya sebagai jurnalis dan ibu,” katanya.

Bahkan untuk urusan kecil seperti pergi ke dokter atau membeli perlengkapan sekolah anak, Sumayya tak dapat melakukannya.

“Jika dia atau salah satu anak sakit, ia tak bisa membuka pintu atau pergi sendiri. Semua keperluan rumah tangga kini diurus oleh ibu saya atau saudara-saudara perempuan saya,” lanjut Thariq.

Bagi keluarga ini, hukuman terhadap Sumayya tak hanya menimpa dirinya seorang.

“Kami hidup seolah ikut menjalani hukuman bersamanya. Setiap kali saya keluar dengan anak-anak, selalu ada kekosongan besar karena ibu mereka tidak ada,” ucap Thariq lirih.

Antara hukum dan ketidakpastian

Kasus hukum Sumayya hingga kini belum mendapat keputusan akhir. Menurut Thariq, pihak Israel terus menunda proses persidangan dan mempertahankan status tahanan rumah tanpa batas waktu, padahal secara hukum masa maksimum tahanan rumah terbuka hanyalah 18 bulan.

“Kami sudah berkonsultasi dengan beberapa pengacara. Ada yang mengatakan masa tahanannya sudah berakhir, tapi tanpa dokumen resmi dari pengadilan, kami tidak berani mengambil risiko. Sistem hukum Israel begitu tidak konsisten; bahkan para pengacara sendiri tidak yakin,” ujarnya.

Pengacara Fadi Qawasmeh, yang menangani kasus Sumayya, menegaskan bahwa masa tahanan rumah secara hukum memang sudah habis.

Namun, karena tidak ada keputusan resmi yang dikeluarkan pengadilan, ketidakpastian itu terus menghantui keluarga.

“Kondisi ini menciptakan ketegangan psikologis yang besar. Mereka hidup dalam rasa takut bahwa Sumayya bisa ditangkap kembali kapan saja,” katanya.

Menurut Qawasmeh, kasus Sumayya termasuk pengecualian dalam sistem pengadilan militer Israel di Tepi Barat.

Biasanya, tahanan rumah hanya diberlakukan di Yerusalem Timur atau wilayah Israel, bukan di bawah yurisdiksi militer.

“Keputusan itu diambil karena ia sedang hamil saat ditahan, dan pihak berwenang tampak tidak tahu bagaimana memperlakukan kondisinya. Jadi, mereka menyebutnya tahanan rumah, padahal secara hukum, statusnya tidak jelas,” ujarnya.

“Rumah yang disulap jadi penjara”

Amani Sarahneh, Kepala Bidang Media di Klub Tahanan Palestina, mengatakan kasus Sumayya bukanlah yang pertama di Tepi Barat, tetapi menjadi gejala baru setelah perang terakhir di Gaza.

Menurutnya, Israel kini mulai menggunakan tahanan rumah—yang lazim diterapkan terhadap warga Yerusalem dan warga Arab Israel—juga terhadap perempuan dan anak-anak di Tepi Barat, sebagai “alternatif” dari penahanan fisik.

“Bahaya dari kebijakan semacam ini bukan hanya pada pembatasan gerak, tetapi pada upaya sistematis untuk menormalisasi bentuk hukuman ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman, diubah menjadi penjara yang penuh tekanan psikologis dan sosial,” ujar Sarahneh.

Ia menambahkan, pengalaman Sumayya menjadi lebih berat karena ia harus melalui kehamilan dan kelahiran di bawah status tahanan rumah.

“Beban mentalnya berlipat ganda, dan dampaknya tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada seluruh anggota keluarga,” katanya.

Sarahneh juga menyoroti tidak adanya jaminan hukum bagi para tahanan rumah untuk terbebas dari kemungkinan penangkapan ulang.

“Kekhawatiran keluarga itu sangat beralasan. Dalam sistem Israel, tidak ada yang benar-benar bebas dari risiko ditangkap lagi,” ujarnya.

Sejak 7 Oktober 2023, tambahnya, muncul sejumlah kasus serupa di Tepi Barat—terutama melibatkan perempuan dan anak-anak—yang dibebaskan dengan syarat ketat: larangan bepergian, larangan menggunakan media sosial, dan pengawasan elektronik.

Namun, belum ada data resmi yang terdokumentasi karena situasi perang membuat pemantauan hukum menjadi sangat sulit.

Kebebasan yang dicabut secara halus

Kasus Sumayya Jawabra mencerminkan bentuk baru dari pengendalian dan penindasan yang dijalankan Israel terhadap warga Palestina.

Alih-alih penjara besi, hukuman ini menyusup ke dalam ruang paling pribadi—rumah, keluarga, dan kehidupan sehari-hari.

Dalam sunyi rumahnya di Nablus, Sumayya terus menulis catatan-catatan kecil di benaknya, menahan kerinduan terhadap ruang redaksi dan hiruk pikuk lapangan tempat ia dulu melaporkan kisah rakyatnya.

Kini, jendela kecil rumahnya menjadi satu-satunya penghubung dengan dunia luar.

Bagi seorang jurnalis yang terbiasa menyuarakan kebenaran, diam yang dipaksakan adalah bentuk penjara yang paling menyakitkan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler