Menjelang selesainya tahap pertukaran tahanan antara Israel dan perlawanan Palestina dalam kerangka gencatan senjata di Gaza, ketidakjelasan masih menyelimuti pembahasan mengenai fase berikutnya dari kesepakatan itu.
Israel tetap bersikap keras. Para pejabatnya menegaskan bahwa pembicaraan tentang fase lanjutan baru dapat dilakukan setelah seluruh jenazah warganya yang berada di Gaza dipulangkan, dimakamkan, dan diselesaikan semua prosedur terkait.
Israel mengonfirmasi pada Kamis kemarin bahwa mereka menerima satu jenazah warganya dari Gaza. Dengan demikian, masih tersisa tiga jenazah warga Israel yang belum diserahkan.
Dalam situasi yang masih tidak pasti ini, masing-masing pihak membawa perspektif dan kepentingannya sendiri.
Amerika Serikat (AS), menurut Thomas Warrick—mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS—dalam program “Ma Wara’a al-Khabar”, memusatkan perhatian pada rancangan resolusi yang diajukannya di Dewan Keamanan PBB.
Usulan itu, menurut dia, mendapat dukungan dari Turki, Qatar, Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan sejumlah negara lainnya.
Pada saat yang sama, Rusia memperkenalkan rancangan resolusi tandingan yang berisi kerangka penghentian perang di Gaza.
Langkah ini sebagai respons atas naskah AS yang ditentang Moskow dan Beijing. Namun, delegasi AS di PBB tetap mendorong Dewan Keamanan untuk menyetujui teks rancangan Amerika.
AS juga berupaya meyakinkan Israel agar menyelesaikan persoalan para petempur Hamas yang masih berada di Rafah, Gaza selatan.
Washington menginginkan mereka dipindahkan ke wilayah barat “garis kuning” atau ke negara lain. Menurut Warrick, sejauh ini Israel belum memberikan persetujuan resmi.
Prioritas ketiga AS—masih menurutnya—adalah menghentikan eskalasi kekerasan di Tepi Barat.
Kekerasan itu, kata dia, dapat mengganggu seluruh proses diplomatik yang coba dibangun Washington.
Bagi negara-negara Arab, agenda utama berbeda. Menurut akademisi dan pakar kebijakan Timur Tengah Dr. Mahjoub al-Zuwairi, fokus utama mereka adalah pembentukan kekuatan internasional di Gaza.
Kehadiran pasukan internasional dianggap dapat mendorong Israel menarik diri dari wilayah itu secara bertahap.
Selain itu, negara-negara Arab menekankan pentingnya pengiriman bantuan kemanusiaan dalam skala besar, serta merumuskan bentuk administrasi yang kelak akan mengelola Gaza pada fase pascaperang.
Perhitungan Israel
Sementara itu, Israel memiliki kalkulasi yang lain. Akademisi dan pengamat urusan Israel, Dr. Mohannad Mustafa, menjelaskan bahwa kepentingan utama Israel adalah menyiapkan kondisi bagi keberadaan jangka panjangnya di Gaza, khususnya di wilayah timur garis kuning yang saat ini berada di bawah kontrol Israel.
Ia menilai Israel ragu fase kedua gencatan senjata dapat terlaksana, sehingga memilih mempercepat penghancuran kawasan tersebut.
Israel juga menempatkan isu pelucutan senjata perlawanan Palestina sebagai prioritas di fase berikutnya.
Dalam pandangannya, kekuatan internasional yang nanti dibentuk harus memiliki mandat untuk melaksanakan pelucutan itu.
Mustafa menambahkan, Israel menginginkan legitimasi serta persetujuan dari AS agar tetap memiliki ruang gerak militer di Gaza.
Israel, kata Mustafa, juga khawatir jika pasukan internasional yang direncanakan malah akan memasuki area yang dikuasai Israel saat ini, bukan wilayah yang sebelumnya dikuasai Hamas.
Warrick menegaskan bahwa pembentukan dan penempatan pasukan internasional harus dilakukan sebelum Israel menarik pasukannya dari Gaza.


