Sunday, November 16, 2025
HomeBeritaANALISIS - Keputusan DK PBB tentang Gaza: Siapa menginginkan apa?

ANALISIS – Keputusan DK PBB tentang Gaza: Siapa menginginkan apa?

Amerika Serikat (AS) bersama mitra Arab dan Muslim berupaya mengukuhkan gencatan senjata di Jalur Gaza melalui sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendukung rencana perdamaian Presiden Donald Trump.

Upaya ini berlangsung di tengah laporan media Israel mengenai adanya perbedaan pandangan yang substansial antara Washington dan Tel Aviv.

Resolusi yang dijadwalkan untuk diputuskan pada Senin mendatang diperkirakan memuat sejumlah ketentuan yang sebelumnya tidak tercantum dalam rencana Trump.

Di antaranya adalah pengakuan atas hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta penegasan perlunya jalur politik menuju pembentukan negara Palestina yang merdeka.

Resolusi juga mengatur peran Washington sebagai fasilitator dialog antara Palestina dan Israel menuju kehidupan berdampingan secara damai.

Selain itu, ditegaskan bahwa otoritas Council for Peace—badan baru yang akan mengelola Gaza—bersifat sementara dengan masa tugas yang dapat mencapai dua tahun.

Namun, harian Yedioth Ahronoth mengutip sumber yang menyebutkan bahwa rencana Trump mengandung elemen yang tidak nyaman bagi Israel.

Sementara itu, Channel 13 Israel melaporkan bahwa perbedaan mendasar masih membayangi hubungan Amerika–Israel terkait implementasi kesepakatan tersebut.

Menurut mantan penasihat keamanan nasional AS, Mark Pfeifle, rencana itu sendiri masih sarat hambatan dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut agar kehadiran pasukan penjaga stabilitas tidak memicu benturan baru dengan warga Palestina.

Tantangan berat di depan

Dalam wawancaranya dengan program Masar Al-Ahdath, Pfeifle menjelaskan bahwa yang tengah dibahas saat ini mencakup pengerahan sekitar 20.000 prajurit dari berbagai negara.

Mereka akan bertugas hingga dua tahun sebelum pengelolaan Gaza diserahkan kepada Council for Peace yang disebut akan dipimpin langsung oleh Donald Trump.

Perbedaan pendapat juga mencuat antara negara-negara Arab dan AS.

Pemimpin Arab dan Muslim menginginkan dicantumkannya frasa tegas mengenai pendirian negara Palestina dalam resolusi tersebut.

Namun AS dan Israel enggan memasukkan ketentuan seperti itu, kata Pfeifle.

AS, menurut dia, lebih memilih mendorong reformasi internal di Otoritas Palestina terlebih dahulu, sebelum beranjak pada pembahasan negara merdeka.

Washington meminta adanya peta jalan yang jelas sebelum bersedia memasukkan gagasan tersebut ke dalam draf keputusan.

Di sisi lain, Rusia mengajukan rancangan resolusi tandingan yang lebih eksplisit mengenai negara Palestina.

Namun, Pfeifle menilai langkah Moskow itu bertujuan menghambat upaya perdamaian dan menyebut Rusia sebagai “bukan tempat yang tepat untuk mencari perdamaian”. Ia berharap Rusia tidak menggunakan hak veto.

Sabtu lalu, Presiden Vladimir Putin juga menghubungi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang berstatus terdakwa di Mahkamah Pidana Internasional—untuk membahas perkembangan proses perdamaian di kawasan.

Namun analis Israel, Dr. Mohannad Mustafa, menilai Moskow hanya memiliki peran marjinal dalam isu ini dan keputusan strategis tetap berada di tangan AS.

Dua keuntungan dan dua kerugian bagi Israel

Mustafa menyebutkan bahwa perbedaan Amerika–Israel dalam draf resolusi berkaitan dengan dua aspek yang dipandang sebagai keuntungan oleh pemerintah Netanyahu, dan dua aspek lain yang dianggap sebagai kegagalan.

Di sisi keuntungan, Israel akan memiliki kewenangan menentukan negara mana saja yang boleh bergabung dalam pasukan internasional di Gaza.

Selain itu, Tel Aviv juga dapat menetapkan syarat-syarat yang sangat sulit dipenuhi terkait pembentukan negara Palestina.

Bagi pemerintahan Netanyahu, dua poin ini merupakan capaian besar.

Namun ada dua hal yang dipandang sebagai kerugian. Pertama, sekadar menyebut istilah “negara Palestina merdeka” dalam dokumen resmi sudah menjadi pukulan politik bagi Netanyahu di hadapan koalisi kanan yang dipimpinnya.

Kedua, draf resolusi menuntut penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza. Menurut Mustafa, poin ini menjadi yang paling sensitif karena digantikannya pasukan Israel oleh pasukan internasional di dalam “garis kuning” berarti Israel keluar sementara Hamas tetap bertahan.

Pengamat Timur Tengah, Dr. Mahjoob Zweiri, melihat bahwa tekanan negara-negara Arab dan Muslim untuk menghentikan genosida di Gaza, serta keinginan Trump memulihkan citra Israel di dunia internasional, menciptakan suasana penuh ketidakjelasan setelah gencatan senjata berlaku.

Zweiri menilai, gencatan senjata tidak mencantumkan pendirian negara Palestina maupun hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri.

Kedua poin itu baru akan masuk ke dalam resolusi setelah konsultasi intensif antara negara-negara Arab/Muslim dan Washington.

Karena itu, perbedaan Amerika–Israel menjadi wajar, sebab resolusi ini berpotensi mengakhiri pendudukan di Gaza dan menghalangi Israel merancang “hari setelah perang” sesuai keinginannya.

Namun resolusi tersebut juga tidak disusun berdasarkan Bab VII Piagam PBB—yang memungkinkan tindakan militer jika terjadi pelanggaran.

Ini berarti Amerika Serikat memikul tanggung jawab politik terbesar untuk menekan Israel. Zweiri memperkirakan adanya pelanggaran setelah resolusi disahkan.

Pfeifle sendiri menolak gagasan penggunaan Bab VII. Ia menilai, pengerahan pasukan internasional seharusnya tidak bertujuan menghadapi pelanggaran melalui konfrontasi bersenjata.

Apalagi negara-negara calon penyumbang pasukan ingin menghindari benturan langsung dengan warga Palestina.

Ia menekankan bahwa Washington tidak ingin mengerahkan tentaranya ke Gaza, dan menilai Hams harus meletakkan senjata secara sukarela sebelum pasukan internasional dapat memulai pelatihan bagi aparat kepolisian Palestina.

Di tengah dinamika ini, Direktur Palestinian Media Foundation, Ibrahim Al-Madhoun, menyatakan bahwa faksi-faksi Palestina tetap menaruh kepercayaan pada pemimpin Arab dan Muslim.

Ia menilai, kelompok-kelompok perlawanan kemungkinan turut memfasilitasi tercapainya keputusan ini karena berkomitmen mempertahankan kesepakatan, mendorong penarikan pasukan Israel, dan memulai upaya rekonstruksi.

Faksi-faksi tersebut, kata Al-Madhoun, tidak akan menjadi penghalang bagi resolusi yang mungkin disahkan.

Sebaliknya, mereka akan bekerja erat dengan kekuatan Arab dan Islam untuk menghentikan agresi, menata kembali pengelolaan Gaza oleh pihak Palestina, dan mendorong tercapainya jalur yang jelas menuju negara Palestina merdeka.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler